24. Tak Lagi Utuh

20.7K 911 45
                                    

“Kenapa dia bisa tahu aku pergi dengan Rania kemarin? Apakah dia menggunakan orang suruhannya untuk memata-mataiku? Keterlaluan!”
Tak berhasil mengejar mobil yang dikendarai oleh istrinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


“Kenapa dia bisa tahu aku pergi dengan Rania kemarin? Apakah dia menggunakan orang suruhannya untuk memata-mataiku? Keterlaluan!”

Tak berhasil mengejar mobil yang dikendarai oleh istrinya. Sabda akhirnya mengikuti wanita itu ke rumah orang tuanya. Sifat Sabda yang selalu merasa benar, lagi-lagi menyalahkan Shanum dalam perihal masalah yang saat ini mereka hadapi.

Mereka bertengkar di rumah orang tuanya, Shanum yang sudah muak meladeni Sabda terus berusaha untuk menghindar. Namun, Sabda tetap pada pendiriannya. Dia tidak mau Shanum pergi begitu saja.

Shanum berusaha menutup pintu rumah rapat-rapat, tidak memberikan akses untuk Sabda masuk ke dalam. Sabda menahan pintu tersebut, berusaha untuk mencegah istrinya agar mereka bicara baik-baik. Sayangnya, kepercayaan Shanum serupa gelas kaca, sekali pecah dia tidak akan kembali utuh.

“Keluar! Ayo kita bicarakan masalah ini. Ini tidak seperti apa yang kamu pikirkan. Bukankah kamu juga tahu kalau selama ini Rania adalah kekasihku, kenapa sekarang kamu malah marah padaku?”

Tentu saja limpahan kesalahan yang Sabda bebankan padanya membuat Shanum geram. Tanpa sadar Shanum melempari pria itu menggunakan kunci mobil yang kebetulan sedang dipegangnya.

Akibat lemparan itu, Sabda sampai memekik tak menyangka Shanum bisa sekasar itu pada suaminya sendiri. Beruntung hari ini orang rumah sedang tidak ada, jadi pertengkaran itu hanya mereka berdua yang tahu.

Juga tetangga. Mungkin.

“Kenapa kamu kasar sekali, Sha. Gimana kalo keningku berdarah?” Sabda mengusap pelipisnya yang berdenyut. Tidak menyangka Shanum akan semarah ini bahkan bertindak di luar dugaan.

Shanum memberinya pelototan tajam. Kedua tangannya berkacak pinggang. “Siapa yang kasar? Aku hanya mengusirmu. Ngapain kamu ngikutin aku kembali ke sini? Pulang sana, nikahi saja wanita simpananmu itu!”

“Oke, aku pulang, tapi kamu juga harus ikut aku.”

“Siapa bilang aku mau ikut pulang ke sana? Pergi sendiri!” tolak Shanum penuh amarah. “Kalau saja dari dulu aku tahu kau akan mencintai seorang pelakor. Aku gak akan menerima pinanganmu. Aku menerimamu dengan baik, keluargaku memperlakukanmu dengan baik. Namun, kau? Semaumu saja memperlakukanku!”

Napas Shanum menderu. Kepalang emosi, dia akan melimpahkan semuanya pada Sabda saat itu juga. Kondisi Shanum yang masih lemah pasca sakit ditambah kelelahannya menghadapi Sabda membuat kesabaran Shanum serupa bom waktu yang kapan saja bisa meledak.

“Setidaknya dengarkan aku dulu, Sha!” Sabda tetap ngotot.

“Apa? Apa yang mau kau jelaskan? Kau sendiri yang bilang akan berusaha menjauh darinya, tapi sampai saat ini kalian masih intens berdekatan, dan yang paling tidak bisa kutolerir adalah ... bagaimana bisa kau pergi liburan berdua dengan wanita tak tahu malu itu di belakang istrimu yang sedang sakit? Bajingan Sabda, kau memang bajingan!”

Shanum benar-benar emosi. Dia ingin sekali menyiksa Sabda yang tidak tahu diri. Bagaimana bisa Shanum menikah dengan pria bajingan? Apa dosa yang sudah dia perbuat di masa lalu?

Shanum mengetahui fakta ini setelah menerima panggilan staf kantor Sabda. Staf itu tak sengaja mengatakan bahwa atasannya pergi berlibur ke luar kota, dari situ Shanum tahu bahwa Sabda tidak pergi sendiri. Sakit ... perasaannya amat sakit.

“Kalau sejak awal kamu merasa pernikahan ini hanya kebetulan, kenapa marah di saat aku pergi liburan dengannya? Kamu sendiri juga tahu seperti apa hubungan rumah tangga kita akhir-akhir ini. Aku gak bahagia, Sha. Aku juga butuh seseorang yang bisa menghilangkan kejenuhan itu. Emang kamu gak capek terus bersandiwara di depan keluarga seperti ini?”

Sabda mengatakan hal itu tanpa rasa bersalah, juga tanpa perasaan. Sukses membuat hati Shanum semakin remuk redam.

“Begitu? Bukankah itu alasan yang bagus? Kita bisa bercerai karena kenyataannya kamu gak bahagia saat bersamaku. Selama ini aku gak becus jadi istri. Baiklah, kembali kuajukan. Aku minta cerai!”

Telapak tangan Sabda mengepal. Bukan ini yang dia inginkan. Meskipun benar bahwa Sabda telah merencanakan pernikahan dengan Rania. Tetap saja, Sabda tidak bisa berjauhan dari istrinya. Shanum memang wanita yang keras kepala, tapi Sabda tidak bisa melepaskannya begitu saja.

Shanum adalah istri yang sempurna bagi laki-laki yang telah menyuntingnya, tapi laki-laki itu bukan dirinya. Sesungguhnya Sabda juga menyadari bahwa dia bukan suami yang baik untuk Shanum, tapi kenapa wanita itu mengatakan bahwa dialah yang selama ini tidak becus menjadi istri?

Apa pun itu, Sabda tetap butuh Shanum. Hanya dia yang boleh memintanya untuk pergi. Shanum tidak boleh memutuskan hubungan tanpa seizinnya. Entahlah, Sabda tak mau orang tuanya kehilangan sosok Shanum, atau mungkin Sabda sudah mulai jatuh cinta padanya.

Sabda terlalu bodoh untuk memahami apa arti cinta yang sebenarnya. Sepanjang pernikahan mereka, dia terlalu sibuk bekerja dan melupakan perasaan Shanum. Kini wanita itu sudah meminta cerai. Apakah Sabda bisa menerima keputusannya begitu saja?

Desahan napas pria itu terdengar. Kepalan telapak tangannya mengendur. Wanita yang merupakan istrinya itu ditatap dengan wajah penuh permohonan.

“Aku gak bermaksud untuk bohong sama kamu, Sha. Sejak awal aku ingin menjelaskan padamu, tapi kamu telanjur emosi. Berhenti mengada-ada. Ayo kita pulang dan selesaikan semuanya dengan kepala dingin.”

Shanum mendengkus. “Kamu yang menceraikanku atau aku yang maju lebih dulu untuk menggugat cerai?”

“Shanum ....” Sabda memelas.

“Oke. Tunggu saja surat panggilan dari pengadilan. Apa pun yang berusaha kamu jelaskan, aku tetap ingin berpisah sama kamu. Tenang saja, kita masih bisa bertemu. Entah dengan kamu yang kusemogakan hari ini, atau dengan kamu yang membuatku bersyukur karena doa-doaku dikabulkan dengan jawaban yang lain.”

Shanum sama sekali tak memberi kesempatan pada Sabda. Stok kesabarannya telah habis. Hatinya hancur berkeping-keping saat mengatakan hal ini, tapi mau bagaimana lagi. Bertahan pun tidak membuat semuanya membaik, kondisi hatinya tak lagi sama.

Dia merasa sudah cukup bersandiwara sampai di sini saja. Orang tuanya mungkin tidak akan menerima perpisahan mereka, karena setahu keluarganya Shanum dan Sabda tampak baik-baik saja. Mereka selayaknya keluarga yang utuh.

“Aku mau istirahat. Jadi, silakan pergi dari rumahku sekarang!”

“Sha, ayo kita bicarakan baik-baik sekali lagi, ya?”

“KELUAR SEKARANG!!”

Napas Shanum naik turun dan terdengar menderu. Matanya melotot tajam berubah kemerahan. Pertanda bahwa Shanum benar-benar tidak ingin diganggu oleh siapa pun, keputusannya sudah final. Shanum tetap ingin bercerai dengan Sabda.

“Apa yang akan kamu katakan pada ibu dan ayah kalau kamu pergi dengan keadaan kayak gini? Kamu pikir ini mudah untuk kita?”

“Lebih baik begitu, ‘kan? Mereka pasti akan mengerti kalau kita berpisah karena sudah tak ada kecocokan lagi.” Shanum berkata final.

Melihat respons istrinya yang tetap ingin berpisah, Sabda memilih mengalah. Mau bagaimana pun, dia tidak akan bisa menenangkan Shanum yang tengah marah. Shanum selalu kehilangan kendali saat emosi, seperti hari ini. Sabda tak diberi kesempatan sedikit pun untuk menjelaskan semuanya pada Shanum.

“Baik, aku akan pulang, tapi jangan membuat keputusan saat sedang marah, Sha. Tenangkan dirimu dulu, baru kita bicara lagi.”

“Apakah wajar kalau seorang istri tidak marah saat dibohongi oleh suaminya? Aku juga punya hati, Mas. Mama dan papa memintaku dengan cara baik-baik untuk menjadikanku sebagai menantu mereka. Aku hanya menerima, bukan meminta. Justru kau yang tidak waras! Ke mana otak cerdasmu yang selalu kau banggakan itu? Kau buang ke tempat sampah?”

Mendengar ucapan Shanum yang merendahkan, Sabda melotot. “Sha, jangan kurang ajar!”

Shanum memutar bola matanya. Begitu Sabda mundur melewati batas pintu rumahnya, Shanum langsung menutup pintu dengan kasar.

Brakk!

“Shanum, kumohon jangan seperti ini!” Sabda menggedor pintu yang tertutup di hadapannya.

Usai menutup pintu dengan kasar, Shanum bersandar di pintu, lalu merosot begitu saja. Sesak yang tadi ditahan akhirnya tumpah bersama dengan tangisan.

Shanum benci jika harus terlihat lemah di hadapan pria yang selalu menginjak-injak harga dirinya. Dia tidak mau terlihat menyedihkan. Apa yang akan orang katakan nanti tentangnya? Wanita dengan kekayaan dan karier sempurna memiliki rumah tangga yang hancur.

“Mengapa harus ada aku yang sangat jatuh cinta kepadamu? Padahal aku punya pilihan. Sialnya, cinta tidak membiarkan aku memilih.”

Apakah Shanum betah? Tidak. Berkali-kali dia ingin menyerah. Namun, entah apa yang membuatnya bertahan, entah kekuatan apa yang memampukannya berjuang. Saat Shanum sendiri tidak tahu apa yang sedang dia perjuangkan. Kenyataannya, Shanum tetap di sana, tidak pernah benar-benar ingin pergi.

“Sha, nanti aku kan menjemputmu. Jangan macam-macam. Tenangkan dulu pikiranmu.”

Itulah ucapan sabda sebelum melangkah pergi dari sana. Membawa pergi patahan hatinya yang berhamburan. Entah sampai kapan perpisahan itu akan berlangsung. Sabda tidak mau mereka berakhir, tapi dia juga tidak bisa memaksa Shanum untuk menarik kembali ucapannya.

Setiap kali dia hendak memperbaiki semuanya, permasalahan itu selalu muncul kembali ke permukaan. Mungkin benar dia bukan suami yang baik.

"Bagaimana pun, aku akan membawamu kembali."

TBC

Kalo beneran cerai, Mas Sabda jadi duda keren dong? 🤣

Cara sederhana untuk menyemangati author, cukup vote, komen, dan share ❤️

Surga yang Terabaikan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang