3. The Virus

2.6K 212 9
                                    

Hai!
Ini dia chapter ketiga dari BEAST!
Jika ada kesalahan penulisan silakan comment! :)
----------------------------
Aku mengerjapkan mataku dan mendengar suara Kate yang sedikit panik.

"Ada apa Kate? Kenapa di sini gelap sekali?" tanyaku, masih setengah mengantuk.

"Akan aku jelaskan nanti. Sekarang cepat ganti bajumu! Jangan lupa membawa jaket. Aku akan tunggu di bawah. Jangan lama! Ini ada senter untukmu." kata Kate.

Aku mengangguk dan segera mengganti piyamaku dengan sebuah T-shirt dan celana jeans panjang, dengan bantuan cahaya senter. Aku menyambar jaket kesayanganku dan sepasang sepatu kemudian segera berjalan perlahan menuruni tangga.

Astaga, rupanya di lantai bawah sangat ramai. Semua penghuni villa berkumpul di sana. Mereka menyalakan lilin sebagai alat penerangan. Wajah mereka semua terlihat khawatir. Sepertinya ada sesuatu yang serius sedang terjadi.

"Ada apa ini?" tanyaku kepada Kate.

"Kemarin malam, sekitar jam 11, Patrick mendapatkan telepon dari laboratorium orangtuanya. Rupanya itu telepon dari salah seorang karyawan di sana. Karyawan itu hanya menyuruh kita untuk pergi secepat mungkin dari pulau. Kemudian telepon mati seiring dengan suara teriakan sesuatu seperti hewan buas--aku rasa. Kemudian terdengar suara ledakan dari arah laboratorium." Kate menjelaskan panjang lebar.

Aku terdiam sambil mencerna informasi yang baru saja disampaikan oleh Kate.

Aku menyimpulkan bahwa mungkin, "hewan buas" yang dikatakan oleh Kate mungkin merupakan salah satu dari percobaan ilmiah yang lepas.

"Mungkin sebaiknya kita memang harus meninggalkan pulau." kataku kepada Kate.

"Itu dia masalahnya, Nic. Kapal yang ada di dermaga sudah kembali ke kota kemarin siang. Ponsel kami semua tidak mendapatkan sinyal--mungkin pemancar sinyal yang ada di dekat lab ikut meledak. Listrik di pulau ini juga mati. Kami benar-benar bingung." Kata Kate putus asa.

"Patrick, tidakkah ada kapal lain di pulau ini?" tanya Tom.

"Entahlah, Tom. Aku hanya tahu satu kapal yaitu kapal yang biasa aku gunakan untuk bepergian kesini." jawab Patrick gusar.

"Bagaimana dengan orangtuamu? Apakah mereka tidak memiliki kapal pribadi?" tanya Ed.

"Aku tidak tahu. Aku belum pernah pergi jauh dari villa ini." jawab Patrick.

"Sebenarnya, di dekat laboratorium ada sebuah kapal yang biasa digunakan oleh orangtua Tuan Muda." kata seorang pria tua yang kukenali namanya sebagai Pak Benson--satpam villa.

"Benarkah?? Kalau begitu kita harus kesana sekarang!" kata Patrick.

"Tunggu dulu, Pat! Dengan situasi yang gelap gulita begini, kita tidak bisa pergi keluar villa. Belum lagi jika ada hewan liar di hutan." kata Ed.

Akhirnya semua memutuskan untuk pergi ke kapal saat pagi hari. Semua pintu dikunci rapat dan kami berjaga bergantian.

Pak Benson mengeluarkan setumpuk senapan dari gudang. Rupanya dia merupakan mantan tentara dan memiliki banyak simpanan senjata. Dia memberi kami masing-masing satu, disertai beberapa lusin peluru cadangan.

"Ini untuk berjaga-jaga. Senapan itu sudah disertai peredam suara sehingga saat kalian menembakkan peluru tidak akan terlalu ribut." Pak Benson menjelaskan.

Sebenarnya para perempuan hampir semuanya tidak bisa menembak. Tetapi setelah dapat pelajaran singkat mengenai saat-ada-musuh-tarik-saja-pelatuk-nya, kami sudah ada bayangan tentang bagaimana cara menggunakan senapan itu.

Tentu saja aku tidak berharap akan benar-benar perlu menggunakannya.

Saat matahari mulai muncul di ufuk Timur kami pergi meninggalkan villa dan memasuki hutan.

Kami tidak menggunakan mobil Land-Rover milik Patrick. Karena suaranya sangat berisik dan mobil itu sangat sempit untuk kami semua.

Kami berjalan perlahan menembus hutan yang lebat. Menuju pantai yang ada di dekat laboratorium yang berada di sisi lain pulau ini.

Pak Benson memimpin kami, rupanya dia sudah bertahun-tahun tinggal di pulau itu bersama orangtua Patrick.

Aku memperhatikan keadaan di hutan sangatlah aneh. Suasananya sungguh sepi tanpa suara kicauan burung atau apapun.

Hanya ada desiran angin dan suara degup jantungku yang aku dengar.

Aku menyadari bahwa pohon-pohon yang ada di hutan terlihat pucat dan lemah.

"BRAKK!"

Sebuah pohon besar tumbang.

"Kenapa hutan ini sangat aneh? Kemarin tidak begini." Kataku.

Sesuatu yang besar tiba-tiba terbang melewati kepala kami.

Kami semua mendongak ke atas. Tapi "sesuatu" itu telah pergi.

"Apa itu?" bisik Kate sambil menunjuk ke depan.

Di hadapan kami, ada seekor pegasus yang kukenal bernama Angel.

Angel terlihat sangat aneh. Dia menggeram dan terlihat marah--atau lapar?

Kulitnya tidak lagi berwarna putih. Tetapi kini berwarna abu-abu muda dengan bercak putih di sekujur tubuhnya.

Pak Benson menyiagakan senjatanya dan bersikap waspada.

Angel terlihat semakin marah. Dia mengangkat kedua kaki depannya dan mulai menyerang kami.

Pak Benson dan para pria mulai menembaki Angel hingga mati.

Jill menangis melihat pegasus kesayangannya itu mati. Aku menenangkannya.

"Hewan apa ini? Pertama kali aku melihat hewan semacam ini." Kata Pak Benson.

Ed menceritakan kejadian saat dia dan Jill menemukan pegasus ini.

"Jadi, saat kalian menemukan pegasus ini sifatnya tidak begini?" tanya Pak Benson.

Ed dan Jill mengangguk.

"Aku heran, sebenarnya musuh kita itu apa?" tanya Tom.

Semua menggeleng.

"Jika hewan percobaan berbahaya milik orangtua Patrick lepas maka seharusnya hanya ada sedikit 'kan?" tanya Kate takut-takut.

"Biasanya orangtuaku akan langsung membunuh hasil percobaan yang berbahaya. Berarti suara mengerikan yang aku dengar di telepon kemarin adalah percobaan baru yang tidak sengaja lepas dan belum sempat dibunuh." Patrick menjelaskan.

"Tapi kenapa seisi pulau ini terlihat berubah juga? Seperti ada sebuah penyakit atau virus." Kataku heran.

Lagi-lagi semua menggeleng.

"KRESEKK!"

Semak-semak yang ada di sebelah kanan kami berguncang.

Seorang wanita tua yang tampak amat sangat berantakan keluar dari semak-semak.

Wanita itu mengenakan jas ilmuwan yang penuh darah. Rambutnya acak-acakan dan sudut bibirnya berdarah. Pupil matanya berwarna putih dengan iris yang berwarna hitam.

Sungguh menyeramkan.

Wanita itu menatap lapar ke arah kami seolah-olah kami adalah santapan yang sangat nikmat.

Kami menyiagakan senapan yang ada di tangan kami.

Aku sudah hampir menembak wanita itu saat Patrick berkata,

"Ibu?"

----------------------------------
Kritik, saran, dan komentar akan aku terima dengan senang hati! :)

Jangan lupa vote ya!

BeastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang