11. Persiapan Pernikahan

31 2 0
                                    

"Jodoh pasti akan datang, mungkin jalannya sedikit berkelok, waktunya cukup lama, dan ada sedikit drama di dalamnya. Tapi gunakanlah waktu penantian itu untuk memperbaiki diri. Percayalah jodoh tidak akan tertukar serta akan datang di waktu yang tepat. Sehingga jangan khawatir dan jemputlah dengan cara yang halal agar hubungan seumur hidup tersebut diridhai Tuhan."

Tiga hari telah berlalu setelah Syam pergi ke makam Kiai Husain. Namun Syam sama sekali tidak mengambil sikap atas tekanan dari Hafsya dan saran dari Syahrul. Begitu juga dengan Hafsya yang masih tinggal di pondok pesantren Syam dan mengajar seperti biasanya. Akan tetapi Syam sangat menghindari  pertemuan dengan Hafsya, berbeda dengan Ilyas dan Sonia yang senantiasa bertemu dengan Hafsya ketia mengantar Yasa belajar.

Tok tok tok.

Bunyi pintu rumah Syam yang berada di dalam lingkungan pondok pesantren diketuk. Dengan segera hal tersebut mengundang penyambutan oleh Syam yang berakhir dengan wajah terkejut karena sosok yang ditemuinya. Sebab terlihatlah sosok dalang dibalik pelaku pengetukan pintu tersebut.

"Assalamualaikum."

"Wa waalaikumussalam," jawab Syam dengan terbata-bata.

"Boleh saya masuk?"

"Silakan."

Dengan sigap santri dalem di rumah Syam segera menyuguhkan minuman. Hal tersebut juga yang menjadi motif pemecahan keheningan di antara dua orang tersebut yang tidak lain adalah Kiai Hasan, saudara dari Kiai Husain dan merupakan paman dari Ning Sheila.

"Silakan diminum Yai."

"Terima kasih Syam, bagaimana kabarmu?"

"Alhamdulillah baik, Kiai Hasan sendiri bagaimana kabarnya?"

"Alhamdulillah baik juga Syam. Aku harap kamu sudah tahu alasan aku datang ke sini."

"Jujur saya belum tahu Yi."

"Saya sudah tahu semuanya dari Syahrul. Bagaimana hasil istikharahmu?"

"Saya masih ragu Yi, karena Yai pasti juga sudah tahu bagaimana masa lalu saya. Saya merasa tidak pantas bersanding dengan Ning Sheila yang hafidzah dan seorang yang ahli kitab kitab kuning."

"Semua orang juga punya masa lalu Syam. Begitu juga semua orang punya masa depan. Yang lalu biarlah berlalu. Kamu sambut masa depan yang masih panjang ini dengan baik."

"Tapi saya yakin Ning Sheila bisa mendapatkan yang jauh lebih baik dari saya Yi."

"Tapi yang dipilih Sheila adalah kamu. Ya, aku sudah merundingkan ini dengan Sheila. Dia setuju untuk menikah denganmu."

"Saya masih merasa belum pantas Yi."

"Jangan pikirkan dirimu. Bayangkan jika pondok pesantrenmu dan pondok pesantren kami menjadi satu. Pasti ada banyak kemaslahatan yang tercipta."

Setelah diam sejenak Syam pun menjawab, "Saya ikut apa saran Kiai Hasan saja kalau begitu."

"Apakah artinya kamu setuju?"

"In syaa Allah."

"Alhamdulillah ... kalau begitu saya tunggu kedatanganmu untuk melamar Ning Sheila."

"In syaa Allah saya akan pergi ke sana besok Yi."

"Bagus, niat baik memang harus disegerakan."

"Baik Yi. Terima kasih atas kehadirannya."

"Kalau begitu saya pamit dulu, sebentar lagi saya ada jadwal ngajar santri."

"Baik Yi, mari saya antar."

"Tidak usah, tugasmu pasti banyak. Saya bisa pulang sendiri. Salam untuk seluruh pengasuh pondok pesantrenmu. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarokatuh," jawab Syam sambil mencium tangan Kiai Hasan.

Syam menatap kosong kepergian Kiai Hasan yang hilang ditelan tikungan. Akan tetapi setelah ia teringat janjinya pada Kiai Hasan untuk melamar Ning Sheila besok jantungnya berdetak sangat cepat. Perasaannya campur aduk, ia tidak percaya jika akan menikahi putri dari Kiai yang sangat dikaguminya.

Ia kembali berpikir dengan keputusannya yang relatif cepat ini. Apakah pernikahannya karena tekanan dari Hafsya, kepentingan pondok pesantren, atau rasa hormatnya pada Kiai Hasan. Apa pun itu Syam mencoba menata niat di hatinya hanya untuk beribadah kepada Allah. Dengan begitu rasa sesak di dadanya sedikit bisa berkurang.

"Selamat ya Syam," ucap Hafsya saat berpapasan dengannnya di lorong pondok pesantren.

"Selamat untuk?"

"Besok kamu akan melamar Ning Sheila kan. Sosok yang sangat luar biasa. Beliau akan sangat cocok sekali denganmu."

"Bagaimana kamu bisa tahu? Aku belum memberitahumu soal ini."

"Bagaimana tidak? Berita ini sudah menyebar di seluruh penghuni pondok pesantren. Bahkan banyak santri putri yang patah hati mendengar berita ini," ucap Hafsya dengan tertawa kecil.

"Ada-ada saja."

"Aku juga udah menyiapkan sebagian keperluanmu untuk acara khitbah besok. Kamu jangan khawatir semua pasti beres."

"Terima kasih ya Hafsya."

"Sama-sama. Oh ya, aku seneng banget temanku akhirnya ada yang akan menjaganya. Jadi in syaa Allah aku besok akan balik ke rumahku sendiri. Ke keluarga kecilku lagi. Kamu jangan khawatir, Mas Ilyas akan menjemputku."

Syam hanya tersenyum kecil mendengar perkataan Hafsya tersebut, "Kalau begitu aku pamit dulu ya, ada jadwal ngajar lagi. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarokatuh."

Syam merasa waktu berjalan begitu cepat. Seakan baru kemarin ia menjadi santri Kiai Husain, lalu memasuki dunia yang kelam, bertemu Hafsya, mendirikan pondok pesantren, membangun bisnis, dan kini ia akan membangun rumah tangga untuk beribadah seumur hidup.

Keesokan harinya acara yang dinanti-nantipun tiba. Tibalah Syam di rumah Kiai Husain. Di sana ia disambut oleh Kiai Hasan dan Istrinya, Bu Nyai Husna serta seluruh keluarga besar. Syam hadir bersama ayahnya yang sudah kembali ke jalan yang benar, ia juga diiringi oleh Hafsya, Sonia, dan Ilyas yang dengan waktu singkat menjadi bagian dari keluarganya.

Sekian tahun berlalu ia akhirnya mendapat kesempatan untuk melihat wajah Ning Sheila. Tidak ada yang berubah, wajahnya masih bersinar, teduh, dengan tatapannya yang menghangatkan. Syam hanya berani melihatnya sekejap lalu kembali menundukkan pandangannya.

"Jadi kapan pernikahan akan dilangsungkan?" Tanya Kiai Hasan pada inti pembicaraan.

"Niat baik harus disegarakan," sahut Nyai Husna.

"Saya ikut saran Yai dan Bu Nyai saja."

"Bagaimana kalau minggu depan?" tawar Kiai Hasan.

"In syaa Allah, saya siap," jawab Syam dengan yakin.

"Alhamdulillah," ucap seluruh penghuni ruangan tersebut.

Setelah pembicaraan yang serius akhirnya suasanya yang hangat kembali tercipta. Ilyas, Sonia, dan Hafsya juga dalam sekejap bisa akrab dengan keluarga Ning Sheila. Syahrul yang turut hadir pun menemani dengan setia sahabatnya itu.

"Mohon Maaf Kiai Hasan dan Bu Nyai Husna, karena sudah sore kami izin pamit dulu. Sekaligus menyiapkan semua persiapan untuk akad Nanti."

"Oh iya Syam, kalau kamu butuh apa-apa langsung bilang saja tidak usah sungkan."

"Baik Yai, in syaa Allah. Kami pamit dulu, assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh."

"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarokatuh."

Setelah keluar dari lingkungan pondok pesantren Syam melepas napasnya dengan lega. Syam hampir saja tidak mengalami kesulitan dalam menyiapkan pernikahannya. Banyak sekali yang membantunya. Bahkan semua seakan berjalan dengan cepat dan lancar. Hal tersebut mengingatkannya akan ucapan Kiai Husain, " Segala sesuatu yang diridhai Allah itu tandanya dipermudah dan diperlancar." Semoga ini menjadi tanda diridhainya jalan hidup yang dipilih Syam, harapnya.

***

Sahabatku Istri Suamiku 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang