Yuki kini sudah sampai di bandara. Ia menatap sekelilingnya, banyak orang yang sibuk datang dan pergi di bandara. Bandara adalah tempat pertemuan sekaligus perpisahan. Entah itu pertemuan pertama kali atau perpisahan terakhir kali.
Yuki sendiri tak mengerti mengapa bisa sampai di sini. Yang ia ingat terakhir kali, ia hanya mengganti celananya menjadi jeans namun atasannya tetap kaos rumahan yang dilapisi jaket. Ia juga tak mengerti bagaimana Ali mengendarai motornya sehingga ia bisa cepat sampai di sini, tak tahu berapa kecepatan motor Ali, tak tahu bagaimana kerasnya angin malam menerpanya. Ia juga tidak tahu bagaimana motor bisa menuju bandara, karena yang selama ini ia tahu ke bandara menggunakan taksi, mobil pribadi ataupun bis, yang penting kendaraan roda empat. Yang ia ketahui lagi yaitu selama perjalanan ke bandara, ia hanya memikirkan apa yang harus disampaikan ke Stefan dan bagaimana cara menyampaikannya. Setelah sampai, Ali langsung menyuruh Yuki masuk ke bandara sedangkan Ali memutuskan untuk langsung pulang tanpa menunggu.
Yuki terus melangkahkan kakinya dengan berat menuju tempat yang sudah disuruh, Yuki tahu hal mengenai terminal dan jenis pesawat yang akan dinaiki Stefan, jadi ia tak perlu repot-repot berlari kesana kemari mencari sosok Stefan dan menebak ia ada dimana.
Yuki akhirnya sampai di tempat yang dimaksud dan dituju, ia langsung mengedarkan pandangannya mencari sosok Stefan. Meski gugup, kakinya dan matanya tetap bergerak mencari sosok Stefan di daerah situ.
Deg
Jantung Yuki serasa berhenti saat menemukan sosok Stefan, ia melihat Stefan sedang duduk di salah kursi tempat menunggu, pria itu terlihat duduk di ujung kursi dengan koper yang ia letakkan di sebelah kursinya, kopernya berukuran sedang.
Malam itu, Stefan mengenakan atasan kaos abu-abu polos dengan bawahan celana jeans selutut dengan sneakers putihnya. Pria itu terlihat sedang duduk bersandar sambil mendengarkan musik dengan headphone putihnya, matanya tampak terpejam, wajahnya terlihat lelah.
Yuki berdoa dalam hati. Ia berkali-kali mengatur napasnya dan degup jantungnya, namun sulit. Setelah merasa lebih baik, ia langsung melangkah mendekati Stefan yang masih duduk dengan mata terpejam.
Setelah menempuh perjalanan yang lambat dan berat, Yuki akhirnya sampai di hadapan Stefan, ia berdiri tepat di hadapan Stefan dengan kaku.
Yuki terdiam sebentar, memikirkan sapaan apa yang pantas diucapkan, memikirkan kata-kata apa yang perlu diucapkan, lebih tepatnya kata-kata perpisahan.
Yuki baru ingin bersuara ketika Stefan tiba-tiba saja mengubah posisi kepalanya menjadi menunduk. Yuki hampir saja melonjak kaget karena gerakan Stefan yang hanya berubah menjadi menunduk bukannya membuka mata atau apa.
"Stefan." Yuki memberanikan diri untuk memanggil Stefan pelan, ia tak mau menghabiskan waktu untuk berpikir dan merenung, ia harus menyelesaikan ini secepatnya.
Yuki mengutuki dirinya dalam hati ketika tak kunjung mendapatkan reaksi dari Stefan, Stefan kan sedang mendengarkan musik, mana mungkin ia mendengar panggilan sepelan itu. Yuki menggeleng tak percaya, mengapa ia bisa sebodoh ini.
Disaat ia mengutuki kebodohannya, Stefan tiba-tiba saja membuka mata dengan tetap menunduk lalu mengecek jam tangannya, mungkin mengecek berapa lama lagi menunggu waktu penerbangan.
Sesaat Stefan memejamkan matanya lagi, namun ia segera membukanya lagi, ada sesuatu yang ganjil di hadapannya, ada sepasang kaki berada di hadapannya, sepasang kaki yang mengenakan flatshoes hitam polos biasa.
Stefan segera mendongak untuk memastikan sosok siapa yang berani berdiri sedekat ini dengannya, apa dirinya terlalu tampan sehingga orang mendekat untuk memandanginya? Benar-benar tidak sopan, Stefan tak habis pikir dengan wanita sekarang ini.
Deg
Stefan terkejut mendapati sosok yang tidak asing lagi bahkan sangat ia kenal. Stefan mengerjapkan matanya berkali-kali berusaha memastikan apa sosok di hadapannya ini nyata atau hanya halusinasi. Setelah beberapa kali mengerjapkan matanya, sosok itu masih ada, Stefan langsung saja meraih satu tangannya untuk memastikan lagi kalau ia tidak sedang berhalusinasi.
"Yuki?" Stefan menatap Yuki bingung sekaligus tak percaya.
Yuki tersenyum kaku, perasaan bersalah kembali menggerogotinya, bahkan Stefan masih terlihat bersikap baik di depannya, tak sinis ataupun dingin dan sebagainya. Sesaat, matanya berkaca-kaca siap menumpahkan air matanya kapan saja.
"Kita perlu bicara." Yuki membuka suara dengan serius, tatapannya juga serius. Yuki berusaha mati-matian agar air matanya tidak meleleh karena nantinya bisa-bisa ia menangis lebih kencang lagi seperti di rumah.
"Oke." Stefan hendak berdiri, karena tak ada kursi kosong lagi di sebelahnya.
"Kamu duduk aja." Yuki menahan Stefan berdiri dan sedikit mendorongnya agar duduk kembali.
"Aku mau minta maaf buat semuanya. Aku tau aku nggak pantes dapetin maaf dari kamu. Aku tau kalo aku udah jahat banget sama kamu. Aku tau kalo aku udah salah ngenilai kamu. Aku tau kalo aku udah nyakitin kamu. Pokoknya, aku minta maaf buat semuanya, karna aku udah jahat sama kamu." Yuki mulai menjelaskan sebisanya, sebisa yang ia ingat dan ia mampu. Ia menggigit bibirnya sekali, berusaha untuk tidak menangis.
"Aku tau kalo aku banyak salah sama kamu. Aku mutusin kamu tanpa sebab, itu karna aku kemakan omongan Ariel. Ariel bohongin aku, dia bilang kamu dijodohin sama dia, dan bodohnya aku malah percaya. Jangan salahin Ariel, dia itu disuruh Ali, adik aku, mungkin Ali bener-bener nggak suka sama hubungan kita, makanya dia gitu. Aku juga mau minta maaf atas Ali." Yuki melanjutkan sebelum Stefan sempat berkomentar. Yuki memalingkan wajahnya ke arah lain sebentar saat air matanya akhirnya jatuh, iapun segera mengusap air matanya tersebut.
Yuki menjelaskan lagi, kali ini mengenai seluruh kata-kata kebohongan Ariel, ia berusaha menceritakan semua yang Ariel sampaikan yang ia ingat, mengenai skenario dan cerita kebohongan Ariel dan Ali. Ia tidak ingin menyimpan kebohongan lagi. Ia bahkan menceritakan kejadian saat Gio menahannya malam-malam.
Stefan mendengarkan dengan seksama. Saat itu, headphonenya tak lagi bertengger di telinganya melainkan menggantung di lehernya. Berbagai ekspresi ia perlihatkan saat mendengar cerita Yuki. Yuki tak berani menatapnya saat bercerita, gadis itu kebanyakan menunduk sambil meremasi kedua tangannya sendiri gugup. Stefan tercengang mendengar setiap cerita Yuki, benar-benar tak menyangka atas semuanya, ia paling tidak menyangka kalau Ariel melakukan hal ini untuk Ali. Sesaat, Stefan merasa marah dan emosi dengan Ali, mengapa Ali segitu benci dengannya sampai merancang skenario seperti ini? Kalau mengenai Ariel, Stefan paham betul kalau gadis itu jago bersandiwara asal ia tahu jalan atau ide ceritanya, dia bisa mengembangkan ide cerita dengan baik sehingga ia eksekusinya akan jauh lebih bail dari yang dibayangkan pemberi ide cerita, Stefan yakin akan hal itu.
"Sekali lagi, aku minta maaf. Sebelum kamu pergi, aku nggak mau terus ngerasa bersalah dan nyimpen kebohongan ini, aku mau bikin kamu ngerti alesan aku mutusin kamu waktu itu, biar kamu bisa tenang di sana." Yuki tetap menunduk, suaranya bergetar di akhir kalimat. Ia sudah tak bisa menahan tangisnya lagi
"Aku sedih pas liat kamu segitu rapuhnya waktu putus, aku bener-bener ngerasa bersalah dan nyesel." Yuki berucap lagi karena Stefan tak kunjung berkomentar. Air matanya terus-terusan meleleh, dan Yuki juga terus-terusan menghapus air matanya.
"Stef?" Yuki mendongak karena Stefan tetap diam dan tak membalas apa-apa.
Stefan tersenyum lembut, "udah lewat inikan? Aku juga udah nggak mikirin siapa yang salah, aku nggak pernah nyalahin kamu juga. Soal alesan, ya aku seneng bisa tau alesan kamu. Udah, kamu jangan sedih atau nangis lagi." Stefan menatap mata Yuki lembut.
Yuki mendadak murung, begitu saja responnya?
"Yaudah, kamu hati-hati ya, semoga kamu selalu bahagia. Kamu harus tetep semangat." Yuki berusaha mengembangkan senyuman terbaiknya. Ia tidak menangis lagi, namun bercak air matanya masih tampak di daerah sekitar mata.
"Kamu ke sini buat jelasin doang?" tanya Stefan penuh harap.
Yuki mengangguk ragu.
"Seenggaknya kalo setelah ini kita nggak bakal ketemu lagi, aku bisa hidup tenang tanpa rasa bersalah dan penyesalan mungkin." Yuki tersenyum tegar.
Stefan terkekeh pelan, "nggak ketemu lagi?" tanyanya tak mengerti.
Yuki mengernyit bingung, "kata Ariel, kamu bakalan pergi dan nggak bakal balik lagi." Yuki menggigit bibirnya ragu.
"Kamu percaya?" tanya Stefan tersenyum menggoda dan disambut anggukan dari Yuki.
"Percaya aja Ariel terus, kapan percaya akunya?" tanya Stefan agak merengut.
Yuki tersenyum malu mendengarnya.
"Terus, sekarang kamu mau ke mana?" tanya Yuki penasaran.
"Tadinya sih, aku mau ke luar negeri buat refreshing, mumpung liburan juga." jawab Stefan sesantai mungkin.
"Ohhh..." Yuki mengangguk-angguk mengerti. Benar-benar ya, Ariel. Ia bergumam dalam hati dengan agak kesal.
"Kamu bener-bener nggak mau ngomong apa-apa lagi? Kamu nggak mau nahan aku?" tanya Stefan menatap Yuki dalam.
Yuki mematung, wajahnya langsung memanas mendengarnya, menahan Stefan? Apa bisa?
"Kalo aku minta kamu nggak pergi, kamu nurutin gitu? Kamu kan mau liburan?" tanya Yuki ragu.
"Bahkan kalo kamu minta balikan." Stefan menyeringai menggoda tanpa beban.
Blush, wajah Yuki langsung memerah, pipinya merah merona.
"Jadwal penerbangan aku sebentar lagi loh." Stefan mengecek jam tangannya sekilas.
"Nanti tiket kamu hangus." Yuki menatap Stefan ragu, sayangkan tiket ke luar negeri yang mahal itu harus terbuang sia-sia.
"Katanya, aku terlalu kaya kan." Stefan tersenyum sombong.
Yuki tersenyum geli sekilas lalu terdiam. Ia menatap Stefan sebentar sambil berpikir keras.
"Kayaknya aku harus check in." Stefan berbicara sendiri sembari melirik jam tangannya. Ia langsung saja beranjak berdiri.
Yuki masih diam, ia bingung harus melakukan apa. Stefan kan mau liburan, masa iya dia mengganggu liburan Stefan? Yuki terus memikirkannya, memikirkan apa keputusan yang terbaik baginya dan Stefan. Yuki juga merasa tidak pantas kalau harus balikan dengan Stefan, Stefan terlalu baik baginya.
Setelah merasa siap, Stefan melangkahkan kakinya menuju tempat check in seperti yang dilakukan orang yang di sekitarnya. Ia melangkahkan kakinya sambil membawa kopernya dengan pelan, dengan harapan Yuki akan menahannya.
"Stefan..." panggil Yuki yang tak sadar melangkah mengikuti Stefan dan kini berada tepat di belakang Stefan.
Stefan menoleh dan memutar tubuhnya, ia tiba-tiba merasa gugup.
Sebagai respon, Stefan hanya menautkan kedua alisnya.
"Safe flight ya." ucap Yuki dengan senyuman pahit.
"Kamu juga take care pulangnya." balas Stefan dengan lembut.
Yuki menatap Stefan penuh dilema, di satu sisi Yuki ingin sekali melompat ke pelukan Stefan, di sisi lain Yuki ingin buru-buru pergi dari sana.
Hup
Yuki memilih keinginan yang pertama. Ia langsung memasukkan dirinya ke dalam pelukan Stefan, menyelipkan kedua tangannya pada pinggang Stefan dan melingkarkannya di sana. Yuki memeluk Stefan karena ia berasumsi bahwa mungkin ini pelukan terakhir yang bisa ia rasakan, jadi ia tidak boleh melewatkan kesempatan terakhirnya.
Stefan tersenyum dan membalas pelukannya. Ia menunggu Yuki mengakatakan sesuatu, tapi Yuki hanya diam membisu sembari menikmati pelukan tersebut.
Setelah cukup lama beperlukan, Yuki segera menarik dirinya, ia tersenyum kaku pada Stefan.
"Kamu harus banget liburan?" tanya Yuki agak terbata-bata.
"Nggak sih, kan cuman refreshing. Kenapa?" tanya Stefan tak sabar dan menunggu.
"Aku mau nahan kamu, tapi emangnya kamu ikhlas? Nanti kalo aku nahan, dikiranya aku egois atau ganggu kesenangan kamu." tanya Yuki gugup.
"Tergantung kamu nahan aku gara-gara apa." balas Stefan mempermainkan dengan santai.
Yuki menatap Stefan sebentar. Ia kembali berpikir alasan apa yang harus ia katakan. Setelah lama berkutat dengan pikirannya, ia memutuskan dan membulatkan tekatnya. Malam ini, ia harus menekan rasa malu-malunya atapun gengsinya, ia harus mengungkapkan perasaannya kepada Stefan dan membawa Stefan pulang. Yang penting usaha! Batinnya dalam hati. Masa bodoh kalau ia harus mengajak Stefan balikan duluan. Cinta harus diperjuangkan kan?
"Ada dua alesan." Yuki berucap membuat Stefan semakin menunggu apa alasan Yuki.
"Pertama, aku tadi ke sini sama Ali, tapi dia langsung pulang. Jadi, aku harus pulang sendiri." Yuki menjelaskan dengan gugup.
"So?" tanya Stefan menahan tawanya karena alasan Yuki yang benar-benar tidak logis dan relevan.
"Kamu tau nggak sih Ali tuh langsung pulang pas aku sampe. Dia bilang kepulangannya itu sama aja kayak harapan. Terus juga, kamu tau aku nggak bawa dompet ataupun uang sepeserpun. Aku juga nggak bawa hp." jelas Yuki dengan agak kesal.
"Kalo kamu mau pergi, pergi aja." lanjut Yuki tetap agak kesal karena respon Stefan yang sangat terkesan tidak berminat dengan alasan pertamanya.
"Alesan kedua?" tanya Stefan tetap santai, ia mati-matian menahan tangannya yang ingin segera mengacak rambut Yuki serta mencubiti pipi Yuki yang agak menggembung ketika merasa kesal.
"Alesan kedua..." Yuki menggantungkan kata-katanya dengan gugup.
"Aku sayang sama kamu." Yuki akhirnya mengucapkan hal itu setelah berusaha menahan segala gengsinya.
"Aku tau." balas Stefan tetap santai.
Yuki cemberut lagi, "kamu jahat." Yuki melipat tangannya di dada, ia segera memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Udah sana pergi." lanjut Yuki tetap cemberut.
"Kalo aku pergi ternyata aku nggak akan balik lagi, gimana? Mungkin aja kan aku kecelakaan atau pindah negara terus menetap di sana." tanya Stefan menguji.
"Kalo kamu pergi, aku juga nggak tau bakalan ketemu kamu lagi atau enggak. Kan bisa aja, pas pulang malem-malem gini, di jalan aku diculik preman terus diperkosa sama dibunuh." balas Yuki agak sewot. Padahal dalam hati, ia sangat mengtidakaminkan perkataannya barusan, malah mengamit-amitkannya.
Stefan memicingkan matanya kepada Yuki, "omongan itu doa loh." celetuk Stefan asal. Ia jelas langsung khawatir dan cemas memikirkan perkataan asal Yuki.
"Lah, sendirinya?" balas Yuki tak peduli.
"Yaudah aku nggak pergi." Stefan mendengus sendiri. Tadinya, ia akan berusaha membuat Yuki menahan dirinya pergi atau bahkan memohon agar dirinya tidak pergi tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Stefan memutuskan tidak pergi dengan sendirinya. Ia kalah dari Yuki. Tidak mungkinkan ia membiarkan gadis itu pulang sendirian? Apalagi sudah larut malam ditambah tingkat kekerasan atau kriminal di Jakarta sangat tinggi apalagi terhadap kaum wanita.
"Aku tau." balas Yuki tetap cemberut.
"Udah dong jangan cemberut." bujuk Stefan selembut mungkin. Ia sempat terkekeh mendengar respon Yuki. Gadis itu sedang balas dendam.
"Lagian kamu ngeselin banget sih." Yuki mendelik sebal.
"Nanti aku cium nih bibirnya." ancam Stefan.
"Cium aja kalo berani." balas Yuki tak peduli dan menganggap ancaman Stefan hanya sekadar ancaman.
Kedua tangan Stefan tiba-tiba saja menangkup wajah Yuki, menatap mata gadis itu dalam.
Yuki mematung saat jarak wajahnya dan wajah Stefan sedekat ini. Buru-buru ia mengubah raut wajahnya dari cemberut menjadi biasa aja.
"A..aku udah nggak cemberut." ucap Yuki gugup dan sedikit gagap.
Stefan tersenyum nakal, ia tetap menangkup wajah Yuki agar tidak berpaling ke mana-mana.
"Kamu terlambat." Stefan berbisik.
Cup
Stefan dengan cepat mendaratkan bibirnya di bibir Yuki. Terlalu cepat, membuat Yuki tidak bersiap ataupun memejamkan mata, sehingga kini matanya tetap terbuka bahkan melebar kaget saat sesuatu yang lembab, basah dan lembut menyentuh bibirnya, membuat Yuki merasa seperti tersengat atau tersetrum.
Selama beberapa detik, Stefan mendaratkan bibirnya di bibir Yuki. Ia menikmati ciumannya dengan memejamkan matanya. Stefan hanya menempelkan bibirnya pada bibir Yuki penuh kelembutan, tidak menuntut ataupun memaksa. Setelah itu, ia melepaskan ciumannya.
"Aku sayang sama kamu." Stefan menatap mata Yuki dalam, salah satu tangannya beralih memeluk pinggang Yuki untuk menopangnya.
"Aku mau kita balikan." Stefan terus berucap dan menatap Yuki dalam meski gadis itu tak kunjung merespon bahkan terlihat masih shock.
"Tadi kamu..." Yuki terlampau terkejut atas ciuman itu, ia masih saja menatap Stefan tidak percaya. Bayangan Stefan saat menciumnya barusan dan rasa ciuman itu masih berputar di benaknya, ciuman pertamanya.
"Kamu mau nggak balikan sama aku?" tanya Stefan berusaha sabar.
Yuki menarik napasnya dalam, berusaha menenangkan dan mengendalikan dirinya. Setelah itu, ia mengangguk pelan.
Stefan beralih memeluk Yuki lembut.
"Padahal, aku ngiranya kamu yang bakal minta aku balikan, ternyata sama aja, aku yang minta balikan." Stefan terkekeh pelan.
"Aku selalu kalah dan kamu selalu menang. Kamu selalu buat aku nggak berkutik. Aku akhirnya mutusin buat nggak pergi liburan dan mutusin buat minta balikan sama kamu, itu semua gara-gara kamu. Bener-bener ya cewek itu makhluk yang selalu mai menang sendiri, ckck." Stefan berdecak sendiri, tak menyangka dirinya akan kalah dari Yuki, padahal tinggal selangkah lagi Yuki memohon balikan padanya dengan adegan yang sudah dibayangkannya.
"Aku udah mau minta balikan, kamunya aja tadi ngeselin." Yuki mencibir.
"Aku cinta sama kamu." Stefan mengeratkan pelukannya.
"Aku juga cinta sama kamu." balas Yuki senang dan gugup.
Stefan melepaskan pelukannya, beralih memeluk pinggang Yuki sehingga jarak mereka tetap dekat.
"Tadi itu ciuman pertama aku." ungkap Yuki menunduk malu, tak mau kalau Stefan melihat rona merah di pipinya.
"Hmmm, tapi tadi itu bukan ciuman pertama aku." balas Stefan menatap lembut Yuki yang masih tertunduk.
Yuki mendongak, tatapannya langsung bertemu dengan tatapan Stefan, membuat ia semakin gugup dan berdebar.
"Pulang, yuk." ajak Yuki malu-malu. Ia benar-benar tidak tahan jika harus berlama-lama di sana, ia bahkan tidak berani menatap ke sekelilingnya karena takut orang-orang di sekitarnya melihat ia dan Stefan berciuman, jelas hal itu akan membuatnya makin malu saja.
Stefan mengangguk. Tangan kirinya beralih merangkul bahu Yuki dengan hangat, sedangkan tangan kanannya membawa koper.
"Kenapa kamu akhirnya ngalah?" tanya Yuki ketika mulai berjalan bersisian dengan Stefan.
"Kamu ngomongnya gitu, apalagi pas soal preman. Awas aja ngomong jelek kayak gitu lagi. Kejadian beneran aja." Stefan mencibir tak suka.
"Yeee, amit-amit deh kejadian beneran. Aku jadi takut tau kalo kamu bilang gitu." Yuki merengut.
"Nanti aku beli alat setrum aja kali ya buat jaga-jaga kayak di film-film." lanjut Yuki mulai ketakutan sendiri dengan istilah 'ucapan itu doa'. Takut yang dikatakannya tadi akan benar-benar terjadi.
"Husss.." tegur Stefan singkat.
"Kalo emang nggak mau kejadian, ya pulang jangan suka malem-malem terus sendirian, terus juga jangan suka berpenampilan mencolok atau menggoda, jaga sikap." Stefan menasihati dengan bijak.
"Aku sering kok pulang malem-malem terus sendirian." balas Yuki mengingat rutinitas dulu-dulu.
"Ya, dari sekarang usahain jangan pulang malem apalagi sendirian." balas Stefan tetap bijak.
"Kamu berarti harus anter aku pulang tiap hari." balas Yuki tertawa manis.
"Tapi Stefan, kamu jago berantem nggak?" tanya Yuki dengan nada sedikit meledek.
"Nggak." balas Stefan seadanya.
"Berarti kalo ada preman, kamu nggak bisa lawan dong?" tanya Yuki menyindir.
"Tapi, apapun yang terjadi, selama aku di samping kamu, aku bakal ngelindungin kamu." balas Stefan yakin dengan tak merasa tersinggung atau tersindir.
"Itu alesan kamu pulang bareng aku sekarang?" tanya Yuki penasaran.
"Cowok mana yang nggak panik kalo ceweknya pulang semalem ini sendirian? Nggak bawa hp sama uang lagi." Stefan mencibir lagi.
Yuki tertawa, "ya, aku kan buru-buru ke sininya." balas Yuki santai.
"Mulai sekarang, janji ya, apapun yang terjadi, kasih tau aku. Aku nggak mau kejadian nggak enak kayak yang soal Gio sampe kejadian lagi." Stefan mengingatkan.
"Gio itu gila, dia bisa aja ngapa-ngapain kamu." lanjut Stefan.
"Iya, Stefan." balas Yuki menenangkan.
Stefan tersenyum. Dengan hangat, ia membawa Yuki pergi dalam rangkulannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
ASISTEN DOSEN
RomanceREPOST FACEBOOK Berhubung fitur notes di Facebook udah nggak ada, jadi pindah penyimpanan ke Wattpad.