PART 11

7.5K 685 43
                                    

"kau bocah yang ku tolong itu kan?" Tunjuk Anzel ke arah bocah laki-laki yang ada di depannya.

"Hm" balas bocah laki-laki itu.

Anzel yang mendapatkan jawaban singkat itu hanya memutar bola matanya malas, namun beberapa detik kemudian ia membolakan netra Semerah darahnya.

"Elina" gumam Anzel, ia segera bangkit dari tempat tidur dan  berlari mengabaikan bocah laki-laki itu yang tengah menatap dirinya dengan datar.

Anzel ingat dia sudah meninggalkan adik manisnya terlalu lama di rumah!, bagaimana jika nanti Elina menangis?, tidak! Anzel tidak suka melihat air mata adiknya.

Namun saat ia akan memegang gagang pintu tiba-tiba saja tubuhnya kaku dan tidak bisa bergerak. Ia tahu ini pasti perbuatan bocah sialan itu. Kenapa waktu itu dia harus menolong bocah itu? Bolehkah waktu di putar ulang? Jika boleh dia tidak akan menolong bocah laki-laki itu! Biarkan saja bocah itu mati!.

"Apa yang kau lakukan?" Tanya Anzel dengan penekanan di setiap kalimatnya.

"Jelaskan" mendengar jawaban bocah laki-laki itu Anzel hanya bisa menggeram marah.

"Bukan urusanmu dan cepat lepaskan aku sialan!" jawab Anzel ketus.

Diam, bocah itu tidak menjawab atau melakukan apapun ia hanya berdiri sambil menatap Anzel dengan datar.

Anzel yang menyadari itu hanya bisa menghela nafasnya, ia tidak boleh terbawa emosi dan meladeni bocah itu, bisa-bisa ini akan memakan waktu sangat lama, tidak! Tidak! Dia tidak ingin Elina menunggunya apalagi jika Elina sampai menangis.

"Baiklah, aku akan menjelaskannya tapi nanti! Sekarang tolong lepaskan aku, aku harus memeriksa ke adaan adikku, aku mohon!" Jelas Anzel dengan penekanan kata di akhir kalimatnya.

Setelah mendengarkan penjelasan Anzel Bocah laki-laki itu masih tidak mengatakan apapun, tapi sekarang tubuhnya sudah bisa bergerak, Anzel segera keluar dari ruangan itu tanpa menoleh ke belakang sama sekali.

Bocah laki-laki yang melihat kepergian Anzel hanya menyunggingkan senyum kecilnya, ah atau lebih tepat seringainya.

Anzel tidak tau dia sekarang ada di mana? Tapi kaki mungilnya terus berlari mengikuti instingnya, ia merasa sangat tidak tenang sekarang, entah mengapa dia merasa akan kehilangan hal paling berharga dalam hidupnya.

Tiba-tiba saja wajah Elina yang sedang tersenyum manis terlintas di pikirannya, ia segera menggelengkan kepalanya dia harus berfikir positif sekarang, bisa saja kan Elina saat ini tengah menunggunya dengan mata berkaca-kaca karna ketakutan, dan yang pasti itu akan terlihat sangat imut.

Anzel yang memikirkan itu hanya bisa terkekeh kecil, ia jadi tidak sabar untuk bertemu dengan adik kecilnya yang sangat manis.

"Elin tunggu kakak" gumam Anzel sambil mempercepat gerakan berlarinya.

Anzel terus berlari, dia tidak perduli walaupun kakinya terluka karna tidak memakai alas kaki, walaupun dia tersandung beberapa kali hingga menyebabkan luka di lututnya, walaupun cuaca sangat panas hari ini.

Yang dia inginkan hanya satu yaitu melihat senyum manis milik adiknya.

Hingga ia melihat hutan tempatnya dan Elina tinggal, senyum secerah mataharinya terbit, ia segera menyeka keringatnya kemudian kembali berlari ke arah rumahnya dengan perasaan yang berdebar.

"Elin kakak pulang" ucap Anzel dengan napas yang terengah-engah karna habis berlari.

Sebelum masuk kedalam rumahnya tidak lupa Anzel merapikan penampilannya terlebih dahulu, karna ia tidak ingin melihat adik manisnya khawatir melihat kondisinya sekarang.

Setelah penampilannya cukup rapi Anzel berjalan ke rumahnya, ia menghela nafas sebentar kemudian membuka pintu rumahnya dengan hati-hati.

"Elin kakak pulang" ucap Anzel sekali lagi kali ini dia meninggikan suaranya agar Elina bisa mendengarnya.

Namun saat tubuhnya sudah sepenuhnya masuk ke dalam rumah hal pertama yang dia lihat adalah perabotan yang berantakan dimana-mana, bekas tebasan pedang, dan sebuah darah?.

Sontak saja Anzel membulatkan matanya, kemudian berlari ke arah kamar Elina. Namun nihil di sana tidak ada siapapun.

"ELIN" Teriak Anzel, ia terus berlari ke penjuru rumahnya untuk mencari Elina, perasannya sudah sangat tidak baik sekarang apa lagi saat melihat sebuah darah.

"ELIN, KAMU DIMANA" Anzel mulai panik, ia takut adiknya kenapa-kenapa tanpa sadar sekarang matanya sudah mulai berkaca-kaca.

"Elin hiks...jangan hiks..buat kakak takut" gumam Anzel, air matanya sudah turun tanpa di suruh, ia benar-benar khawatir dengan adiknya itu.

Kaki mungil Anzel mulai keluar dari rumahnya ia memandang sekeliling, netranya terus melirik kanan-kiri guna menemukan adik tercintanya itu. Namun nihil ia tidak bisa menemukan sosok mungil kesayangannya itu.

Anzel segera menyeka air matanya, ia kembali berlari ke arah hutan dan sesekali meneriakan nama Elina. Ia harus selalu berfikir positif, ia yakin Elina saat ini pasti sedang bersembunyi di suatu tempat, sambil memanggil kecil namanya.

"ELINA KAMU DI MANA INI KAK...." Ucapan Anzel sontak terpotong saat ia tidak sengaja melihat sebuah baju yang di lumuri oleh darah?.

Dengan hati yang kacau Anzel berjalan  ke arah baju tersebut, dan saat sudah sampai di depan baju itu Anzel segera berlutut dan mengangkat baju itu.

Sontak saja pikiran Anzel langsung kosong saat melihat baju itu, ia tau! malah sangat tau siapa pemilik baju itu, apalagi di baju itu terdapat beberapa helai rambut berwarna putih.

"Bu...bukan ini pas..ti hanya mim..pi" gumam Anzel, ia tersenyum dengan sendu, Kemudian memeluk baju itu dengan erat dan terus menggumamkan kata 'ini hanya mimpi'

"Ti..dak Elin tidak akan meninggalkanku" ucap Anzel lagi tapi kali ini dengan suara yang lirih. Dan tanpa aba-aba air matanya keluar begitu saja

"Sialan hiks..sudah ku bilang hiks.. ini hanya mimpi! Tapi hiks..kenapa rasanya hiks.. sangat sakit" gumam Anzel pada dirinya sambil memeluk baju itu dengan erat.

Tangisannya terasa sangat menyayat hati, mungkin jika ada orang yang melihat itu mereka pasti akan merasa sangat iba dengan ke adaan Anzel sekarang.

"Elin hiks.. Apakah hiks.. sakit? Bagai mana jika hiks.. kakak menemani Elin? Elin hiks.. mau kan?" Anzel mengelus baju itu dengan sayang, seolah-olah ia sedang mengelus Surai adiknya sambil berbicara dengan Elina.

"Baiklah Kaka akan menemani Elin, bukan kah kita sudah berjanji akan selalu bersama" ucap Anzel dengan lirih, ia segera mengeluarkan elemen angin miliknya dan mengubahnya menjadi sebuh pisau angin yang sangat tajam.

"Elin tunggu kakak" gumam Anzel sambil tersenyum sendu, kemudian mengarahkan pisau angin itu tepat di jantungnya.





















Halo semua😊

Maaf ya aku makin lama up nya, soalnya aku masih harus persiapan UKK jadi aku jarang deh nulis novelnya😢

Tapi kalian tenang aja, aku akan usahain buat novel ini sampai tamat dan up terus walupun sedikit lambat😅.

Dan makasih buat udah yang mau baca+vote+komen novel ini☺️ dan maaf kalo kalian sering nemuin typo di novel ini ya😅🙏

Semoga kalian suka sama cerita ini☺️, dan aku mau bilang kalau alur novel ini lambat soalnya ini karya pertama aku jadi aku gak bisa buat alur yang cepat gitu mohon di maklumi ya 🙏☺️

Princess Duke'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang