13. Bulan Madu

25 2 0
                                    

"Hidup hanyalah tentang diri kita dan Allah. Jika kita menikah menikahlah karena Allah, jika kita beribadah maka beribadahlah untuk Allah, bahkan hiduplah karena Allah, untuk Allah, dan sebab Allah. Maka suatu hari kita akan kembali kepada-Nya dengan tanpa rasa penyesalan dan penuh rasa bangga."

Setelah Sheila selesai mengajar ia segera kembali ke rumah untuk menyiapkan sarapan suaminya yang tidak lain adalah Syam. Sheila sangat pandai sekali memasak. Bahkan abahnya dulu hanya ingin makan masakan dari putrinya tetsebut.

Hampir setengah jam Sheila bergelut dengan bumbu dapur dan segala perlengkapannya. Ia segera menghidangkannya di meja dan bersiap untuk menyambut Syam yang selesai mengajar.

"Assalamualaikum," ucap Syam dengan senyum di wajahnya.

"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarokatuh," Sheila mengecup punggung tangan Syam dan mengambil kitab yang dibawa suaminya untuk ditaruh di kamar.

"Wah ... masak apa Adek hari ini?"

"Itu Adek masak makanan kesukaan Mas Syam. Semoga Mas suka ya dengan masakkanku."

"Sudah pasti suka dong. Bagaimana Adek bisa tahu ini masakan kesukaanku?"

"Adek bertanya sama Mbak Hafsya."

"Oh ... ya sudah yuk kita makan bersama."

Syam menyuapkan satu gumpal nasi beserta lauk ke dalam mulutnya.

"Bagaimana Mas? Enak nggak?" tanya Sheila penasaran.

"Em ... ini adalah masakan terenak yang pernah aku makan."

Tersenyum mengembang, "Mas bisa aja."

Beberapa menit kemudian mereka berdua telah menyelesaian kegiatan makan bersama. Sheila segera mengemasi semu bekas makan ke dapur. Sementara Syam terdengar sedang berbicara dengan seseorang.

"Dek, ada Kiai Hasan sama Bu Nyai Husna ke sini. Minta tolong buatkan minum ya," ucap Syam dari ambang pintu dapur.

"Oh ya? Baik Mas," jawab Sheila dengan senyum mengembang.

Sementara Syam asik mengobrol dengan Kiai Hasan dan Bu Nyai Husna, Sheila tiba dengan membawa senampan minuman dan kue. Kiai Hasan dan Bu Nyai Husna terlihat bahagia melihat keponakannya yang tidak pernah lepas dengan senyuman itu sejak resmi menikah dengan Syam.

"Pakde, Bude silakan diminum. Kenapa tidak berkabar kalau mau ke sini. Tahu begitu Sheila akan siapkan semuanya."

"Tidak papa, kita hanya mampir saja kok. Kebetulan saja tadi lewat sini."

"Memang Paman dan Bibi habis dari mana?"

"Pakdemu ini tadi habis ngisi acara pengajian di masjid desa sebelah dan Bude sekalian ikut biar bisa ketemu kamu. Gimana kabarmu? Sehat kan?"

"Alhamdulillah sehat, pakde dan Bude sehat juga kan?"

"Alhamdulillah sehat. Oh ya kamu sudah ada rencana bulan madu belum sama suamimu?"

"Tidak perlu Bude," sahut Syam, "Takutnya nanti malah kita kekurangan pengajar di pondok."

Bu Nyai Husna menyenggol sedikit lengan Kiai Hasan, dengan refleks beliau berkata, "Lho harus to, kalian itu tidak pernah bertemu sebelumnya. Pasti canggungkan? Masalah pondok jangan khawatir biar Pakde sama Bude yang urus."

Belum sempat berucap lagi Bu Nyai Husna menambahkan, "Betul kata Pakdemu, jadi begini, Bude punya tiket ziarah ke Kudus gratis diberi sama alumni yang kemarin sowan. Tapi Pakde sama Bude ini sudah tua perlu tenaga banyak kalau harus berpergian jauh. Nah daripada mubazir kalian saja yang pergi. Pokoknya untuk transportasi dan penginapan sudah disiapkan semuanya. Lagian cuma 3 hari saja kok."

Sheila menatap ke arah Syam yang nampak ragu, "Kalau Sheila ikut apa kata Mas Syam saja Bude."

"Gimana Syam?" tanya Kiai Hasan pada Syam.

"Baiklah kalau begitu. Terima kasih ya Pakde, Bude."

"Sama-sama, kalau begitu kami pamit dulu ya. Soalnya ada jadwal mengjar siang nanti."

"Baik mari kami antar."

"Tidak usah. Sudah kalian persiapkan saja keperluan untuk ziarah besok. Kami pamit dulu ya. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarokatuh."

Syam terlihat tidak tenang setelah kepergian Kiai Hasan dan Bu Nyai Husna. Sheila yang sadar akan hal itu segera menghampiri suaminya. Ia duduk di sebelah Syam sambil memegang tangannya.

"Mas, kalau kamu keberatan aku bisa kok bujuk Bude untuk kita tidak pergi."

Syam yang merasa Sheila terlihat tidak enak hati pun langsung tersenyum, "Tidak kok, aku tahu kamu sangat bahagia mendapat hadiah ini dari Bude. Aku akan bahagia kalau kamu bahagia."

Senyum Sheila mengembang, "Ternyata Mas bisa sweet juga. Tapi kenapa Mas tampak risau?"

"Nggak kok, cuma Mas merasa tidak enak hati aja. Masa hal seperti ini saja harus Pakde dan Bude yang menyiapkan. Harusnya Mas yang inisiatif buat nyenengin kamu. Adek bahagia kan nikah sama Mas?"

"Bahagia, sangat bahagia sekali. Makasih ya Mas sudah mau menjadi suami Sheila."

Sheila mencium tangan Syam berkali-kali. Syam yang tidak pernah mendapat perlakuan seperti itu terkejut dan terlihat salah tingkah.

"Kamu sangat manja sekali ya," mengelus kepala Sheila.

"Mas nggak keberatan kan?"

"Nggak, malah Mas makin gemes sama Adek. Ya sudah, kamu siapkan keperluan yang perlu dibawa ya. Mas mau mengajar lagi."

"Baiklah Mas, semangat ya ngajarnya," mencium punggung tangan Syam.

"Iya, kalau sudah selesai segera ke masjid ya. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarokatuh."

Syam keluar rumah dengan jantung yang berdetak kencang. Ia mulai merasakan getaran aneh saat berada di dekat Sheila. Sikapnya yang manja selalu bisa membuat Syam senang. Apalagi selama ini ia hidup dengan cara yang sangat keras. Perlakuan lembut Sheila mampu membuatnya nyaman dan merasa dibutuhkan kehadirannya.

Tanpa Syam sadari hari-harinya pun dihiasi dengan senyuman. Hidupnya terasa lebih berwarna dan rumahnya seakan seperti surga. Ia selalu merasa bahagia ketika memasuki rumah. Seakan ada hal-hal bahagia yang menantinya di dalam sana. Ternyata memiliki istri yang shalihah memang seperti memiliki sebaik-baiknya perhiasan dunia.

Oleh sebab itu para gurunya dulu selalu menyarankan ia untuk segera menikah. Tentu menikah di sini bukan tentang tampang rupawan, harta berlimpah, keturunan terhormat, apalagi nafsu belaka. Akan tetapi menikah di sini adalah sebuah niat untuk beribadah kepada Allah. Karena jika bukan karena niat ini maka manusia akan menemukan kekecewaan-kekecewaan di dalamnya. Sebab menyatukan dua kepala yang berbeda bukanlah sesuatu yang mudah.

Sheila harus sabar dan menerima ketika di malam pertamanya suami yang begitu ia cintai menolak tidur satu ranjang dengannya. Sementara Syam ia masih bergelut dengan pikirannya sendiri yang merasa sangat kotor untuk Sheila yang nyaris hampir sempurna. Syam juga harus menerima pernikahan ini meskipun sebelumnya ia belum mencintai Sheila sama sekali.

Tapi kini Syam sadar bahwa sejak akad nikah selesai diucapkan, saat itu pula ia jatuh cinta pada Sheila. Cinta adalah pemberian dari Tuhan yang ditanamkan di hati manusia. Jika niat kita hanya untuk semakin dekat dengan-Nya. Maka Tuhan akan melimpahkan rahmat-Nya kepada kita dan ridho akan rumah tangga yang sedang dijalani. Bukan hanya di dunia, melainkan di akhirat kelak. Setidaknya itulah yang dipelajari Syam hingga saat ini.

Sahabatku Istri Suamiku 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang