Sabtu, 06 Juli.
Malam jam dua belas, Sabda mengendarai mobil warna silver miliknya bertolak dari perusahaan setelah selesai merampungkan pekerjaan, menuju kediamannya sendiri.
Dia sudah sering pulang larut dan lembur di kantor. Sabda sangat jarang pulang ke rumah, kendati penampilannya tampak tak terurus, tapi Sabda tidak peduli. Dia tetap menyibukkan diri.
Suasana jalanan mulai sedikit sepi di jam segini. Kendaraan Sabda melaju dengan kecepatan tinggi di jalanan. Rasa gelisahnya begitu kentara saat mendapati pesan masuk dari Rania tadi siang yang belum sempat dibacanya.
Sabda baru akan melihat pesan yang dikirimkan oleh Rania. Namun, suara klakson dari arah depan memekik keras dibarengi sinar lampu yang menyilaukan. Sabda membanting setir ke kiri dan me-manuver kemudinya ke kanan demi menghindari pembatas jalan dan juga ekor truk.
Mobil silver itu melintang di tengah jalan, kemudian terseret, Sabda tak bisa merekam dengan jelas apa yang terjadi saat suara decitan ban mobil terdengar, diiringi klakson mobil saling bersahutan, yang dia tahu, dirinya dengan sigap menghalangi wajahnya dengan lengan sebelum mobil yang kendarainya menghantam tiang papan reklame di tepian jalan.
***
"Rania, sedang apa kamu di sini?"
Shanum bertanya ketika dua orang itu tak sengaja bertemu di rumah sakit. Shanum memberanikan diri untuk menyapa duluan ketika melihat gadis itu di sana.
Sebenarnya ada rasa sesak yang mengganjal, melihat Rania seperti melihat duri baginya. Agak menyakitkan melihat wanita yang begitu dicintai oleh sang suami.
Rania tampak tak baik-baik saja, matanya sayu seperti kurang tidur, dia juga terlihat sangat cemas. Shanum tidak mau berprasangka buruk atas kehadirannya di rumah sakit, dia menunggu Rania menjawab ucapannya.
"Mbak Shanum gak tahu kabar ini?" tanya Rania sedikit hati-hati.
Shanum menaikkan alisnya bingung. "Kabar apa?"
Shanum merasa tidak mendapat kabar apa pun, dan dia juga tidak mengerti maksud ucapan Rania. Entah apa yang gadis itu maksud.
Rania mengerti, sepertinya Shanum juga baru mengetahui hal ini. Dengan sekuat tenaga, Rania akhirnya menjawab.
"Mas Sabda dilarikan ke UGD, Mbak. Mas Sabda kecelakaan."
***
Jangan tanyakan bagaimana kondisi Shanum sekarang, wanita itu mendadak lemas ketika dirinya dikabari oleh Rania bahwa Sabda mengalami kecelakaan dan dilarikan ke rumah sakit.
Shanum tidak menyangka suaminya kecelakaan, tapi lebih menyakitkan lagi bahwa orang pertama yang mengetahui kabar tersebut adalah Rania. Alih-alih Shanum, istri sahnya.
Sejak awal, Shanum sudah menyimpan perasaan tak enak hati sejak bertemu dengan Rania di rumah sakit. Beberapa saat kemudian, perutnya tiba-tiba sakit, padahal dokter sudah bilang kondisinya akan membaik meski agak rentan. Shanum terus memikirkan Sabda sampai sebuah panggilan benar-benar meruntuhkan dunianya sendiri. Shanum tidak percaya bahwa Sabda mengalami kecelakaan.
"Sha, kalau kayak gini kamu bisa sakit beneran, ke dokter lagi aja, ya. Kamu harus dirawat," bujuk Sinar kepada Shanum yang tak berhenti mencemaskan Sabda.
"Tidak, aku gak apa-apa, Sin." Shanum berusaha untuk menolak.
"Keluarga Sabdatama?"
Shanum dan Sinar segera berdiri tatkala nama lelaki itu disebut oleh dokter yang menangani korban kecelakaan tadi.
"Saya istrinya. Gimana keadaan suami saya, Dok?"
Shanum lebih dulu bertanya, Rania hanya bisa terdiam tatkala Shanum mengatakan itu, yang jelas dirinya di situ bukan siapa-siapa.
Dokter paruh baya tersebut menghela napas sejenak, sebelum tersenyum menatap wanita hamil di hapannya tersebut.
"Lengan pasien dan kepalanya kami perban sedikit untuk menghindari infeksi. Selain itu, pasien mengalami benturan ketika kecelakaan ada memar yang terletak pada bagian kepala," jelas sang dokter.
Shanum mendengarkan vonis dokter dengan jantung berdebar. Dia tak percaya Sabda akan mengalami kejadian tragis seperti ini.
"Tetapi, kemungkinan pasien akan mengalami trauma dengan kejadian ini. Saya berharap keluarga mampu membantu pasien untuk tak mengingatkan kejadian tadi, karena cukup berbahaya untuk pasien itu sendiri," tambahnya.
Shanum mengangguk, setidaknya dia bisa sedikit bernapas lega mendengar vonis dokter mengenai suaminya tadi.
"Lalu, apa dia sudah sadar, Dok? Apa kami sudah boleh melihatnya?" Sinar kini bersuara, membuat sang dokter menoleh ke arahnya.
"Rekan saya masih berusaha menyelamatkannya. Masih ada dua korban yang belum selesai kami rawat. Kami akan terus memberikan kabar mengenai kondisi pasien. Harap bersabar dan banyak berdoa, ya."
Dokter tersebut beranjak pergi dari hadapan tiga perempuan tersebut setelah dia selesai menjelaskan semua apa yang perlu beliau jelaskan.
Isak tangis Shanum menyadarkan dua perempuan yang berada di sana, hal yang membuat Rania sadar bahwa ada istri Sabda yang harus dia tenangkan selain kegundahan hatinya sendiri. Setidaknya dengan diamnya mereka, mampu memberikan sedikit ketenangan.
Insting seorang istri biasanya sangat sensitif jika mengenai orang yang mereka cintai. Jika Sabda masih terus tidak sadarkan diri, dia takut terjadi sesuatu yang parah terhadap Sabda.
***
TBC
Part ini dikit banget, ya, Gaes.
Besok atau lusa lanjut lagi, ya, see u 😍
KAMU SEDANG MEMBACA
Surga yang Terabaikan (END)
RomanceShanum dan Sabda menikah karena keterpaksaan, tak ada cinta di sana. Mereka sepakat untuk tidak bercerai. Namun, Shanum merelakan suaminya untuk berhubungan dengan perempuan lain yang tak lain adalah; Rania. Shanum juga terpaksa mendapatkan tudinga...