PART 14

100 13 0
                                    

Setelah pertemuan dengan Ariel waktu itu, Yuki berusaha tetap memfokuskan dirinya pada ujiannya bukan masalahnya. Ia bahkan sampai menonaktifkan ponselnya selama beberapa hari sejak hari itu sampai hari-hari ujian berikutnya. Tujuannya satu, yaitu menghindari Stefan.
Hari ini adalah hari terakhir ujian. Yuki tersenyum lega sesaat ia keluar dari ruangan ujian. Ia sudah berusaha semampunya dalam ujian, sekarang ia tinggal berdoa semoga ia mendapatkan hasil yang sesuai dan yang penting ia bisa tetap mempertahankan beasiswanya. Yuki memang sempat kesulitan belajar di awal-awal ia menerima berita tak terduga itu, iapun merasa kurang yakin dengan hasil salah satu atau dua mata kuliahnya, namun Yuki hanya bisa pasrah dan berserah.
Yuki yang tadinya tersenyum lega mendadak cemas dan gelisah, ia teringat kalau ia belum menyelesaikan masalahnya dengan Stefan. Ia teringat rencananya untuk memutuskan Stefan setelah UAS selesai, dan kini UAS selesai, maka artinya Yuki harus segera menemui Stefan dan memutuskannya.
Yuki bergeming di depan kelas, ia tahu dan yakin betul kalau hari ini ia akan bertemu Stefan, karena sepengetahuannya Stefan dan dirinya punya jadwal ujian yang sama. Jadi, cepat atau lambat, Stefan akan menemukannya.
"Udah siap lo?" tanya Vebby tertawa meledek.
Yuki mendelik sebal, "tega banget lo ya sama gue." Yuki menatap Vebby tak percaya, bukannya memberi semangat malah menertawakan dengan gayanya yang paling menyebalkan.
"Ayok taruhan, kira-kira lo bakal ketemu dia di mana?" tanya Vebby terus memasang wajah menggodanya.
"Tau." Yuki cemberut.
Dasar sahabat tidak pengertian, Yuki mencibir sendiri. Tidak tahukah Vebby kalau sekarang jantung Yuki berdetak lebih cepat dari biasanya, deg-degan, bahkan lebih deg-degan akan bertemu Stefan dibandingkan dengan saat-saat menjelang ujian dimulai. Yuki merasa cemas dan gelisah. Ia tidak tahu harus menyampaikan apa kepada Stefan dan bagaimana menyampaikannya. Hatinya terlalu kalut, ia takut tak bisa mengendalikan perasaannya nanti. Ia takut akan semua kemungkinan dan risiko yang ada.
Vebby masih terkekeh, iapun menggandeng Yuki pergi meninggalkan koridor depan ruang ujian.


Yuki dan Vebby kini terlihat berjalan keluar dari ruang perpusatakaan, mereka baru saja, atau lebih tepatnya Yuki, mengembalikan buku ke sana. Sekarang, keduanya berjalan menyusuri koridor daerah perpustakaan menuju lift.
"Yuki." seseorang memanggil Yuki dengan sedikit berteriak.
Yuki dan Vebby lantas membeku di tempat.
"Oh my God..." Vebby berdesis horor.
"Kita pulang bareng ya?" orang itu, Stefan langsung berdiri di sebelah Yuki.
"Yuk, kalo gitu gue duluan ya. Elo hati-hati." Vebby berucap kaku, ia tersenyum sesaat seakan menyemangati Yuki yang sekarang masih diam membeku. Setelah itu, ia langsung saja berjalan cepat meninggalkan Stefan dan Yuki.

Yuki menatap kosong interior mobil Stefan di bagian depan, ia sendiri masih tak bisa membayangkan mengapa ia bisa sampai di mobil Stefan secepat ini. Yang ia ingat, setelah dari perpustakaan, Stefan memanggilnya lalu menarik tangannya pergi dan ia menurut saja.
"Kamu kenapa? Sakit?" tanya Stefan bingung melihat wajah Yuki yang agak pucat.
Yuki memberanikan dirinya untuk menoleh, gerakannya lambat dan berat.
"Kenapa kamu nggak bisa dihubungin selama ujian?" tanya Stefan saat Yuki menoleh. Sepertinya, pria itu mempunyai banyak pertanyaan yang ingin diutarakan kepada kekasihnya.
"Aku mau kita putus." Yuki langsung melontarkan kalimat itu dengan cepat, ia tidak mau lagi berbohong ini itu di hadapan Stefan.
Stefan menautkan alisnya, "apa?" tanya Stefan tak yakin dengan pendengarannya barusan.
Yuki yang tadinya sedikit menunduk kini mendongak untuk menatap Stefan, "aku mau kita putus." Yuki mengulangi dengan ucapan lebih lambat.
Jika ditanya terkejut atau tidak, tentu saja Stefan terkejut. Pria itu bahkan sampai menatap dalam mata Yuki untuk mengetahui apa gadis itu serius dengan ucapannya. Stefan juga mencoba mengingat-ingat sekarang hari apa, apakah hari ulang tahunnya ataupun tanggal anniversary mereka. Ternyata, bukan sama sekali. Stefan menatap Yuki lebih lama lagi, gadis itu serius dengan ucapannya.
"Kamu nggak lagi bercanda?" tanya Stefan berusaha memastikan lagi.
"Aku nggak bercanda." balas Yuki memalingkan wajahnya ke depan lagi.
"Aku salah apa ya?" tanya Stefan berusaha tetap bersikap manis dan mengendalikan emosinya.
"Aku nggak bisa aja ngelanjutin hubungan ini, aku bener-bener nggak bisa." Yuki menjelaskan dengan gugup.
"Terus, aku harus terima alesan nggak jelas kamu?" tanya Stefan agak tajam. Ia memegang setirnya agak geram.
"Kamu yang ngilang selama ujian, terus tiba-tiba aja kamu mutusin aku tanpa sebab." Stefan tertawa kecil dengan nada sumbang.
"Maafin aku karna aku nggak bisa dihubungin." Yuki terus berucap datar, terus berusaha mengendalikan perasaannya yang bisa tiba-tiba meledak.
"Kamu itu terlalu sempurna, Stefan. Kamu itu bener-bener jauh di atas aku, aku sampe nggak bisa ngimbangin kamu. Aku selalu tertekan kalo mikirin soal status kamu yang jauh di atas aku, banyak orang yang bilang pasangan kayak kita tuh nggak nyata, cuman dongeng." Yuki menjelaskan dengan asal, ia benar-benar tidak tahu cara memutuskan seseorang secara baik dan benar, dan tentunya tanpa menyangkut soal perjodohan Stefan dengan Ariel.
"Manusia nggak ada yang sempurna, Yuki." balas Stefan sedingin mungkin.
Yuki tertegun, aura Stefan yang dingin membuatnya semakin merinding.
"Oh iya, pulang dari sini aku tabrakin mobil aku aja ya biar aku kecelakaan, kali aja kaki aku diamputasi. Dengan gitu, aku nggak sempurna kan." Stefan berucap asal. Ia terkekeh agak pedih, benar-benar tak mengerti dengan apa yang terjadi sekarang. Sama sekali. Nihil.
"Stefan!" Yuki memekik kecil. Pertahanannya runtuh, matanya langsung berkaca-kaca, seketika itu air matanya jatuh membasahi pipinya. Ia benar-benar tak menyangka akan sesakit ini saat memutuskan Stefan apalagi saat mendengar jawaban asal Stefan barusan.
"Aku cuman mau kita putus." Yuki bersuara lirih dan tercekat.
"Aku nggak ngerti Yuki, aku nggak ngerti kenapa kamu putusin aku. Aku nggak ngerti salah aku dimana sampe kamu mutusin aku, aku butuh penjelasan." Stefan mendesah frustasi.
"Intinya satu, kita itu beda, beda kita itu terlalu jauh, Stefan. Kamu itu terlalu kaya buat aku, sedangkan aku? cuman orang biasa. Kita itu kayak langit sama bumi. Ali juga nggak pernah nyetujuin hubungan kita." Yuki berusaha menjelaskan.
Stefan menoleh, "Ali? Itu alesan kamu? Yakin?" tanya Stefan menuntut.
"Maafin aku." Yuki menunduk dalam dan kembali menangis. Ia sudah berusaha mati-matian menahan tangis tapi tetap saja gagal. Stefan saat ini terlihat rapuh dan kacau, membuat Yuki makin merasa bersalah telah memutuskannya semena-mena.
"Kamu sayang nggak sih sama aku?" tanya Stefan makin frustasi. Terlalu sulit untuk mengerti semua ini, semua ini datang terlalu tiba-tiba, membuat Stefan tak siap dan langsung hancur seketika.
"Aku sayang sama kamu, tapi aku bener-bener nggak bisa tetep pacaran sama kamu. Aku punya alesan, mungkin kamu nggak bakal ngerti alesan itu. Aku udah mikirin hubungan ini jauh ke depannya, aku yakin cepat atau lambat hubungan kita bakalan berakhir. Jadi, putus sekarang atau nanti bakalan sama aja." Yuki berusaha meyakinkan Stefan.
Stefan meraih satu tangan Yuki lalu berusaha menggenggamnya lembut, "aku sayang kamu." Stefan menunduk dalam dan berbisik lembut.
"Kamu tau, baru kali ini aku sayang sama seseorang bahkan cinta, tapi kenapa kamu giniin aku?" tanya Stefan terus menunduk, ia seketika merasa sangat rapuh dan hancur.
"Maafin aku, Stefan. Maafin aku. Tolong jangan kayak gini." Yuki makin bersedih saat melihat Stefan yang benar-benar hancur.
Stefan mendongak dan tersenyum getir, tangannya beralih mengusap lembut air mata Yuki, "oke, kalo emang ini yang kamu mau. Aku harap kamu selalu bahagia dengan aku ataupun tanpa aku. Kalo kamu emang bahagia sama keputusan kamu ini, aku terima." Stefan berusaha tegar.
Yuki ikut tersenyum dalam tangisnya, "kamu juga harus bahagia tanpa aku." Yuki menatap Stefan pilu.
Stefan memalingkan wajahnya, "i hope so." balas Stefan mencoba tersenyum.
"Kamu mau pulang?" tanya Stefan menoleh lagi dengan ekspresi yang sulit ditentukan.
Yuki menggeleng cepat, "aku pulang sendiri." air mata Yuki kini telah kering, namun masih agak berbekas.
"Bagus, soalnya aku nggak bisa nganter kamu pulang." Stefan tersenyum seadanya.
Yuki tertegun, hatinya makin teriris saja mendengar penuturan Stefan. Apa sekarang Stefan membencinya sehingga enggan mengantarnya? Apa Stefan sudah muak melihatnya di mobil ini? Apa Stefan sudah tidak sudi dengannya? Apa Stefan sedang menunjukkan sifat aslinya? Yuki bertanya-tanya dan segera menggeleng cepat pada kemungkinan terakhir.
"Aku mau pulang naik taksi, kalo aku nyetir yang ada aku mati di jalan." ucap Stefan asal, ia tersenyum getir.
Yuki menatap Stefan sedih, hatinya benar-benar sakit dan pedih mendengar ini, Stefan benar-benar kacau dan berantakan. Yuki baru sadar kalau pria ini sangat rapuh.
"Aku keluar." Yuki pamitan sebelum ia keluar mobil. Ia menatap Stefan penuh penyesalan.
"Hati-hati." Stefan mengingatkan dengan senyuman lembut yang memaksa.
Yuki balas tersenyum kaku, tangannya sudah bertengger pada pegangan pintu, siap untuk membuka pintu, namun hatinya berat melakukan itu.
Cup
Yuki mendaratkan ciumannya di pipi Stefan lama membuat sang pemilik membeku. Setelah mencium Stefan agak lama, Yuki langsung keluar mobil tanpa mengucap apa-apa lagi.
Stefan tersenyum pedih menatap kepergian Yuki, ia bisa mengelus pipinya sebentar, ciuman Yuki di pipinya untuk pertama dan terakhir kalinya. Stefan menyandarkan tubuhnya pada jok, berkali-kali ia menarik napas dan mengembuskannya dengan berat, sangat berat. Ia masih mempertanyakan alasan Yuki, tapi tak terjawab. Stefan memejamkan matanya sebentar, mungkin terkadang sesuatu terjadi tanpa alasan, mungkin. Kemungkinan lainnya memang Yuki tidak berjodoh dengannya. Jadi, Tuhan memutuskan hubungannya sekarang daripada nanti saat ia makin mencintai Yuki dan tak sanggup kehilangannya. Stefan mendengus geli, akan sama saja sekarang dan nanti, ia tetap akan tak sanggup kehilangan dan berpisah dengan Yuki. Yuki yang sangat ia cintai. Stefan terus berusaha berpikir positif tentang Yuki, berusaha tak meninggikan egonya untuk menyalahkan Yuki ataupun menjadikannya tersangka karena telah seenaknya memutuskan hubungan. Yuki tidak jahat, gadis itu hanya ingin mengambil keputusan yang ia anggap tepat. Yuki pasti telah memikirkan matang-matang keputusan ini. Yuki pasti sudah memikirkan bagaimana hidupnya nanti. Yuki pasti ingin hubungan yang serius bukannya asal jalan. Tidak sepertinya, ia hanya mengikuti alur dan menikmati, ia tak tahu kapan semuanya berakhir, ia hanya menikmati apa yang ada dan terjadi sekarang. Soal nanti, biar jadi urusannya nanti. Yuki itu gadis yang baik, Stefan meyakini itu dengan pikiran dan perasaannya.

ASISTEN DOSENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang