Yuki menghela nafas untuk kesekian kalinya. Hari rabu ini, seperti biasa Yuki menunggu Stefan di kantin, seorang diri saja.
Ia duduk dengan gelisah, pasalnya sudah setengah jam menunggu, sosok Stefan belum terlihat juga. Yuki juga sudah memberikan pesan lewat WA, tetapi belum ada balasan sama sekali. Ia kembali mengecek ponselnya untuk yang kesekian kalinya, ia mendengus ketika mendapat bahwa tidak ada balasan pesan apapun dari Stefan. Entah sudah beberapa kali mengecek ponselnya, berharap ada balasan pesan dari Stefan, supaya ia mendapat kepastian. Yuki yang sedari tadi menahan hasrat untuk menghubungi Stefan lewat telepon akhirnya menyerah. Dengan cekatan, ia langsung mengotak-atik ponselnya, berniat menelepon Stefan.
"Dia kemana sih?" Yuki mendengus sebal saat tak mendapat jawaban. Dengan cepat, ia kembali menekan tombol panggilan kepada Stefan.
"Halo..."
Yuki menghela nafasnya lega saat mendapati bahwa ia tersambung dengan Stefan. Tetapi seketika Yuki mengernyit saat mendengar sapaan dari Stefan yang benar-benar lirih, bahkan terdengar seperti berbisik.
"Halo Stef. Lo di mana?" tanya Yuki kesal, "gue udah nunggu lo di kantin selama setengah jam." lanjut Yuki mengomel.
"Gue di rumah." jawab Stefan terdengar lemas dan nafasnya agak berat.
"Di rumah?" tanya Yuki sangat kaget. Ia berusaha menahan untuk mengomeli Stefan lebih lagi.
"Gue lagi nggak enak badan. Sorry." balas Stefan, suaranya benar-benar pelan.
"Lo sakit?" tanya Yuki langsung merasa khawatir.
"Kalo lo yang ke rumah gue bisa nggak?" tanya Stefan.
"Gue ke rumah lo?" Yuki bertanya memastikan.
"Iya, nanti gue wa ya alamatnya. Gue harap lo bisa dateng, Yuk." pinta Stefan.
"Oke, gue usahain yah." balas Yuki seadanya, tidak mau memberi janji palsu untuk Stefan.
"Thanks." balas Stefan tetap lirih.
Yuki langsung mematikan sambungan teleponnya. Apa benar Stefan sakit? Kalau memang benar, dia sakit apa? Banyak pertanyaan muncul di benak Yuki, gadis itu begitu cemas dan khawatir saat mengetahui bahwa Stefan sakit, apalagi saat mendengar suara Stefan yang terkesan lemas dan berat.Yuki melangkahkan kakinya dengan ragu memasuki apartemen yang ditinggali Stefan. Ia agak takut karena Stefan memberikan sendiri kata sandi apartemennya sehingga ia sekarang bisa masuk ke dalam.
"Stef?" Yuki bersuara pelan memanggil Stefan sambil memandangi ke sekitarnya.
Sebenarnya lewat WA, Yuki sudah mendapatkan pesan berupa alamat Stefan beserta kata sandinya dan juga perintah agar Yuki langsung ke kamar Stefan. Tetapi tetap saja, Yuki ragu untuk melakukannya, apalagi sampai masuk ke kamar Stefan, masuk kamar pria asing. Hal itu belum pernah dilakukannya seumur hidupnya.
Yuki menghela nafasnya, berusaha menuruti perintah aneh Stefan untuk kali ini saja.
"Stefan? Lo di mana?" Yuki kembali bersuara, namun kali ini lebih kencang daripada sebelumnya.
Yuki melangkahkan kakinya menyusuri apartemen mewah itu. Yuki sampai berdecak saat melihat bagaimana desain interior dari setiap ruangan yang ada, benar-benar memanjakan mata. Yuki menautkan alisnya saat ia melihat suatu ruangan kamar dengan pintu setengah terbuka. Dengan langkah pelan, Yuki mendekati kamar itu. Setelah sampai, ia segera membuka pintu itu lebih lebar lagi untuk memastikan. Yuki langsung tersenyum lega saat mendapati sosok Stefan sedang berbaring di ranjangnya.
Yuki jelas melangkah mendekat ke arah ranjang Stefan. Setelah sampai, ia melihat sosok Stefan yang terbaring lemah dengan mata terpejam.
"Stef." panggil Yuki selembut mungkin, ingin memastikan apakah Stefan sedang tertidur atau hanya memejamkan mata saja karena kelelahan.
Stefan perlahan membuka matanya. Ia tersenyum tipis saat melihat sosok Yuki sudah berdiri di samping ranjangnya. Stefan yang tadinya berbaring di pinggir ranjang agak menggeser tubuhnya agak ke tengah, seakan mengisyaratkan agar Yuki duduk di pinggir ranjang.
Yuki yang dipersilakan duduk secara tidak langsung, menurut untuk duduk saja.
"Lo sakit apa?" tanya Yuki menatap Stefan perhatian.
"Demam." jawab Stefan seadanya.
"Terus gue ke sini buat apa? Nggak mungkin kan gue ngajar lo?" tanya Yuki kikuk.
"Gue mau lo rawat gue." Stefan menatap Yuki dengan tatapan memohon.
Yuki diam saja, ia malah meraba kening Stefan untuk mengecek suhu tubuhnya.
"Gila, lo panas banget." Yuki berdecak, "mending lo ke dokter deh." lanjut Yuki cemas.
"Tadi gue udah panggil dokter, dia cuman ngasih obat-obatan penurun panas." jawab Stefan melirik ke meja kecil di sebelah kiri ranjangnya, yang berada di dekat Yuki.
"Terus gue ngapain di sini?" tanya Yuki merasa tak berguna.
"Lo bantu rawat gue dong, biar gue cepet sembuh. Lo taukan gue udah absen 3 kali di matkul lo, kalo gue terus sakit, besok gue jadi nggak bisa masuk dan gue nggak bisa ikut ujian. Paling parahnya gue ngulang." Stefan menjelaskan dengan lemas.
"Pinter banget lo ngelesenya. Oke deh, gue bakal bantuin lo." Yuki tersenyum geli.
"Gue kompres ya?" tawar Yuki dengan tatapan hangatnya.
Stefan mengangguk patuh.

KAMU SEDANG MEMBACA
ASISTEN DOSEN
RomanceREPOST FACEBOOK Berhubung fitur notes di Facebook udah nggak ada, jadi pindah penyimpanan ke Wattpad.