Saat itu, hati Nai sedang labil-labilnya.
Ia masih baru saja memutuskan untuk "berusaha" lepas dari masa lalunya, untuk "berusaha" sembuh dari luka hatinya. Ia sudah membuka hati untuk berteman dengan orang lain dan berhasil mendapat kepercayaan, juga berani untuk memercayai orang lain.
Lalu, Nai harus apa dengan satu orang ini? Dengan Vera?
Nai berbalik ke kelasnya, buru-buru memasukkan topi itu ke loker meja Husna, lantas kembali terbirit-birit mengejar kawannya yang sudah sejak tadi menghilang.
"Hu-Husna!" Nai terengah ketika berhasil meraih lengan temannya itu.
"Astagfirullah, Nai. Kamu habis ke mana?" Suara Husna meninggi. Nai langsung mengkeret.
"E-eh, sori. Aku kaget pas tahu-tahu kamu hilang tadi. Habis ngapain?" Ucapan Husna kini melembut.
"Enggak papa. Ada yang kelupaan di kelas, makanya aku buru-buru." Nai nyengir lebar penuh rasa bersalah.
Namun, ini sudah kemajuan. Nai beberapa bulan lalu akan menjawab sambil gelagapan dan penuh kepanikan, padahal ia tidak salah. Ia hanya ragu mengutarakan kebenaran karena takut tanggapan orang lain, pun takut berbohong karena akan terungkap suatu saat nanti.
Husna tampak tersenyum tipis. "Sangat Nai sekali, ya. Baiklah. Ayo, itu mobilnya."
Mereka menaiki mobil hitam milik keluarga Husna. Nai agak ragu mengarahkan sopir ke tempat tinggalnya. Ketika akhirnya mobil parkir di halaman paving block yang luas, Husna langsung menatap Nai datar, seolah-olah berkata, aku tahu kok. Nai lagi-lagi nyengir gugup.
"Husna, sebentar. Aku cek ke dalam dulu." Tanpa ba-bi-bu, Nai sudah memelesat ke dalam bangunan bercat putih kusam dengan sedikit nuansa toska.
Husna menatap bangunan itu lekat. Ini adalah pertama kalinya bertandang ke "rumah" teman sejak SMA. Nai lebih sering menghindar selama ini, seolah tahu kalau Husna sebenarnya hanya ingin tahu saja.
Ah, Husna sudah memastikan sekarang. Lalu, apa?
"Husna, sini!" Nai tiba-tiba keluar dan melambai dengan penuh semangat. Di sampingnya, tampak seorang wanita muda yang juga tersenyum lebar, plus satu-dua anak kecil yang mengintip malu-malu.
"Masa ya semuanya penasaran pas kubilang, aku bawa teman ... yang seumuran!" seru Nai. Ia tak sabar dan akhirnya menarik Husna masuk.
Lucu juga, sebelumnya Nai begitu ragu karena, untuk pertama kalinya, ia benar-benar menjadi seorang penghubung. Jembatan atas dua dunianya yang selama ini ia pisahkan satu sama lain: sekolah dan panti asuhan. Ia dihantui pikiran buruk teman sekolahnya atas anak-anak yatim piatu ataupun terbuang di sana, dan juga ketakutan akan ekspektasi adik-adiknya pada sosok yang bisa ia sebut sebagai "teman."
Namun, kecemasan Nai runtuh saat itu juga.
Lihatlah di sana, Husna, baru saja menapak, langsung diserbu dua anak kelas 2 SD. Omongan mereka merepet dan saling menyambar soal keingintahuan mereka akan kehidupan lain di luar sana. Dilanjutkan dengan seorang anak kelas 5 SD dan 1 SMP. Mbak Ulya sendiri sigap meminta maaf pada Husna dengan sopan karena "serangan mendadak" itu. Sedangkan, Husna ... lihat itu. Husna, tertawa begitu lebar!
"Enggak apa-apa, Mbak. Di sini ramai, ya. Aku anak tunggal, di rumah sendirian."
"Ah, kemarin ada surat dari Kak Safi! Katanya dia juga kesepian!" Seorang anak perempuan tunjuk tangan.
"Gimana rasanya jadi anak tunggal, ya?" gumam gadis lain yang berperawakan cukup tinggi, meski wajahnya polos.
Husna tampak tersenyum memandang itu semua. "Kesepian atau enggak, itu cuma soal terbiasa atau enggak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Maaf ....
Spiritual[Sekuel Teman Sejati] [Serial Jati Diri #3] Ketika Nai merasa sudah bisa menata ulang kehidupan suramnya, ia malah dipertemukan dengan seseorang yang tidak ia sangka. Vera. Orang yang dulu merundungnya, yang menancapkan luka dan trauma mendalam. Sud...