***
Yang datang pasti akan pergi, yang ada pasti akan tiada, dan yang bertemu pasti akan berpisah. Semuanya berakhir dengan sebuah kehilangan, tapi bukankah ini yang namanya fase kehidupan? Karena disetiap pertemuan pasti akan adanya sebuah kehilangan.
--
:
:Pagi ini di kediaman keluarga Guruh terlihat sepi. Tak seperti hari biasanya. Suasana duka masih menyelimuti keadaan rumah sekarang. Padahal baru saja kemarin Gatra di makamkan dan semuanya terasa sangat berbeda.
Guruh menyesap kopi miliknya dengan tenang. Netranya menatap ke arah halaman rumah yang masih ada beberapa kursi dan tetangga yang berada di rumahnya. Adiknya sedang di dalam rumah, enggan keluar barang hanya sebentar. Semuanya mengunci diri di dalam kamar mereka kecuali Yuda yang berada di kamar Gatra.
"Mas, udah sarapan?" Guruh menoleh saat suara Arjuna memasuki gendang telinganya. Guruh menggeleng membalasnya.
"Makan dulu ya, Mas. Juna tadi abis beli makanan buat Mas sama yang lainnya. Makanannya Juna taroh dapur," ucap Arjuna yang memang baru saja kembali setelah membeli makan bersama Satya tadi.
Guruh beranjak pergi, tak lupa gelas kopi miliknya di bawa. "Makasih, Juna. Maaf Mas repotin kamu," ujar Guruh merasa tak enak. Arjuna mengangguk sembari tersenyum. "Mas gak repotin, tenang aja. Selagi Juna bisa bantu, bakalan Juna lakuin."
Setelah kepergian Guruh, Arjuna terduduk di bangku yang ada di depan rumah Gatra. Pandangannya memburam, air matanya jatuh untuk kesekian kalinya. Hatinya sakit ketika tak menyangkan salah satu orang tersayangnya pergi untuk selamanya. Rasanya baru kemarin Gatra bilang ingin jalan-jalan ke pantai ketika selesai ujian. Tapi, ternyata itu permintaan terakhirnya kepada Arjuna. Setelah ini tak akan ada lagi senyum manis pemuda tan itu.
"Usap air mata lo, Gatra pasti gak suka liat lo kaya gini."
Arjuna mendongak, di depannya sekarang ada Raksa yang wajahnya pucat. Kantung mata yang menghitam karena kurang tidur. Jejak sisa air mata mengering yang berada di sekitaran pipi. Baju yang sejak kemarin belum di ganti sama sekali.
"Lo gak tahu rasanya kehilangan salah satu orang terpenting dalam hidup," balas Arjuna sambil sesekali sesenggukan.
Raksa mengangguk pelan sebelum mendudukkan dirinya tepat di kursi samping Arjuna. "Lo bener, tapi yang kehilangan bukan cuma lo aja. Gue━gue juga kehilangan adik gue, meski gue gak pernah bersikap layaknya kakak ke dia. Tapi, sumpah demi apa pun, kehilangan dia buat selamanya ternyata buat hidup gue hancur dalam hitungan detik."
Arjuna mengusap air matanya kasar. "Baru nyadar ha? Gue heran, kenapa Allah punya rencana yang menyakitkan ke Gatra. Di lahirin di keluarga yang bahkan gak terima kehadirannya. Tau gak sih Gatra tuh kuat banget kalo kata gue. Mungkin kalo gue jadi dia gue bakalan benci juga ke lo sama kakak lo, dia terlalu sempurna buat jadi adik orang yang gak pernah ngehargain dia." Raksa terdiam mendengarkan semua ucapan Arjuna.
Raksa membenarkan ucapan Arjuna dalam hatinya. Memang benar seharusnya Gatra tak terlahir dari rahim yang sama dengannya. Harusnya Gatra bisa memiliki kehidupan yang lebih baik dari ini jika saja ia terlahir di keluarga Jaya atau Arjuna. Dan Raksa juga menyesali segalanya tentang bagaimana waktunya yang terbuang sia-sia dengan berakhir dirinya merasakan kehilangan yang mendalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gian Pramatya; Lee Haechan [ end. ]
Fiksi Penggemar"KENAPA KAMU GAK MATI AJA?!" "JANGAN PERNAH MANGGIL SAYA BUNDA KARENA SAYA BUKAN IBU KAMU!! SAYA GAK PERNAH LAHIRIN ANAK CACAT KAYA KAMU!!" : : "Sakit ya? Ini gak seberapa sama apa yang gue rasain! Harusnya lo mati dari dulu biar semua gak hancur!"...