Saat Hydra meninggalkan kelas, dia melihat Rean duduk di pagar balkon. Pemuda itu menatapnya beberapa saat, bibirnya terkatup rapat, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi bingung tidak tahu apa yang harus dia katakan?
Rean hanya merasa berat. Dia selalu ingin menatap Hydra. Lebih lama dan lebih lama, seolah satu kali saja dia memalingkan wajahnya, dia akan kehilangan Greisy selamanya.
Tapi dia sudah ditolak.
Greisy tidak lagi mencintainya. Greisy tidak lagi menganggap Rean sebagai objek pemujaannya.
Rean terus bertanya-tanya dan menyesalkannya. Andai ... dia lebih sadar terhadap perasaannya lebih awal. Andai saja dia mengetahui betapa berharganya Greisy untuk dirinya sendiri beberapa tahun lalu, melindunginya ... tidak membiarkan siapa pun menyakiti Greisy, menghancurkannya.
Greisy tidak akan menjadi sosok yang rendah diri seperti sekarang.
Dia tidak membutuhkan cinta siapa pun lagi. Bagi Greisy, kehidupan yang damai dan tenang sudah lebih dari cukup.
Hydra tersenyum, berjalan menghampirinya, mengeluarkan beberapa permen cokelat dari saku seragamnya, lalu meletakkannya di telapak tangan Rean.
"Muka lo kelihatan mendung banget. Makan cokelat buat balikin mood."
Greisy benar-benar orang baik. Bahkan setelah Rean mengabaikannya, dia masih akan mendekati Rean saat menyadari Rean terus memperhatikan.
Rean menelan ludah. Berbisik serak, "Gue nggak suka yang terlalu manis."
"Jadi, lo lebih suka nelen yang pahit?"
Mata mereka saling menumbuk, Hydra tersenyum main-main. Lalu tertawa kecil, "Nggak semuanya yang manis itu jelek, nggak setiap hal pahit bisa lo telen. Yang terlalu pahit juga bikin sakit."
Rean linglung. Kata-kata Hydra terlalu ambigu, dia mengepalkan tangannya, menggenggam permen cokelat itu lebih erat.
"Lo suka yang manis?" dia mencari topik pembicaraan. Berharap bisa bicara dengan Hydra lebih lama. "Yang manis gue suka, yang pahit juga nggak apa-apa. Asam atau asin, semuanya gue suka."
Hydra merenungkannya, lalu menyeringai, "Sebenernya ... gue nggak benci apa-apa, tapi gue lebih takut sama rasa sakit."
"Takut sakit?"
"Mm." Hydra mengangguk. Dia memasang ekspresi humor, "Gue itu ... tipe orang yang bisa nangis beberapa jam karena kulit kegores pisau. Dulu, gue nggak tahan sama rasa sakit."
Rean merasa sesak. Membayangkan sejak Jimmy cs selalu menyakitinya, melukai fisik Greisy sepanjang waktu. Di mana Greisy menangis selama ini? Berapa lama dia menangis sampai bisa meredakan kesedihannya, rasa sakitnya?
"Sekarang, gue agak terbiasa." Hydra berbisik lembut. "Tapi kalo bisa dihindari, gue masih lebih berharap dihindari."
Rean tertegun. Hydra mengerjap, dia melihat Rean lalu menyeringai, "Gue dipanggil guru sekarang. Gue duluan."
Rean melihat Hydra yang melangkah semakin jauh, menatap punggungnya yang kian mengecil sebelum akhirnya menghilang saat berbelok.
Bibir Rean memanggil serak, "Greisy ...."
Matanya panas. Hidungnya stringen. Kata-kata Hydra benar-benar membuat Rean sedih dan tidak nyaman. Dia berharap bisa menahan Hydra lebih lama di sisinya, tapi Rean tidak punya alasan.
Jika Rean tahu itu adalah terakhir kalinya dia melihat Greisy yang masih riang, dia tidak akan melepaskannya.
Bahkan walau itu artinya dia harus merendahkan dirinya, berlutut agar Greisy tetap tinggal, dia tidak akan membiarkan Greisy pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
She Is(n't) The Villain Protagonist
Fantasia"Bahkan walau jiwa gue dirobek berkeping-keping, gue bakalan mastiin lo bisa pulang." Pasca melihat ibu kandungnya sengaja bunuh diri di depannya untuk membuat Hydra gila, Hydra mengembangkan kepribadian yang dingin, kejam, dan tanpa ampun. Hydra ti...