12. Malam Pertama

38 2 0
                                    

"Cukup fokus memperbaiki diri. Maka Allah akan memperbaiki pasangan hidup kita. Cukup bersandar pada Allah semata. Maka Allah yang akan mengatur sekenario terbaiknya."

Hari pernikahan yang dinanti pun tiba. Semua tamu telah hadir di pondok pesantren Syam dengan pakaian serba putih. Akad telah diucapkan, kini Syam sudah sah menjadi seorang suami dan Ning Sheila sebagai istrinya. Warna kebahagiaan menyelimuti seluruh keluarga, tamu undangan, dan para santri yang ada.

Di malam harinya Syam sedikit larut masuk ke kamarnya. Kamar yang sudah dihias indah itu semakin lengkap dengan adanya Ning Sheila yang menyambut dengan senyuman manisnya. Wajah bahagia tergambar jelas di wajah Ning Sheila. Orang yang dikaguminya selama ini ternyata kini telah menjadi suaminya.

Jodoh tidak akan tertukar, begitulah definisi yang benar adanya. Manusia bisa merencanakan. Mungkin jalannya juga sedikit berkelok. Namun sesuatu yang sudah tertulis di lauhil mahfudz tetap akan menjadi pemenangnya. Maka yang diperlukan hanya memperbaiki diri. Maka Allah akan memperbaiki jodoh kita.

Berbeda dengan Ning Sheila, wajah Syam diselimuti oleh rasa dilema, kebingungan, dan kegelisahan. Ia mulai membuka pintu dengan ragu-ragu. Di dalam lubuk hatinya yang paling dalam ia belum siap bertemu dengan istrinya itu. Namun tetap dia punya kewajiban untuk menemuinya.

Tok tok tok.

"Assalamualaikum," ucap Syam dengan ragu.

Membuka pintu, "Waalaikumussalam," mencium tangan suaminya, "Saya sudah siapkan air hangan untuk Mas Syam mandi, mari saya bantu bawakan kitabnya."

"Terima kasih," memberikan kitab yang dibawanya kepada Ning Sheila dan segera bergegas masuk ke kamar mandi.

Tok tok tok. Mengetuk kamar mandi, "Mas ini handuknya, tadi Mas Syam lupa membawanya."

Membuka sedikit pintu kamar mandinya, "Terima kasih."

Ning Sheila menunggu Syam di depan meja makeup sambil menyisir rambutnya. Dari bayang-bayang cermin Ning Sheila bisa melihat Syam yang baru saja keluar kamar mandi dengan rambut basahnya. Tentu hal tersebut menambah aura ketampanan Syam.

Dengan ragu Syam menghampiri Ning Sheila, "Ning aku mau bicara denganmu sebentar."

Membalikkan badannya, "Ada apa Mas? Oh ya, kenapa Mas Syam dari tadi menduk saat berbicara denganku? Padahal Mas Syam punya hak untuk memandangku."

"Maaf Ning, aku belum terbiasa."

"Mas, jangan panggil aku Ning dong. Sekarang kan aku sudah sah menjadi istri Mas Syam."

"Terus aku harus panggil apa?"

"Terserah Mas Syam asal jangan Ning," berharap mendapat panggilan istimewa.

"Kalau Dek bagaimana?"

"Em ... baiklah," sedikit kecewa karena Syam tidak memanggilnya sayang, "Oh ya tadi mau membicarakan apa?"

"Malam ini apakah aku boleh tidur di sofa?"

"Kenapa Mas?"

"Maaf Dek, aku butuh waktu. Tapi kalau kamu keberatan tidak papa aku akan tidur di ranjang yang sama denganmu."

Sheila mendekat dan meletakkan kedua telapak tangannya yang lembut di wajah Syam, "Tidak papa, aku mengerti, pernikahan kita juga mendadak. Tapi apakah aku boleh bertanya satu hal?"

"A a apa?" Tanya Syam dengan jantung berdetak kencang.

"Aku hanya ingin memastian dan kita saling terbuka, ini tidak ada hubungannya dengan rumor kedekatan Mas Syam dengan Mbak Hafsya kan?" Menatap Syam lekat.

"Astagfirullah ... isu itu tidak benar. Hafsya sudah punya suami dan aku sudah menganggapnya sebagai keluargaku sendiri."

"Alhamdulillah kalau begitu, sudah lega sesak di dadaku. Dan aku percaya sepenuhnya kepadamu suamiku," Sheila  menurunkan kedua telapak tangannya di leher Syam dan mendekatkan wajahnya ke wajah Syam.

Syam dengan reflek melakukan hal yang sama dan mereka saling menutup kedua matanya. Namun Syam segera melepaskannya setelah ponselnya berdering. Ia mengecek notifikasi yang ternyata alarm tidur yang biasa dipasngnya setiap hari.

"Sudah malam Dek, ayo kita tidur," Syam segera menempatkan diri di sofa.

Sheila menghampirinya dan memasangkan selimut di tubuh Syam. Rambutnya yang panjang terurai tanpa sengaja jatuh di wajah Syam. Syam mencium bau harum dari rambut Istrinya itu. Jantungnya berdetak kencang setiap Sheila mendekatinya.

"Ada apa Mas? Aku bisa mendengar detak jantungmu," goda Sheila.

Syam yang kaget segera beranjak untuk duduk. Namun karena gugup tanpa sengaja dahinya berbenturan dengan dahi Sheila. Mereka berdua tertawa sambil memegangi dahi masing-masing.

"Maaf Dek, Mas tidak sengaja," mengelus lembut dahi Sheila.

Sheila menutup matanya. Meraih tangan Syam yang mengelus lembut dahinya  lalu membawanya untuk dicium kemudian melatakkannya di dadanya. Sheila memilih berbaring di pangkuan Syam sambil memeluk hangat tangan Syam tadi.

Melihat perilaku istrinya yang manja itu. Ia memilih membiarkannya dan mengelus kepala istrinya dengan tangannya yang lain. Setelah memastikan Sheila tertidur dengan lelap. Ia segera menggendong istrinya untuk diletakkan di atas ranjang dan Syam sendiri memilih kembali ke sofanya untuk tidur.

Akan tetapi Syam masih belum bisa tidur, ia terus memandangi istrinya dari sofa tempatnya membaringkan tubuh. Pikiran bahwa dia tidak pantas untuk Sheila yang suci bagaikan mutiara itu terus menghantuinya. Ia kembali mengingat dosa-dosa yang telah dilakukannya di masa lalu. Namun ia segera beristigfar hingga Syam juga ikut tertidur.

Tepat pukul 03.00 dini hari tangan lembut mengusap wajah Syam, "Mas bangun, kita tahajud yuk."

Syam memaksa matanya yang sedikit berat untuk dibuka, "Ma Syaa Allah aku bermimpi bertemu bidadari."

Sheila yang mendengar hal tersebut tertawa hingga terlihat giginya yang rapi, "Mas bisa aja."

"Astagfirullah," ucap Syam tetkejut saat tahu ternyata itu bukan mimpi.

"Aku wudhu dulu ya Mas, aku tunggu," ucap Sheila tertawa kecil.

Syam merasa sangat malu sekali dan segera beranjak merapikan tempat tidurnya. Sheila yang sudah terlihat rapi dengan mukenanya. Membuat Syam segera bergegas ke kamar mandi dan bersiap-siap.

Setelah melaksanakan salat tahajud bersama. Syam membalikkan tubuhnya. Syeila menyambut tangan Syam dengan kecupan lembut yang didaratkan di punggung tangannya. Mereka kemudian khusyu' dengan dzikir masing-masing hingga suara adzan subuh terdengar.

"Mas kita berangkat ke masjidnya barengan ya," ucap Sheila saat melihat Syam bersiap pergi ke Masjid.

"Iya, Adek setelah subuh ada jadwal ngajar kan?"

"Iya, sampai nanti jam 8 pagi."

"Ya sudah ayo, nanti keburu telat."

Mereka berdua menuju masjid bersama. Semua penduduk pondok pesantren dibuat iri dengannya. Semua santri mengharapkan pernikahan yang sama seperti Syam dan Sheila. Meskipun mereka tidak tahu apa yang terjadi di baliknya. Mungkin Syam hanya perlu waktu untuk menata hatinya bahwa istrinya sudah menerima seluruh keburukan di masa lalunya dan hanya menginginkan bersama Syam semata.

***

Sahabatku Istri Suamiku 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang