Epilog

0 0 0
                                    

Siang yang terik.

Tantra, dibantu Reza, sudah menginterogasi Vera, Yona, dan Jeki. Dua lelaki itu berjanji tidak akan membesarkan masalah itu sampai ke ekstrakurikuler mereka dengan syarat: Vera tidak mengulangi perbuatannya, Yona dan Jeki tidak ikut-ikutan tanpa tahu perkara.

"Aha ... Vera. Aku akan dengan senang hati mengawasimu," ucap Radya ringan.

"Oh, ide bagus. Rad, awasi Vera. Kalau Nai, sudah ada Husna yang jadi pengawalnya." Tantra mengacungkan jempol, setuju.

"Aku enggak nyangka keributannya sampai begini," gumam Faya.

"Sebentar. Hubunganmu sama Vera apa?" tanya Radya. "Kamu lo, yang tahu pertama kalau Nai dikurung, juga yang tadi ngajak Nai ketemu Vera."

"Sebentar, Nai dikurung?!" Tantra mendelik. "Sama siapa?!"

Vera membuang muka. Ia sudah hampir kabur kalau tidak dicegat Reza.

"Ini sih sudah parah," gumam Tantra. "Reza, kita omongin lagi nanti. Males tanya-tanya Vera lagi. Jawabannya mbulet."

"Oke, Bos," sahut Reza.

Vera menunduk, dikawal Reza.

Sementara itu, Faya tampak gelisah. "Aku juga bingung, Rad. Aku dekat sama Vera, tapi enggak suka dia suruh-suruh segala macem, meski ...."

"Huft, ya sudah." Radya berpaling dan mempercepat jalan. Namun, ia berhenti melangkah ketika ia melihat seseorang—bukan, dua orang, berlari-lari menyusul. "Nai? Kenapa dia lari-lari kayak kesetanan begitu?"

Memang, Nai berlari begitu cepat, sampai-sampai Husna di belakangnya agak kewalahan. Begitu sampai di dekat rombongan, Nai berseru keras-keras. "Vera!!"

Bahkan Reza sampai mencengkeram bahu Vera tanpa sadar. Refleks, sekaligus siap melempar Vera ke arah Nai kalau saja diperlukan.

"Vera! Oh, mana Vera?!" Nai kembali berlari, kali ini ke arah Vera. Meski harus menengadah, Nai menatap Vera tajam.

"Aku minta kompensasi!" seru Nai.

"Oh? Bagus. Sejak kapan Nai perhitungan?" sahut Tantra.

"A-apa?" Vera sudah gemetar. "Kamu mau apa dariku?"

"Cuma satu kata." Nai mengentakkan kaki. "Kalau kamu masih punya hati, mestinya kamu tahu apa itu."

"Satu kata?" Vera melongo.

"Apa kamu sebegitu enggak pekanya?" Nai menggertakkan gigi. "Atas semua perbuatanmu padaku. Atas semua ujaran kebencian yang kamu lontarkan untukku! Apa kamu enggak merasa bersalah? Sebegitu matinya hatimu?!"

Tantra melirik Husna yang masih terengah. Husna mengangkat bahu sambil nyengir sedikit.

"Sa-satu ... kata ...." Vera gemetar.

"Haruskah aku dikte?" Reza tampak sangat gemas. "Vera, selama ini kamu ngerjain Nai, enggak pernah merasa bersalah? Sampai barusan dia marah-marah, kamu masih enggak paham?"

"Oh, kalau gitu, aku aja." Radya maju ke sisi Nai, nyengir lebar menatap Vera. "Aku pernah di posisimu, kok, Ver. Berat banget bilangnya, tapi rasanya lega bukan main pas udah berhasil."

Semuanya menatap Vera, yang masih berdiri tegang dengan mulut ternganga.

"Vera? Aku memintamu buat minta maaf ke Nai, sekarang juga."

Keringat Vera bertimbulan. Tatapan mata di sekitarnya begitu mengintimidasi, membuatnya gemetar.

Seorang Vera, takut?

"Aku sudah bilang, 'kan?" Seringai Radya makin lebar. "Aku bakal mengawasimu."

"Aku, aku ...." Vera mencengkeram ujung kemejanya erat-erat. "I-iya. Aku enggak pernah bilang, ya? Nai ...."

Maaf ....Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang