01. Pertemuan yang Ditakdirkan

302 21 0
                                    

"Perpisahan menjadikan pertemuan menjadi berkesan. Bahkan sakitnya perpisahan justru menjadi bumbu penyedap akan nikmatnya pertemuan."

Seperti saat Hafsya ditinggalkan oleh Ilyas, seperti itu pula awan mendung ikut menangis. Hafsya meninggalkan rumah itu begitu saja, meninggalkan Ilyas yang masih terus berdiri mematung. Ilyas tidak memiliki keberanian untuk menghentikan Hafsya setelah banyak rasa sakit yang telah diberikannya.

Sebenarnya Hafsya sama sekali tidak membenci Ilyas maupun Sonia. Namun ia butuh waktu untuk menyembuhkan luka-lukanya. Hafsya sama sekali tidak tahu harus berpikir apa dan harus bersikap bagaimana. Ia juga tidak tahu bagaimana ia akan menyembuhkan lukanya dan harus ke mana ia pergi.

Kecewa, memang itu yang Hafsya rasakan. Kehilangan, memang itu yang ia rasa paling menyakitkan. Ia melahirkan tanpa seorang keluarga pun di sampingnya. Bayinya membutuhkan ayahnya saat ia tahu darah anaknya tidak cocok dengan dirinya. Memang begitulah awal permulaan kekecewaan datang bertubi-tubi.

Walau tanpa Ilyas dan Sonia, Hafsya siap melahirkan anaknya sendiri. Namun kehendak Tuhan berkata lain. Bayi mereka kekurangan darah dan hanya darah Ilyas yang cocok dengannya. Karena Ilyas tidak juga kunjung datang akhirnya bayi itu tidak dapat diselamatkan.

Ilyas baru datang saat bayi mereka telah selesai dimakamkan. Hafsya sama sekali tidak memiliki kekuatan apa pun untuk menjelaskannya pada Ilyas. Ia memilih untuk meninggalkannya begitu saja. Meninggalkan tanda tanya yang besar bagi Ilyas. 

Hafsya berjalan dan terus berjalan. Tidak tahu harus apa dan tidak tahu harus bagaimana. Dirinya merasa kosong dan jiwanya hampa. Harus sedih, harus membenci, atau harus memaafkan ia sama sekali tidak tahu. Ia membiarkan air matanya menyatu begitu saja dengan hujan dan menatap hampa ke arah jalan.

Dar!

Suara tembakan yang begitu keras membuyarkan lamunan Hafsya, ia melihat seseorang sedang beradu tembak dengan beberapa orang yang memakai masker dan topi hitam. Tapi laki-laki itu begitu handal dalam memainkan pistolnya, hingga semua peluru yang ia arahkan tak meleset sedikit pun. 

Namun sayang sekali musuhnya begitu licik. Diam-diam salah satu dari mereka bergerak dari belakang dan akan menembak pria itu. Tanpa berpikir panjang Hafsya berlari sangat cepat dan mendorong pria itu sehingga peluru yang terlepas menggores bahunya dan membuatnya segera terjatuh. 

Pria itu sangat terkejut, ia segera membalas musuhnya dengan menembakan banyak sekali peluru bertubi-tubi ke dadanya. Hafsya yang keadaannya sedang sangat lemah dengan cepat ia langsung tak sadarkan diri. Pria itu segera membopongnya dan membawa ke sebuah rumah yang begitu besar dan jauh dari keramaian.

"Bagaimana Dok keadaannya?" tanya pria itu.

"Hanya luka luar saja, pelurunya tidak masuk ke lengannya sehingga tidak ada luka serius yang perlu dikhawatirkan."

"Kapan kira-kira dia akan sadar?"

"Sebentar lagi juga pasti akan sadar."

"Baiklah kalau begitu, mari saya antar Anda kelur."

"Mari."

Setelah mengantar dokter keluar dari rumahnya pria itu segera kembali ke kamar tempat Ergia berada. Ia menemukan sebuah buku yang tidak sengaja terjatuh saat membopong Hafsya. Kemudian ia membacanya kata demi kata hingga dalam sekejap seluruh buku telah selesai di bacanya. Tanpa pemuda itu sadari air mata telah membuat bendungan tertahan di pelupuk matanya. Hingga dengan segera ia menghapusnya saat mengetahui Hafsya telah mulai sadar dari pingsannya.

"Hai kamu sudah sadar?" sapa pria itu.

Hafsya sangat terkejut melihat seorang pria  ada di depannya. Ia segera duduk walau ia merasakan kepalanya sangat pusing tak tertahan. Hafsya mencoba mengamati sekelilingnya dan tersadar bahwa ia sedang berada di tempat baru yang belum pernah ia kenal sebelumnya.

Sahabatku Istri Suamiku 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang