Syam memasuki rumah bersarnya yang dihiasi properti serba hitam. Ia segera duduk di kursi yang berdesain sangat mewah. Seketika semua bawahannya tertunduk karena tidak menduga bosnya akan sampai secepat ini.
"Mana Alquran yang aku minta."
Semua tertunduk pasrah. Karena salah satu dari mereka yang mendapat telfon dari Syam ternyata tidak ada di barisan itu. Dengan kesal Syam mengulangi lagi pertanyaannya.
"Apa kalian semua tuli? Di mana Deni?"
Tiba-tiba ada seorang pria yang datang menggunkan jas hitam dengan terengah-engah. Tentu saja bukan hal yang mudah untuk mencari Alquran dengan waktu singkat karena memang tempat mereka tinggal sangatlah jauh dari jangkauan hiruk piruk manusia yang melakukan kegiatan jual beli. Namun Deni berhasil mendapatkannya tanpa keluar rumah karena ia ingat betul pernah melihat Kitab Suci umat Islam itu di rumah ini. Akan tetapi juga bukan hal mudah untuk menemukannya kembali.
"Ini Bos," memberikan Alquran kepada Syam.
"Kenapa usang?"
"Sepertinya Alquran itu sudah lama sekali di sini."
"Apa? Mana mungkin ada di sini," jawab Syam tidak percaya.
"Benar Bos, bahkan ada satu kotak beberapa buku berbahasa arab berwarna kuning dan tanpa harakat di sana."
"Tunjukkan kepadaku tempatnya."
Sesaat kemudian mereka sudah sampai di tempat yang dimaksud. Syam begitu terkejut dengan apa yang dilihatnya. Ternyata benar apa yang dikatakan anak buahnya itu. Ada banyak sekali kitab kuning di sana, kitab yang membuatnya merasa tidak asing dengan lembaran-lembaran itu.
"Kalian semua bisa pergi dan jangan ada yang menggangguku."
"Baik Bos," membungkuk hormat lalu meninggalkan tempat.
Anak buah Syam begitu heran dengan sikap Bosnya akhir-akhir ini. Bagaimana tidak? Setelah menemukan seorang wanita yang katanya menolongnya itu ia sering meminta hal aneh-aneh bahkan bertolak belakang dengan Bos yang selama ini dikenalnya.
Di lain sisi, kini Syam dengan antusias mulai membongkar isi kardus yang sedikit berdebu itu. Ia kembali teringat masa lalunya saat di pondok pesantren dulu. Bagaimana kiyainya memperlakukannya dengan lembut dan ilmu yang diucapkan senantiasa menentramkan hati. Ya, ketentraman hati yang tidak dimilikinya saat ini.
Syam juga mengingat bagaimana kyainya memuji saat dirinya selalu bisa memahami kitab-kitab yang diajarkan lebih cepat dari teman-temannya. Hati Syam begitu tersentuh saat kembali menginat wajah kyainya yang selalu penuh keteduhan, lemah lembut, dan tidak terlepas dari senyum saat bicara. Syam sering sekali dielus kepalanya oleh sang kyai sambil mengatakan, "Kamu itu benar-benar santriku."
Iya, kalimat itu diucapkan saat Syam sudah berhasil mengkhatamkan hafalan Kitab Alfiyah Ibnu Malik hanya dengan kurun waktu beberapa bulan saja. Namun semua itu tinggal kenangan. Ia tidak tahu apakah semua pelajaran yang ia peroleh di pondok pesantren dulu masih hinggap dikepalanya atau tidak.
Syam membuka salah satu kitab dan menemukan sebuah tulisan yang terselib di sana. Kertas itu bertuliskan ...
Bismillah ... bisa menjadi kiyai seperti Kiyai Husein.
Menetes sudah air mata Syam. Ia begitu menyesal karena telah berhasil didikte dunia ini. Dunia ini memang sangat keras dan dunia ini juga begitu kejam, namun bukan berarti dia juga harus menjadi manusia yang kejam bukan? Ini semua adalah badai ujian yang pasti akan berlalu, dan Syam sadar betul kalau telah gagal dalam ujian ini. Tapi Syam sadar kalau ini semua belum terlambat. Ia merasakan nafasnya, ia merasakan detak jantungnya, ia juga merasakan denyut nadinya. Semua itu masih ada. Itu artinya Tuhan masih menginginkan dia berubah, bertaubat, dan kembali menuju Tuhan sebelum sampai pada titik pertemuan.
Dengan cepat Syam mulai menyeka air matanya. Meletakkan Alquran dan kitab yang dimilikinya ke lemari kamarnya. Setelah itu ia keluar tanpa berbicara sepatah kata pun.
Syam mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi karena ingin segera sampai ke pondok pesantren tempat dia belajar dulu. Ia ingin sekali bertemu dengan Kyai Husein dan mendapat bimbingan hidup seprti dulu lagi.
Beberapa jam kemudian ia akhirnya sampai di pondok pesantren Kyai Husein. Ia segera menuju ke rumah beliau yang dulu sering sekali dikunjunginya.
Tok tok tok.
"Assalamu'alaikum."
Seseorang dengan segera muncul dari balik pintu, "Wa'alaikumussalam."
"Kyai Husainnya ada Kang?"
"Sebentar, panjenengan ini siapa ya kok saya seperti kenal?"
"Saya Syam."
"Owalah kamu to Syam. Kemana saja kamu, dulu kan kamu santri yang sering digadang-gadang menjadi mantunya Kyai Husain. Oh ya, kamu masih ingat aku?"
"Maaf saya sedikit lupa."
"Wah kelamaan di kota cara bicaramu berubah. Masa teman sekamarnya sendiri kok juga lupa. Aku ini Syahrul, Syahrul yang dulu sering sekali minta ajari dan pinjam kitab kamu."
"Oh iya aku baru inget. Apa kabar kamu?" bersalaman kemudian memeluk Syahrul penuh kerinduan.
"Alhamdulillah baik. Astagfirullah sampai lupa aku," menepuk dahinya, "Ayo masuk dulu aku buatkan kopi."
"Terima kasih Kang."
Beberapa menit kemudian Syahrul keluar dari dapur dan membawa dua cangkir kopi. Dengan penuh hati-hati ia meletakkannya di meja lalu memulai percakapan dengan Syam lagi.
"Jadi, selama ini kamu ke mana saja Syam? Pergi tiba-tiba, bahkan tidak pamit dengan Kyai Husain."
"Em ... aku kerja Rul."
"Kerja apa?"
Pertanyaan Syahrul membuat Syam kebingungan harus menjawab apa, "Em ... bisnis kecil-kecilan di jakarta."
"Wah ... pantesan. Tapi kenapa kok nggak pamit dulu sih Syam?"
"Intinya sulit sekali dijelaskan. Oh ya mana Kyai Husain? Apa beliau sedang keluar kota?"
Syahrul menunduk sedih, "Kyai Husain meninggal sejak satu bulan yang lalu Syam."
"Innalillahi wa innailairaji'un," Syam menutup wajahnya menahan syok dan air mata.
"Kami sangat merasa kehilangan beliau Syam. Oh ya aku hampir saja lupa ini ada titipan dari Kyai Husain. Beliau begitu yakin kalau kamu akan kembali lagi ke sini. Ternyata benar firasat beliau kamu ke sini lagi," memberikan kertas yang sedikit terlipat.
Menyeka air matanya, "Terima kasih Rul, oh ya kenapa kamu di rumah Kyai Husain? Jangan-jangan kamu jadi mantu beliau ya."
"Ah kamu ini ada-ada saja Syam. Orang seperti aku ini apa pantes to menjadi suami dari Ning Sheila yang cantik, pinter, dan kuliah di Al-Azhar lagi. Aku di sini cuma ngabdi Syam."
"Oh begitu ... kalau Ning Sheila sendiri sudah menikah atau belum?" tanya syam penuh harap.
"Sudah Syam, beliau sekarang menjadi istri Gus Nadhir Sidogiri."
"Alhamdulillah," jawab Syam sedikit kecewa namun secepat mungkin sadar diri kalau sekarang dia sudah terlalu kotor untuk Ning Sheila yang mendekati kata sempurna itu.
"Kamu mau bertemu Syam?"
"Tidak usah Rul aku ingin langsung ziarah ke makam Kyai Husain lalu segera pulang."
"Cepet banget to," keluh Syahrul.
"Ada banyak yang harus aku urus Rul. Makasih lo kopinya, enak seperti biasanya."
"Sama-sama. sering ke sini ya Syam."
"In syaa Allah. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh."
![](https://img.wattpad.com/cover/301866652-288-k982532.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sahabatku Istri Suamiku 2
SpiritualHafsya merasa bingung sekaligus kecewa dengan keputusan sepihak yang dilakukan oleh Ilyas dan Sonia. Ia diminta pergi begitu saja tanpa mengetahui apa alasannya. Di kondisinya yang sedang mengandung ia mencoba bersabar dan percaya pada mereka. Namun...