34. RUMAH SAKIT

534 55 85
                                    

“Lho? Dhiren? Apa kabar, Nak? Udah lama gak ke sini.” Sopia keluar dari warung dan menyambut kedatangan Dhiren dan Retta yang baru pulang sekolah.

Dhiren membungkukkan tubuhnya dan mencium punggung telapak tangan Sopia lembut. “Baik, Bu. Ibu gimana kabarnya? Udah gak sering pusing, kan?”

Sopia tersenyum tipis melihat perhatian kecil Dhiren padanya. “Enggak kok. Yuk, masuk! Udah makan belum?” Sopia menggiring Dhiren masuk ke rumah dan meninggalkan Retta yang diam mematung di sebelah Dhiren sejak tadi.

Retta menunduk. Melihat tangan yang terulur hendak menyalimi sang Ibu, tetapi lebih dulu masuk rumah. Cewek itu menarik dan menurun tangannya dengan wajah kesal.

“Padahal aku anak kandungnya, bukan Kak Dhiren,” gerutu Retta sambil menghentakkan kakinya kesal lalu berjalan memasuki rumah.

Tak melihat keberadaan Sopia dan Dhiren, Retta meletakkan tas di kursi ruang tamu dan pergi ke dapur. Benar dugaannya, Sopia dan Dhiren sudah duduk di kursi meja makan. Ah, lebih tepatnya Dhiren. Karena Sopia tengah berdiri sambil melayani Dhiren.

Alih-alih cemburu dan mengacaukan adegan manis itu, Retta justru menyenderkan pundak di pintu sambil bersidekap dada. Ia tersenyum geli melihat Sopia yang menyuruh Dhiren agar makan banyak. Bahkan, tak tanggung-tanggung Sopia memberikan empat centong nasi.

“Bu, ini kebanyakan. Dhiren gak biasa makan banyak.”

“Udah gak papa. Makan aja, nanti Ibu suapin biar gak kerasa kalau banyak. Retta juga sering gitu.”

Dhiren diam tak menjawab ucapan Sopia yang terus kekeuh dengan pendiriannya. Ternyata, adu mulut dengan ibu-ibu akan membuat kewalahan. Tetapi itu tak masalah bagi Dhiren, karena ini yang dambakan sejak kecil. Mendapat kasih sayang seoang ibu. Dan Sopia berhasil mewujudkan impian itu.

Jadi gini rasanya dimanja sama ibu, batin Dhiren seraya menatap teduh wanita yang duduk di depannya.

Pandangan Dhiren tidak lepas dari gerak gerik Sopia yang mengambilkan nasi serta lauk dan air minum untuknya dengan telaten.

“Buka mulutnya, Ren.”

Dhiren menurut dan membuka mulutnya lebar-lebar agar makanan yang disendok yang dipegang wanita itu masuk ke dalam mulutnya.

Dhiren mengunyah makanan tersebut sambil tersenyum tipis dan menatap wanita di depannya dengan tatapan tulus.

Tuhan..., terima kasih untuk kebahagiaan ini.

“Dhiren sayang Ibu.”

“Eh?” Sopia menoleh kaget lalu mendengus geli. “Ibu juga sayanggg banget sama Dhiren.” Sopia meletakkan piring di atas meja lalu tangannya terulur mengusap surai rambut hitam tebal milik Dhiren. “Jadi anak yang baik, ya?” Dhiren mengangguk patuh layaknya anak kecil membuat Sopia dan Retta tersenyum kecil.

****

Malam ini Dhiren dan Arga pergi ke rumah sakit Mandiri untuk menjenguk Xea yang masih dirawat di rumah sakit. Sebenarnya, Dhiren enggan pergi ke tempat ini, tetapi Arga memaksanya untuk ikut.

“Yahh..., Dhiren nunggu di lobby aja, ya?”

Arga menoleh ke Dhiren dan melempar tatapan tajam pada sang putra. “Gak. Ayo turun.”

Dhiren berdecak namun tak urung mematuhi perintah Arga. Cowok itu melepas seatbelt dan turun mobil bersama Arga. Saat memasuki pintu utama rumah sakit, bau-bau obat-obatan masuk ke dalam indera penciuman Dhiren. Beruntung cowok itu membawa scarf abu-abunya.

DHIRENDRA (LENGKAP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang