Shanum duduk di tepi ranjang, kepalanya pusing luar biasa memikirkan nasib rumah tangganya yang sama sekali tak ada kemajuan.
Shanum yang mudah marah, dan Sabda yang keras kepala. Mereka ibarat api yang disiram bensin. Begitu api emosi tersulut, tidak akan ada yang sukarela untuk memadamkan.
Terhitung dua jam lebih setelah Sabda pergi. Pria itu hanya memakan sandwich buatannya dengan satu gigitan, kopi dalam gelas yang Shanum buatkan pun tidak habis, pria itu lebih dulu terbakar emosi sampai tidak menghabiskan sarapan paginya.
Shanum menghela napas, tak tahu harus bersabar seperti apa lagi.
“Padahal dia bisa jujur padaku sejak awal. Kalung itu sudah kuincar sejak lama, setelah tahu Sabda membelinya untuk Rania, aku malas untuk melihat kalung itu lagi.”
Shanum masih marah karena masalah kalung yang tak kunjung selesai. Dia hanya ingin Sabda jujur padanya. Sayang, komunikasi mereka semakin hari, semakin memburuk.
Dia dan pria itu memang tidak pernah cocok. Shanum masih tidak mengerti kenapa orang tuanya begitu menginginkan Sabda sebagai menantu, padahal tanpa bantuan Sabda pun mereka sudah kaya raya.
Saat sedang sibuk mengomel sendiri, telepon dari Calvin—asisten Sabda—membuat perhatiannya teralihkan. Shanum penasaran kenapa asisten suaminya menelepon pagi-pagi begini.
Dengan cepat Shanum langsung menjawab panggilan telepon tersebut. Dia pikir Sabda ketinggalan berkas di rumah dan menyuruh Calvin untuk menghubunginya.
“Maaf mengganggu waktu Anda, Nyonya. Tapi, apakah saat ini direktur sedang bersama Anda?” tanya Calvin. Tipe suaranya terdengar tak normal.
Shanum mengerutkan keningnya. “Tidak. Dia berangkat ke kantor sejak dua jam yang lalu, apakah dia belum sampai juga?”
“Benar, direktur belum datang ke kantor.”
“Benarkah?” Shanum mengecek arloji. “Apakah kamu tidak menghubunginya secara langsung, mungkinkah dia masih di perjalanan?”
“Sudah, tapi ponselnya tidak aktif, Nyonya. Meeting akan diadakan beberapa jam lagi. Ah, bagaimana ini?”
Shanum mendengar Calvin berbisik frustrasi. “Pagi ini direktur belum muncul di kantor. Belum lagi ada prosedur kerja yang harus segera direktur setujui.”
Aneh sekali. Shanum ikut kebingungan. “Ponselnya benar-benar tidak aktif?”
“Sejak beberapa jam lalu saya dan rekan lain kesulitan menghubunginya. Nomornya belum aktif.”
Sekilas Shanum menatap ke luar kaca dapur. Sabda sudah berangkat dua jam yang lalu, dan Shanum pikir pria itu benar-benar pergi ke kantor. Dia tidak pernah meninggalkan urusan kantor yang sangat penting.
Shanum sangat paham bahwa pekerjaan adalah bagian dari hidup seorang Sabda. Tidak ada yang lebih penting dari itu, kalaupun ada yang lain, Rania berada di urutan ke dua.
“Baiklah, aku akan mencarinya. Aku akan mengabarimu jika sudah bertemu dengannya.”
“Ya, saya mengerti. Saya sangat menghargai bantuan Anda.”
Shanum menghela napas, memikirkan sesuatu. Firasatnya sering lebih kuat ketimbang apa yang muncul di pikiran. Rasanya tidak mungkin Sabda menemui wanita itu. Apakah pertengkaran pagi ini membuat mood Sabda benar-benar hancur total sampai parahnya tidak pergi ke kantor?
Shanum langsung bergegas berganti pakaian, bersiap pergi ke luar untuk mencari sang suami. Terserah dia sedang berada di mana. Shanum akan mencarinya.
Di tengah perjalanan, Shanum menghubungi ibu mertuanya dengan bantuan bluetooth handsfree dia ingin menanyakan keberadaan Sabda.
“Halo, Ma. Apakah Mas Sabda ke rumah pagi ini?”
“Ah, tidak. Bukankah jam segini dia sudah berada di kantor?”
Shanum masih memajukan mobilnya dengan perasaan cemas yang menjalar. “Asistennya baru saja menghubungiku kalau Mas Sabda menghilang.”
Tiba di lampu merah, Shanum mendengar suara lain dari seberang telepon disusul gelak tawa. Shanum sadar suaranya barusan terdengar tidak biasa. Sepertinya itulah yang menarik minat ibu mertuanya tertawa.
“Apa? Kenapa mama tertawa?” tanya Shanum berhati-hati dan menjaga suaranya.
“Masa Sabda kabur? Kalian bertengkar?” tanya Diana.
Shanum terdiam sesaat. Tidak mungkin dia menjelaskan hal ini pada mertuanya.
“Tentu saja tidak, Ma,” kata Shanum berbohong. “Aku sedang di jalan mencari Mas Sabda.”
“Mungkin dia sedang berjalan-jalan sebentar. Coba cari ke tempat dia biasa pergi.”
“Aku tidak yakin di mana itu.”
Diana terdengar menghela napas. “Kamu istrinya, kan? Kamu lebih tahu putraku, Mama ingin membantu, tapi sekarang sedang banyak urusan. Kabari Mama begitu kamu menemukan suamimu.”
Sambungan telepon terputus, Shanum frustrasi sendiri, bagaimana bisa dia pergi ke tempat-tempat tertentu. Shanum saja tidak tahu Sabda sering pergi ke mana. Pria itu jarang bicara dan mengobrol panjang dengannya.
“Kenapa dia menyebalkan sekali, sepertinya dia tidak pernah bosan merepotkanku setiap saat.” Shanum mulai lelah.
Apakah benar Sabda pergi karena dia kesal pada Shanum? Bukankah mereka sudah terbiasa bertengkar? Lantas, untuk apa Sabda bersikap konyol begini, biasanya dia akan mengabaikan begitu istrinya meledak-ledak.
Shanum mengingat-ingat tempat yang biasa Sabda singgahi. Mall, perusahaan, kafe, restoran? Ah, Shanum tidak sudi jika harus pergi lagi ke kafe tempat Rania bekerja. Kalaupun seandainya Sabda berada di sana, dia malas melihat pria itu bermesraan dengan wanita lain di hadapannya.
Bukan cemburu, Shanum hanya jijik melihat pria arogan itu bersikap sok romantis.
Shanum kembali menelepon Sabda. Namun, ponsel pria itu masih tidak aktif. Shanum menghela napas untuk yang ke sekian kali. Suaminya benar-benar merepotkan banyak orang hari ini. Apakah dia marah karena Shanum menemukan kalung mahal di laci kerjanya? Lagipula, kenapa pria itu harus marah? Tidak ada yang harus dia tutupi karena Shanum sudah telanjur mengetahui segalanya.
Shanum tiba-tiba teringat sesuatu, dia lekas mencari sesuatu di laci mobil dan menemukannya. Dengan cepat Shanum menghubunginya.
“Halo, aku Shanum istri Sabda. Apakah Sabda sedang bersamamu?”
Shanum berbicara to the point ketika sambungan telepon baru saja terhubung pada seseorang di seberang sana.
“Tidak. Apakah ada masalah?”
Shanum menggigit bibirnya. Dia tengah menelepon salah satu rekan Sabda, gadis itu mendapatkan nomor ponselnya dari kartu nama yang sempat diberikan, katanya untuk berjaga-jaga jika suatu saat butuh sesuatu. Pada akhirnya dia menghubunginya juga.
“Ya, Sabda menghilang.” Shanum menghela napas. “Bisakah Anda membantuku? Apakah ada tempat biasa dia datangi?”
Tidak terdengar suara apa pun dari seberang sana, Shanum menebak orang tersebut tengah sibuk berpikir. Perempuan itu dengan sabar menunggu jawaban.
“Oh ya, aku sepertinya tahu.” Suaranya kembali terdengar. “Selain pergi ke tempat golf, biasanya dia menginap di hotel.”
“Hotel?”
“Ya, dia menyewa tempat itu sebagai tempat peristirahatan.”
“Bisa beri aku alamatnya?”
“Aku tidak yakin dia berada di sana, biasanya jam-jam seperti ini Sabda berada di kantor.”
“Tidak apa-apa, berikan saja alamat hotel dan nomor kamarnya.”
Shanum kembali menggigit bibir, dia sebenarnya terkejut karena Sabda sering pergi ke hotel. Dengan siapa dia di sana? Apakah Sabda tidur bersama wanita-wanita murahan seperti yang ada dalam pikiran Shanum?
Kalaupun iya, seumur hidup dia tidak akan pernah sudi disentuh oleh Sabda barang se-inchi pun. Perselingkuhan suaminya dengan seorang gadis pelayan kafe saja sudah cukup membuatnya muak, apalagi kalau sampai mengetahui pria itu tidur dengan wanita lain.
Pria di telepon tadi menyebutkan salah satu hotel berikut alamat lengkapnya. Shanum mengucapkan terima kasih setelah itu memutuskan panggilan, kembali menancap gas menuju tempat tujuan.
Perusahaan suaminya harus memberi Shanum imbalan berlipat kali ini karena mereka sudah membuat wanita itu kepayahan mencari keberadaan suami yang tak tahu diri.TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Surga yang Terabaikan (END)
RomanceShanum dan Sabda menikah karena keterpaksaan, tak ada cinta di sana. Mereka sepakat untuk tidak bercerai. Namun, Shanum merelakan suaminya untuk berhubungan dengan perempuan lain yang tak lain adalah; Rania. Shanum juga terpaksa mendapatkan tudinga...