14. Hari Istimewa

36 1 0
                                    

"Jangan menikah karena ketampanan, harta, atau keturunannya. Akan tetapi menikahlah karena surga terasa lebih dekat jika kita bersamanya."

Pagi harinya setelah melaksanakan salat Subuh Syam dan Sheila berangkat menuju Kudus menggunakan mobil yang sudah disiapkan Kiai Hasan dan Bu Nyai Husna. Sheila terlihat sangat bahagia sekali. Ia tidak pernah melepas lingkaran tangannya dari lengan Syam. Begitupun ketika di perjalanan ia menyandarkan kepalanya di bahu Syam dengan sesekali Syam mengelus lembut tangan Sheila.

Perjalanan yang cukup panjang membawa mereka ke dunia mimpi masing-masing. Mereka hanya istirahat untuk makan dan salat. Menggunakan dua driver membuat perjalanan mereka lebih efisien. Hingga akhirnya mereka sudah sampai di Kudus di sore hari.

"Masya Allah luar biasa sekali," ucap Sheila saat melihat bangunan menara yang berusia ratusan tahun itu.

"Kita ambil wudhu dulu ya sayang sebelum masuk ke makam," ucap Syam yang sukses membuat mata Sheila terbelalak.

"Kamu manggil aku sayang Mas?" tanyanya seolah tak percaya.

"Iya, kamu suka?"

"Itu yang aku tunggu darimu," tersenyum manis lalu bergegas mengambil air wudhu karena salah tingkah dengan tatapan Syam yang tidak biasa.

Mereka berziah di makam Sunan Kudus kurang lebih satu jam kemudian duduk di serambi masjid Al-Aqsa sambil memandangi para peziarah dan santri yang berjalan membawa kitabnya masing-masing. Suasana di area menara Kudus memang sangat khas sekali terutama di Sore hari.

"Mas aku tidak menyangka bisa ke sini bersamamu."

"Mas juga, suasananya sangat menenangkan hati ya. Apalagi ditemani istri secantik dirimu."

"Mas akhir-akhir ini jadi romantis ya."

"Mas belajar dari kamu," tersenyum mengembang sambil mengusap kepala Sheila.

"Ih Mas suka banget sih mengusap kepalaku. Aku kan jadi terlihat seperti anak kecil," mencubit kecil lengan Syam.

"Kan memang kamu masih kecil," menyadarkan usia mereka yang terpaut cukup jauh.

"Udahlah Mas, gini-gini aku kan sudah bisa menjadi istri yang baik buat Mas."

"Sudah sangat baik malah," imbuh Syam.

"Kalau begitu aku punya satu permintaan."

"Apa?"

"Aku mau foto bareng Mas di depan menara, sekalian dicetak ya," pintanya sambil berdiri di depan Syam.

Syam meraih tangan Sheila, "Ya sudah ayo."

Mereka menghabiskan waktu bersama dengan penuh canda tawa. Mereka juga tidak lupa membeli beberapa makanan dan minuman para pedagang di sekitar menara Kudus. Kemudian melaksanakan salat maghrib, membaca Alquran, hingga selesai melaksanakan salat Isya' mereka baru berniat untuk menuju hotel.

Sesampainya di hotel sekitar pukul 20.00 Sheila segera mandi dan kemudian disusul oleh Syam. Akan tetapi Syam sangat terkejut dengan apa yang dilakukan istrinya itu. Saat ia keluar dari kamar mandi Sheila terlihat memakai pakaian yang tak seperti biasanya ia gunakan. Pakaiannya sangat minim hingga membuat Syam tidak berhenti memandangnya.

Sheila menghampiri Syam yang masih berdiri mematung, "Mas di sini tidak ada sofa dan hanya ada satu tempat tidur."

Syam segera mengalihkan pandangan dan berjalan menuju ranjang, "Kalau begitu Mas tidur sama adek saja tidak papa."

"Mas suka tidak dengan pakaian yang aku pakai?" ucapnya sambil duduk di samping Syam.

"Su suka kok," jawab Syam terbata-bata.

"Terus kalau suka kenapa yang dipandang malah lantai."

"Nggak ...," ucap Syam spontan sambil memandang wajah Sheila yang sudah sangat dekat dengannya.

Sheila meletakkan kedua tangannya ke wajah Syam. Pandangannya tertuju pada bibir Syam yang nampak semakin dekat dengannya. Tangan Syam beranjak memegang tangan Sheila lalu mengambilnya dari wajahnya. Ia mengecup singkat kedua tangan Sheila lalu tetsenyum.

"Kita salat dulu," ucap Syam singkat lalu menuju ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.

Seusainya melaksanakan salat sunah berdua. Syam membaringkan kepalanya di pangkuan Sheila dengan mata terpejam. Sheila mengelus lembut kepala suaminya itu. Ia memerhatikan setiap inci wajah suaminya yang terlihat sangat tampan. Wajahnya yang simetris, hidung mancung, alis dan bulu mata hitam serta bibir merah berpadu sempurna dengan kulit wajahnya yang putih bercahaya. Ia sangat bersyukur Allah mengirim suami sebaik Syam untuk membimbingnya menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

"Mas, kalau sudah mengantuk pindah ke tempat tidur yuk," ucapnya lembut membangunkan suaminya.

"Apa Adek sudah siap?"

"Maksud Mas?"

Membuka matanya, "Mas tahu apa yang kamu mau. Kamu yakin sudah siap?"

"Harusnya pertanyaan itu untuk Mas bukan Adek."

"Mas boleh tanya?"

"Tentu,"ucapnya sambil membelai wajah tampan suaminya.

"Kenapa Adek mau menikah dengan Mas."

"Karena Adek yakin surga terasa lebih dekat jika Mas yang menjadi suami Adek."

"Tapi Adek kan tahu masa lalu Mas kayak gimana."

"Semua orang juga pernah melakukan dosa Mas. Sudahlah, jangan bahas itu lagi bagi Adek Mas adalah suami terbaik buat Adek."

Syam meraih wajah istrinya lalu mencium bibirnya singkat. Mata Sheila terbelalak seolah tak percaya Syam akhirnya mau menyentuhnya selayaknya seorang suami istri. Ia membuka mukenanya dan Syam menggedongnya untuk membaringkannya di tempat tidur.

"Mas tanya sekali lagi, apa Adek yakin sudah siap?"

Sheila mengangguk malu. Syam terlihat membaca sebuah doa lalu mematikan lampu kamarnya dan hanya tersisa lampu berwarna kuning yang nampak remang-remang. Hujan yang sangat deras membawa mereka semakin hanyut dalat suasana.

Mereka mampu mendengar detak jantung satu sama lain. Hingga akhirnya mereka bersatu secara jiwa dan raga. Hari itu adalah hari yang paling membahagiakan untuk Sheila. Ia merasa telah memenangkan cintanya selama ini. Begitupun dengan Syam, meskipun ia dulu bergelimangan dosa tapi Sheila adalah wanita pertama yang disentuh olehnya.

Jam menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Sheila segera bergegas menuju kamar mandi namun sebuah tangan menghentikannya. Ia bisa merasakan tangan Syam yang melingkar di pinggangnya. Sheila segera membalikkan badan dan menatap wajah suaminya.

"Sayang ... ini sudah jam 2 lo, yuk mandi lalu salat."

"Makasih ya sayang," mengecup singkat bibir Sheila lalu melepaskan lingkaran tangannya agar istrinya bisa pergi ke kamar mandi.

Sheila sudah siap dengan mukenanya. Kemudian disusul dengan Syam yang juga sudah rapi dengan perlengkapan beribadahnya. Mereka salat sunah berjamaah berdua dengan saling memanjatkan rasa syukur karena diberi anugerah satu sama lain. Sheila sangat bersyukur karena Syam lah yang menjadi istrinya, begitupun sebaliknya. Malam tersebut adalah malam yang sangat istimewa bagi mereka berdua.

Sahabatku Istri Suamiku 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang