Biarlah malam semakin larut
Tertampar diriku karena kebodohanku
Orang bilang kepandaian adalah bajuku
Tapi aku rasa kosong otak di kepalaku
Gagal menjadi hiasan hidup
Tidak tahu cara merayu takdir
Khawatir terusir karena tergelincir
Pahamkah aku katakan?
Tidak!
Pahitnya hidup siapa rasa
Masa depan siapa yang duga
Hidup masa kini jadi berarti
Terus usaha tanpa henti
Hingga terhenti denyut di nadi
Mati, terus hayati, nikmati hidup ini
"Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un," ucap Hafsya memotong cerita Ilyas.
"Apakah kamu masih ingin mendengarkannya?"
"Yang lalu biarlah berlalu kita sama-sama membuka lembaran baru. Bukankah kita tidak bisa merubah apa yang terjadi di masa lalu? Tapi kita punya harapan untuk masa depan yang lebih baik dengan saling memaafkan," Hafsya berhenti sebentar, "Maafkan aku ya Mas karena telah salah paham padamu selama ini. Pasti posisimu saat itu sangat berat."
"Kamu memang sangat baik Hafsya. Bahkan dalam kondisi seperti ini kamu malah terlebih dahulu yang meminta maaf. Ini adalah bentuk kegagalanku sebagai seorang suami. Hubungan yang sesungguhnya harus dibangun dengan keterbukaan bukan? Dan aku malah menyembunyikannya darimu.
"Sudahlah Mas kita akhiri pembicaraan tentang masa lalu. Itu semua hanya akan membuka luka lama yang seharusnya sudah mulai mengering."
"Yang kamu katakan itu benar Hafsya," tersenyum tipis.
"Sekali lagi, bagaimana kabar Sonia Mas? Aku ingin sekali meminta maaf kepadanya. Sebagai seorang sahabat justru aku malah meninggalkannya di saat ia berduka karena kepergian orang tuanya."
"Sonia ... dia sedang sakit Hafsya. Atas rasa bersalahnya padamu ia terus murung dan menyiksa diri itu semua membuat keadaannya semakin memburuk pasca melahirkan Ilyas kecil. Oh ya kami biasa memanggil Ilyas kecil dengan Yasa," tertawa kecil dengan sedikit terlihat gigi yang begitu tertata rapi, "Bisa dikatakan saat dihadapanku dan bersama Yasa ia menghiasi wajahnya dengan tawa. Tapi saat ia sendiri ia akan kembali teringat padamu. Aku sering melihatnya termenung dan meneteskan air mata saat sendirian."
"Astagfirullah," Hafsya terkejut dengan reflek menutup mulutnya sambil menahan tangis.
"Begitulah adanya Hafsya, tanpa dirimu dari jauh keluarga kami terlihat sempurna. Tapi semakin dekat kamu akan menemukan banyak kesedihan yang tersimpan di sana."
"Mas aku ingin sekali bertemu dengan Sonia apa kamu bisa membawaku bertemu dengannya?"
"Tentu Hafsya, dia pasti senang sekali bisa bertemu denganmu."
Mereka berdua mengakhiri pembicaraan dengan nafas yang lega. Beban salah paham yang ditanggungnya selama bertahun-tahun seakan terhempas begitu saja. Rasa lapang dada Hafsya memaafkan segala sesuatu yang menimpanya adalah awal perdamaian dalam hidupnya. Semua ini tentu tidak terlepas dari usaha Syam, entah apa yang dirasakannya, apakah benar apa yang dirasakannya pada Hafsya adalah cinta yang sesungguhnya. Atau hanya kebaikan hatinya, rasa balas budi atau apa ia juga sama sekali tidak mengerti akan hal ini. Akan tetapi yang ia tahu adalah bahwa dirinya telah melakukan hal terbaik yang harusnya memang dia lakukan. Tidak peduli apa dampaknya padanya atau apa keuntungan bagi dirinya jika melakukan hal itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sahabatku Istri Suamiku 2
SpiritualHafsya merasa bingung sekaligus kecewa dengan keputusan sepihak yang dilakukan oleh Ilyas dan Sonia. Ia diminta pergi begitu saja tanpa mengetahui apa alasannya. Di kondisinya yang sedang mengandung ia mencoba bersabar dan percaya pada mereka. Namun...