1. Teman Lama?

18 6 0
                                    

Teman lama?

Nai bertopang dagu di kursinya. Ia malah jadi bengong karena pertanyaan Husna tadi.

"Memang kamu punya teman?"

Pertanyaan yang menohok, jika tak berkonteks. Namun, Nai tahu sekali maksudnya. Husna adalah teman pertamanya setelah sekian lama. Husna yang mendengar semua ceritanya, termasuk apa yang terjadi di masa lalunya. Husna tahu, Nai tidak ada teman, baik SD maupun SMP.

Nai tak bisa menjawab pertanyaan itu. Husna pun hanya menghela napas, seolah paham bahwa pertanyaannya retoris.

Jam sekolah cepat berakhir. Nai masih termangu-mangu di kelas.

Aku akan menyambutmu kalau kamu ke kelasku.

Nai merinding tiba-tiba. Ingatan yang sudah berhasil ia kubur menyeruak begitu saja.

"Nai, meski kamu enggak ikut, bareng yuk keluarnya," ajak Husna.

Nai mengangguk pelan. Untuk sekarang, ia merasa lebih ingin di sisi Husna.

Nai, kamu labil!

Mereka keluar kelas, sama-sama ke masjid karena sudah menjelang Asar. Pandangan Nai tertumbuk pada jejeran kelas IPS. Ia menelan ludah.

"Kenapa gugup? Kelas temanmu di situ?"

Kentara sekali Nai diperhatikan. Husna memang gemar sekali mengamati gerak-gerik Nai. Lebih tepatnya, Nai yang tidak bisa menutupi gelagatnya. Nai juga sudah paham, ia tak bisa berbohong.

"Uh, eh, iya!"

Husna menghela napas. "Mau ke sana dulu? Aku temani?"

Nai sudah ingin berjingkrakan, tetapi kali ini ia masih tahan, meski suaranya langsung melengking antusias. "Iyakah? Makasih, Husna!"

Dari omongan tadi siang, Nai tahu kalau Vera tidak benar-benar menyuruhnya ke kelas. Nai hanya penasaran, karena anak itu mengatakan hal yang merupakan ... perintah pada Nai, dulu.

Anak itu masih ingat masa lalu. Tapi, apa dia sudah berubah?

"IPS 1 ...." Nai menggumam-gumam. Ia sudah sampai di depan pintu kelas yang terbuka lebar. Beberapa anak yang mencangklong tas tampak mengobrol di koridor, bersiap pulang. Tak ada Vera di sana. Yang ada, Husna malah mengobrol dengan seorang anak yang tampaknya sama-sama ROHIS.

Nai melongok ke dalam kelas.

".... Oh? Kamu datang?"

Nai benar-benar tak bisa menyembunyikan ekspresinya. Bahkan nada suara itu membuatnya langsung memucat.

"Nai?" Vera menyeringai ke arahnya. "Padahal kamu enggak benar-benar harus datang, lo. Apa kamu masih bermental jongos begitu?"

Deg.

Nai mengatur napasnya yang memburu. Jawab saja, tenang, jangan terbata-bata. "A-aku cuma penasaran, apa kamu masih menganggapku kayak dulu?"

"Enggak, tuh?" Vera melipat tangannya. "Apa kamu yang baper? Tapi kamu udah berani ya sekarang." Vera mengacungkan jempol.

".... Oke, makasih." Nai kehilangan kata-kata. Ada sakit hati yang menyeruak. Harapan kecilnya tak terkabul. Vera tidak meminta maaf. Yah, asal Nai tidak dijelek-jelekkan lagi saja. Ia berbalik dan hampir menjerit karena Husna berdiri tepat di hadapannya.

"Nai, udah azan. Mau ke masjid?"

Nai mengangguk pelan. Entah mengapa, belakang kepalanya terasa panas. Seperti ada yang menatapnya tajam.

Husna pun diam saja setelah itu, sampai mereka selesai salat. Nai jadi kagok sendiri.

"Pulang?"

Nai jadi berjengit kalau Husna tiba-tiba bicara. Mengejutkan. "I-iya. Dadah."

Maaf ....Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang