33. BAPER

484 59 32
                                    

Keempat cowok yang merupakan sahabat Dhiren, sekarang tengah berada di dalam kamar Dhiren lantaran dipanggil sang pemilik kamar untuk kemari. Namun, bukannya keramaian yang diisi, justru keheningan yang menyelemuti mereka.

Bagas menggaruk tengkuknya lantaran tidak tahan dengan suasana yang kian mencekam dan terasa lebih horor. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, lalu helaan napas keluar dari mulutnya. Cowok itu beranjak dari kasur kemudian berjalan menuju sofa dan merebahkan diri di sana—memejamkan mata dan menutupi dengan tangannya. 

“Lo ngapain manggil kita?” tanya Bagas mengisi keheningan.

Keenam pasang mata serentak menoleh ke Dhiren yang tengah bersender di punggung kasur sambil bermain ponsel. Cowok yang menjadi sorotan itu pun meletakkan ponselnya di atas nakas dan bersidekap dada menatap satu persatu sahabat-sahabatnya. Bola mata hitam itu berhenti menyapu pemandangan pada seorang cowok yang tadi siang memukulnya. Senyum kecut tipis di bibjr Dhiren terpatri saat menyadari tatapan itu seperti tatapan asing.

“Rega, maafin gue.”

Alis Rega terangkat sebelah. “Salah lo apa sama gue?”

“Jangan bilang maaf sebelum lo tau kesalahan lo,” sahut Pangeran tajam saat Dhiren terdiam beberapa detik.

“Kesalahan gue udah nyakitin Retta.”

“Lo juga kecewain kita, Ren.” Agung meletakkan komik Detektif Conan milik Dhiren di meja belajar. Lalu menatap Dhiren lama.

“Dhiren yang gue kenal gak pernah rendahin perempuan.” Bagas menyahut dengan posisi yang belum berubah. Menjelaskan kekecewaan mereka pada Dhiren.

“Maaf.” sejak disidang oleh Arga tadi, Dhiren tidak bisa mengucapkan kata selain maaf, maaf, maaf, dan MAAF.

“Salah lo bukan sama kita, tapi Retta.” Agung kembali menjelaskan. Cowok itu duduk di sebelah Dhiren dan merangkul sahabatnya kecilnya erat.

Kedua kalinya, keheningan menyelimuti mereka. Ruangan luas ini hanya diisi suara ponsel Rega yang tengah bermain game subway surf yang sengaja volumenya dibesarkan.

“Maafin gue juga yang tadi udah nonjok lo.” Rega mematikan ponselnya dan menatap sudut bibir Dhiren yang membiru akibat ulahnya tadi siang.

“Sakit gak?”

Bagas yang mendengar pertanyaan itu, sontak melempar bantal sofa dan tepat mengenai belakang kepala Rega yang tengah duduk di karpet berbulu.

“Pertanyaan lo yang berbobot dikit kek. Ini gak penting banget, anjir!”

Pangeran, Agung, dan Dhiren terkekeh pelan melihat Rega dan Bagas yang mulai bertingkah layaknya kucing dan tikus.

“Pangeran.”

Pangeran menoleh pada Dhiren dan menaikkan kedua alisnya. “Apa?”

“Maafin gue yang udah sakitin hati orang yang lo suka.”

“Gue udah gak suka sama Retta. Ada yang baru,” jawab Pangeran enteng membuat keempat cowok itu melotot. Bahkan, Bagas bangun dari tidurnya sampai tidak sengaja kakinya mendorong kepala Pangeran yang duduk di bawah karpet, bersandar ke sofa.

“BAGAS BEGO!”

****

Kini jam menunjukkan pukul sebelas lebih dua puluh tiga menit. Arga meraup wajahnya sambil berusaha mengumpulkan nyawa. Setelah itu, Arga beranjak dari kasur dan keluar menuju dapur untuk mengisi air di botol tupperware karena sudah habis.

Perjalanan Arga ke dapur diisi kesunyian karena kini sudah larut malam. Namun, saat melewati kamar sang putra, langkah Arga terhenti lantaran mendengar suara isak tangis Dhiren. Karena penasaran, Arga membuka pintu kamar Dhiren dan mengintipnya. Seketika tubuh Arga menegang. Aliran darahnya berdesir hebat dan jantungnya seakan berhenti berdetak.

DHIRENDRA (LENGKAP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang