15. Run

1.8K 146 16
                                    

"GRAUR!!!"

Kami terkaget-kaget melihat monster itu. Sepertinya ini monster terganas yang ada di pulau. Bentuknya mirip seperti gorila tetapi ukurannya jauh lebih besar dari itu. Mungkinkah ini makhluk hasil percobaan juga? Kami tidak berpikir panjang, kami segera menghujani monster itu dengan peluru.

Monster itu tidak terima dengan tembakan bertubi-tubi dari kami. Segala yang ada di dekatnya dilayangkan ke arah kami guna membalas serangan yang kami berikan. Monster ini tangguh, aku akui itu. Pak Benson juga tampaknya mengakui hal itu. Semakin lama, peluru kami semakin banyak yang terbuang. Pepohonan di sekitar monster itu juga sudah habis karena dicabuti olehnya.

Perlahan-lahan, kami mengambil langkah mundur dengan teratur. Tampaknya cukup sulit mengalahkan monster yang satu ini. Setelah cukup lama, kami mulai merasa terpojok. Sekarang hanya ada satu pilihan: lari.

Secara serempak kami berlari ke kanan, menuju pepohonan yang lebih lebat. Si monster mengikuti kami sambil menumbangkan beberapa pohon lagi.

"Kita harus segera pergi ke tebing! Di sana banyak celah kecil, jadi kita bisa bersembunyi," Pak Benson berteriak.

Tanpa dikomando, kakiku melaju lebih cepat. Dari kejauhan aku mulai melihat tebing yang dimaksud. Tebing tersebut terlihat terbuka ke arah dalam, seperti sebuah garasi mobil. Samar-samar, kulihat kapal yang kami cari.

Kebebasan sudah dekat.

Sesekali, sambil berlari, kami menembaki monster raksasa itu. Beberapa luka mulai menghiasi tubuhnya, tetapi dia tetap gencar mengejar kami.

Tebing itu sudah semakin dekat. Aroma air laut juga sudah mulai tercium. Daratan yang kami injak berganti dari tanah menjadi pasir putih yang indah. Pantai ini sungguh menakjubkan. Letaknya cukup tersembunyi dan dikelilingi oleh tebing-tebing tinggi. Satu-satunya jalan masuk adalah melalui tempat kami kejar-kejaran ini. Jika saja aku tidak sedang dalam situasi seperti ini, pasti aku sudah sibuk memotret dan berenang kesana-kemari.

Memang banyak sekali tebing di sini, tetapi sama sekali tidak ada celah untuk bersembunyi.

"Pak, tidak ada tempat sembunyi?" tanyaku.

Pak Benson melihat sekeliling. "Pantai ini... tidak sama seperti yang aku ingat dulu." Dia menoleh. "Tidak ada pilihan lain. Kita harus melawan."

Jantungku berpacu. Bayanganku untuk pergi dari pulau buyar semuanya. Apakah mungkin kami mengalahkan monster itu? Tidak, tidak. Aku tidak boleh pesimis begini. Aku, Jill, Thomas, dan Pak Benson sudah sampai sejauh ini. Kami tidak boleh gagal hanya karena satu monster bodoh ini.

Aku menodongkan senjataku dan menembaki monster itu dengan membabi buta sampai peluruku habis. Tidak ada reaksi berarti dari monster itu. Gagal. Tembakan asal tanpa membidik tidak bisa membunuhnya. Sambil mengisi peluru, aku memikirkan bagaimana cara untuk membunuh monster itu. Teman-teman yang lain masih sibuk menembaki si monster jelek.

Kira-kira di mana titik kelemahan monster ini? Aku pernah membaca buku yang menuliskan bahwa setiap orang—anggap saja dia orang—pasti mempunya titik kelemahan. Di mana titik lemah monster ini? Aku melirik jantungnya. Di dada tempat jantungnya berada sudah ada banyak bekas tembakan, Thomas yang sedari tadi menembakinya. Meskipun begitu, monster ini tidak terpengaruh apa-apa. Lantas di mana kelemahannya?

Hey, aku ingat! Jika monster ini mirip seperti zombie, maka kelemahannya adalah di... di... di kepala! Aku pernah menonton film tentang zombie dan orang-orang dalam film itu selalu menembaki kepala zombie untuk membunuhnya. Sepertinya ini bisa dicoba!

"Pak! Bagaimana jika kita semua membidik kepala monster ini? Jika dia mirip seperti zombie, pasti tembakan ini akan berpengaruh padanya!" usulku.

Tanpa pikir panjang, semua langsung setuju dengan usulku. Kami menembaki kepala si monster terus-menerus.

BERHASIL!

Monster itu meraung-raung kesakitan sambil memegangi wajah jeleknya. Lantas, ia meraung sambil menggoyang-goyangkan tangan kanannya ke arah kami, seakan memaki. Melihat keberhasilan ini, aku tidak buang-buang waktu dan segera menembak wajahnya lagi. Monster itu kembali meraung lagi, tetapi kali ini lebih keras dan memekakkan.

Sekonyong-konyong, tubuh monster itu ambruk dan mengakibatkan getaran yang cukup hebat di sekitar pantai. Pasir-pasir putih berhamburan dan menutupi pandangan kami. Aku memicing, berusaha melihat apakah ada pergerakan dari si jelek.

"Apakah dia sudah mati?" tanyaku.

"Tidak. Tangan kirinya masih bergerak-gerak, kurasa dia hanya pingsan," jawab Pak Benson, "kita harus segera pergi sebelum dia bangun."

Kami mengangguk dan segera mengikuti Pak Benson. Dia mengalungkan senjatanya ke belakang dan berenang menuju ujung tebing, aku dan yang lain mengikutinya. Air laut terasa sedikit menenangkan buatku, dengan ombak yang tenang dan desiran angin. Air laut di pantai ini sangat jernih. Aku bisa melihat ikan-ikan cantik berenang-renang dengan santainya. Anehnya, ikan di laut ini sama sekali tidak terinfeksi apa-apa.

Akhirnya, kami sampai di tepian tebing. Kapal berukuran sedang yang terlihat canggih sudah menunggu kami di sini. Aku naik ke pinggiran tebing sambil mengaggumi kapal ini. Di bagian belakangnya ada banyak baling-baling, sepertinya kapal ini didesain untuk melaju dengan cepat.

"Kalian jangan bengong di sana. Ayo cepat masuk ke kapal."

Aku mengangguk dan segera mengikuti Pak Benson yang sedari tadi sudah masuk ke dalam kapal. Rupanya bukan cuma aku yang bengong dari tadi, Jill dan Thomas juga. Kami masuk ke dalam kapal dan duduk di tempat yang diperintahkan Pak Benson. Sementara itu, dia sibuk mengutak-atik tombol-tombol kendali kapal.

"Aku harap mesinnya tidak rusak," gumam Pak Benson.

Pak Benson menekan tombol yang berwarna merah dengan penuh harap. Awalnya tidak terjadi apa-apa. Aku menggenggam tangan Jill dan Thomas seraya berdoa. Kedua kalinya dicoba, tidak terjadi apa-apa. Ketiga, nihil.

Air mata menetes ke pipiku. Beginikah? Kami sudah jauh-jauh ke sini dan mesinnya tidak mau menyala? Sejahat itukah Engkau kepada kami? Oh Tuhan, tolong biarkan kami selamat dan pergi dari pulau ini.

Jill dan Thomas memelukku. Keduanya sama-sama menangis, hanya saja tangisan Thomas lebih menyerupai orang sedang pilek. Pak Benson terus-menerus mencoba menyalakan kapal. Dia mengutak-atik semua tombol dan tuas. Ditekannya lagi tombol merah itu. Mesin tetap tak bergeming.

"Oh, ayolah!!" Pak Benson memukul meja kendali yang dipenuhi tombol itu. "Menyala untukku! Untuk kami!"

Sekali lagi, dia menekan tombol merah. Samar-samar suara mesin bergema di gua kecil ini. Aku menengadah gembira. Mesinnya menyala? Tepat setelahnya, suara itu menghilang. Jill dan Thomas menengok-nengok dengan linglung.

Pak Benson menekan tombol itu lagi. Kali ini mesin kembali bersuara, lebih keras. Aku menangis gembira. Jill menutupi mulutnya dan matanya terbelalak. Sementara itu, Thomas masih terlihat waspada, tetapi aku dapat melihat secercah kegembiraan di wajahnya.

Namun mesin kembali mati.

Aku merosot dan menyandarkan punggungku di dinding kapal. Jill menutupi seluruh wajahnya sambil terisak. Thomas menyandar sambil menengadah.

Meskipun begitu, Pak Benson tidak menyerah. Kali ini dia terlihat berdoa sebentar sambil memejamkan mata. Kemudian, dengan percaya diri, ditekannya tombol itu lagi. Mesin meraung-raung sempurna! Mesinnya menyala! Oh Tuhan, mesinnya menyala!!

Aku, Jill, dan Thomas berpelukan bahagia. Kami menangis lagi, tetapi kali ini tangisan bahagia. Pak Benson juga terlihat sangat gembira. Dia tertawa-tawa kemudian menengok ke arah kami sambil tersenyum bahagia.

"Perhentian berikutnya: rumah!" Pak Benson menarik tuas-tuas dan membawa kami menjauhi pulau.

Kami tertawa gembira.

Sekarang, kami aman.

TAMAT

---------

Yay, Beast udah tamat wkwkwk. Semoga kalian suka dengan keseluruhan ceritanya, ya! Kalau kurang suka, mohon maaf ya wkwk. Saya masih newbie. Sampai jumpa di cerita saya selanjutnya!

BeastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang