Pada akhirnya, Rean menyerah untuk menunjukkan benda di antara kedua kakinya, membuat Hydra menyorakinya, kecewa.
Rean benar-benar merasa terhina. Di depan Hydra, mendadak dia merasa lebih murah dibanding pelacur di pinggir jalan. Demi menjaga martabat terakhirnya, Rean hanya memperingatkan Hydra agar tidak memikirkan hal yang tidak masuk akal lagi tentangnya.
Hydra hanya tersenyum dan setuju.
Membuat Rean untuk sesaat tidak bisa berkata-kata.
"Lo ... kenapa lo bisa berubah sedrastis ini?" tanya Rean ragu. "Sampai tadi pagi, bukannya lo masih jadi anak ayam pecundang? Kenapa tiba-tiba lo bahkan berantem sama dua cowok yang nggak bisa lo sakitin sama sekali?"
"Siapa yang tahu?" Hydra menjawab dengan senyuman humor. "Mungkin, gue terlalu capek."
Capek karena martabatnya terus direndahkan oleh semua orang di sekitarnya.
Hydra meminum obatnya tanpa banyak keluhan. Lalu dia turun dari ranjang, berjalan tertatih melewati Rean, dia berbalik, menatapnya lagi dan berkata, "Gue ... masih harus bilang makasih."
Rean tidak tahu bagaimana harus meresponsnya. Namun dia masih menjawab, "Gue nggak ada di pihak lo."
"Gue tahu." Hydra menjawab dengan nada ringan. "Di dunia ini ... nggak akan ada seorang pun yang berpihak sama gue, gue selalu tahu ... tapi saat pertama kalinya lo nyelametin gue di masa lalu, lo ibarat pilar dalam hidup gue. Jadi, tanpa sengaja ... gue jadi orang yang obsesif, gue nggak sadar kalo apa yang gue lakuin bikin lo ngerasa terganggu."
"Sekarang ... gue lebih sadar diri, gue juga bakalan jaga jarak." Hydra terkekeh, matanya menyipit, manik terangnya tampak sepi. "Gue nggak akan pernah ganggu hidup lo lagi."
Lalu cewek itu melangkah pergi begitu saja.
Rean berbalik, menatap punggung kecil yang semakin jauh dan sepi. Langkah Hydra pincang, dia tampak kesulitan untuk berjalan. Tapi dia tidak meminta bantuan.
Dia tidak membutuhkan pertolongan siapa pun.
Rean membuka mulutnya, seolah ingin memanggil dan mengatakan sesuatu.
Tapi pada akhirnya Rean menutup mulut. Ada rasa sakit samar yang membuatnya tidak nyaman. Seolah memiliki naluri untuk melindunginya, melindungi sosok yang begitu diasingkan dunia dan semua orang.
Apa yang gue pikirin?
Rean mengeluh dalam hati.
Gue sama Greisy sama sekali nggak ada hubungannya, kalo dia mutusin buat menjauh, bukannya itu justru bagus?
Hanya saja Rean tidak mengerti. Semakin dia yakin dengan pemikirannya, semakin besar rasa tidak nyaman yang menguasainya.
***
"Kenapa kita nggak minta bantuan Rean?" Yara bingung. Matanya sudah bengkak, dia berjalan di samping Hydra yang begitu keras kepala. "Gue pikir, selama lo minta bantuan, dia mungkin bakalan luluh?"
"Lo sama sekali nggak ngerti taktik ini." Hydra menghela napas, bergumam pelan, "Cowok itu semakin dikejar semakin bangga. Greisy udah lama jadi stalker-nya, sekarang tiba-tiba dia denger stalker-nya tobat, mana mungkin dia nggak ngerasa kehilangan?"
Perasaan itu seperti layangan. Yang harus ditarik-ulur di waktu yang tepat.
Yara hanya membulatkan bibirnya. Hydra mencibir, sebagai penulis ... bahkan hal sesederhana ini saja Yara sangat bodoh. Tidak heran dia gagal di semua misi.
"Tapi gimana kalo Rean justru lega dan nggak bakalan dateng jagain Greisy sama sekali?"
"Itu mustahil."
KAMU SEDANG MEMBACA
She Is(n't) The Villain Protagonist
Fantasy"Bahkan walau jiwa gue dirobek berkeping-keping, gue bakalan mastiin lo bisa pulang." Pasca melihat ibu kandungnya sengaja bunuh diri di depannya untuk membuat Hydra gila, Hydra mengembangkan kepribadian yang dingin, kejam, dan tanpa ampun. Hydra ti...