"Nai, kamu enggak harus melakukan ini."
Bibir Nai terkatup. Ia sebenarnya ingin bicara, tetapi suaranya tidak bisa ia kondisikan. Ia takut. Ia gentar. Namun, ia mau membantu keluarganya.
Hari Kamis. Nai masuk seperti biasa. Demamnya sudah turun, meski kegelisahannya tetap. Pekan depan ujian? Ah, Nai tidak peduli. Yang ada di pikirannya hanya Nadia dan Bu Meira.
Kali ini, Nai berdiri di hadapan Tantra dan Reza, juga Husna di sisinya. Ia mengontak Tantra kemarin, menanyakan kelanjutan proposal anak-anak OSIS angkatan baru. Ia sudah tak peduli lagi akan dianggap apa oleh Vera, kroni-kroninya kalau ada, yang penting Bu Meira tenang, Nadia juga tidak dikucilkan.
"Nai setuju?" tanya Husna.
"Bukan sekadar setuju, Husna," gumam Tantra. "Dia malah meminta."
"Jadi, sebenarnya, kamu sembunyiin atau enggak?" tanya Reza. Ia tampak paling tidak sabar.
"Aku cuma bisa bilang satu hal," gumam Nai. "Kami sedang butuh uang."
Tiga orang di dekat Nai langsung diam.
"Ada banyak hal yang terjadi, dan banyak dari itu yang perkara utamanya jelas: uang. Kenapa aku melakukan ini? Kenapa aku jadi memohon-mohon begini?" Suara Nai kian gemetar. "Aku enggak pernah mempermasalahkan hal ini ... uang, maksudnya, sejak dulu. Aku baik-baik saja. Aku lulus SMP meski tidak ikut perayaan wisuda, apalagi pelepasan, karena memang tidak sanggup bayar, and I'm fine! Tapi, enggak semua orang kayak aku. Enggak semuanya ... tahan dicemooh, dihujat ... dikucilkan ...."
Tangan Nai bergetar. Emosinya meluap-luap.
"Dan enggak semua orang ... tahan untuk jadi sendirian ... enggak kayak aku, yang sejak dulu berusaha kuat, meski enggak ada teman—"
"Nai!" Kali ini, Husna menghardik. Ia memegang kedua bahu Nai erat-erat. "Kenapa kamu jadi begini? Apa yang terjadi kemarin, sebenarnya?!"
"Aku sakit," jawab Nai pelan. "Karena adikku juga sakit."
"Ambulans itu ...."
Nai menatap Husna. Matanya berkaca-kaca, hanya tinggal sedikit lagi sampai air mata itu tumpah. "Jangan bahas sekarang. Aku ... sakit hati ...."
Mungkin, ini pertama kalinya Nai mengaku bahwa ia sakit hati. Ini bukan soal dirinya, tetapi soal orang lain. Nai tidak masalah dirinya diperlakukan seperti apa. Ia tahu, ia kuat. Namun, Nadia? Anak itu rapuh. Nai kembali menggigit bibirnya. "Husna, Bu Meira mencari donatur."
"Eh?" Husna melonjak sedikit.
"Kalau anak OSIS enggak jadi memakai usulan itu, aku minta bantuanmu, ya." Nai menghela napas. "Rasanya, aku rendah sekali. Tapi, bodo amatlah. Ini bukan soal harga diriku lagi. Ini ... menyangkut nyawa." Setelahnya, Nai berlalu ke kelas, meninggalkan Husna yang saling pandang dengan Tantra dan Reza.
****
"Nairella? Kebetulan sekali. Proker kami belum mendapat lokasi kegiatan, jadi apa kami boleh pakai tempatmu?"
Nai terperangah. Tiba-tiba saja, entah bagaimana mulanya, sesosok kakak kelas muncul di hadapannya. Ia anak ROHIS. Husna yang mengenalkan perempuan itu pada Nai.
"Ah, tunggu-tunggu. Maaf kalau kurang sopan. Aku juga minta maaf kalau kesannya, tempatmu hanya dipergunakan untuk kepentingan kami." Kakak kelas itu menangkupkan kedua tangannya yang tertutup manset dan membungkuk di hadapan Nai.
Keruan saja Nai jadi kagok. "K-Kakak siapa?"
"Lo, aku belum bilang?" sahut Husna. "Ini salah satu mentor yang sering pegang kelas sepuluh, baru dilantik sebagai PJ Divisi Kemasyarakatan. Kak Aufa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Maaf ....
Spiritual[Sekuel Teman Sejati] [Serial Jati Diri #3] Ketika Nai merasa sudah bisa menata ulang kehidupan suramnya, ia malah dipertemukan dengan seseorang yang tidak ia sangka. Vera. Orang yang dulu merundungnya, yang menancapkan luka dan trauma mendalam. Sud...