22. Her Name is Greisy [22]

5.9K 1.1K 272
                                    

"Langitnya ... semakin retak." Yara berkata pelan. Mendongak, menatap langit biru yang dipenuhi retakan. Satu per satu retakan itu jatuh, seolah langit tersebut dibuat dari kertas yang mudah berguguran.

Yara melihat Hydra yang sedang membaca buku di luar kelas. Bersandar ke pagar kelas sambil menopang satu dagunya. Dia berdiri, memasang ekspresi acuh tak acuh, seolah sama sekali tidak merasa gugup dengan langkah demi langkah mereka, yang mungkin saja berujung gagal dan tragis.

Ada earphone murah yang menyumbat telinga Hydra, dia tidak mendengar apa yang Yara katakan, namun dia secara tanpa sadar meliriknya, memindai wajah Yara yang tampak murung. Yara duduk di pagar, kedua kakinya terayun melayang. Sebenarnya, Yara sedikit takut dengan ketinggian, tapi mungkin kaarena dia sadar dia saat ini hanya sesosok jiwa, dia tidak akan mati bahkan walau jatuh dari tempat tinggi.

"Hydra ...."

Hydra menurunkan earphone-nya, melihat gerak bibir Yara, dia tahu Yara sedang memanggilnya.

"Mm?"

"Kita ... bisa ngelewatin novel ini?" tanya Yara sendu.

"Kita bisa." Hydra mengangguk yakin. "Gue janji."

Yara perlahan menoleh, dia menatap Hydra, ekspresinya agak getir dan sedih. Bibirnya mengukir senyuman samar. Dia sedikit cemberut, bergumam serak, "Gue ... juga berharap kayak gitu. Gue capek."

Yara tidak tahu sudah berapa lama? Mengulang keempat belas novelnya, berkali-kali, sampai dia bahkan tidak yakin jika usianya dikonversikan, dia mungkin sudah berusia ratusan tahun.

Dia lelah, jiwanya rusak. Dia merasa pecah.

Dia mencoba tetap tegar, memegang satu tali harapan yang tersisa. Dia terus berdoa di dalam hatinya, berharap dia bisa melewatinya.

Dia diberi satu kesempatan untuk memanggil seseorang untuk menggantikannya, lalu ... Hydra terlibat.

"Kenapa lo nangis lagi?" Hydra berkata tanpa daya. Yara ini memang cengeng sekali. Hydra mengulurkan tangannya, hendak menyeka air matanya, tapi menyadari dia tidak bisa menyentuh Yara sama sekali, Hydra menarik tangannya kembali.

"Gue capek." Yara menghirup napas dalam-dalam. "Gue bener-bener capek. Gue capek kesakitan."

Hydra kali ini tidak menjawab. Dia tidak bisa membayangkannya. Bagi Hydra, sebenarnya ini tidak terlalu sulit, tapi untuk Yara yang terbiasa hidup nyaman ... ini memang sangat sakit.

"Ini terakhir kalinya." Hydra mengukir senyuman kecil. "Ini terakhir kalinya lo ngeliat Greisy. Bagi gue, ini nggak sulit sama sekali, jadi lo bisa tenang."

"Lo nggak perlu khawatir soal apa pun, Yara."

"Gue bakalan jagain lo."

"Gue bakalan bebasin lo."

"Nggak peduli apa pun caranya, lo bisa pergi."

Bahkan jika jiwa Hydra sendiri yang terkorosi, Hydra tidak peduli. 

"Lo ... bener-bener baik sama gue." Yara menyeka air matanya susah payah. "Kalo lo cowok, pasti gue pacarin."

Hydra terkekeh, "Apa kabar Emilio?"

"Kalo bisa dua, kenapa harus satu? Gue bisa ngehidupin kalian berdua."

Hydra kali ini tertawa, "Sebenernya cewek sama cewek juga bisa aja."

Yara juga tertawa, "Mm, bisa aja. Sayangnya kita ibu dan anak sekarang, udah incest, masa mau lesbi juga?"

Hydra tertawa riang. Dia merasakan embusan angin di siang yang mendung. Bibirnya tidak berhenti membentuk lengkungan, manik emas itu tampak berkilauan, memiliki sejuta bintang yang membuat banyak orang terpukau.

She Is(n't) The Villain ProtagonistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang