"Nai? Jadi, kamu sudah punya teman sekarang?"
Suasana hening sesaat. Masih pagi hari Senin, suasana kelas cukup lengang, tetapi sekelompok anak itu bersiaga di depan kelas.
"Ya sudah." Perempuan berambut pendek itu berbalik. "I'm happy for you. Nai udah bisa menggaet orang."
"...."
Nai mengepalkan tangannya. Ia panik karena dapat tatapan dari tiga pasang mata sekaligus.
"Nai–"
"Peduli amat dia! Dikira orang enggak bisa punya teman apa?!"
Seruan sekaligus gebrakan meja khas Radya memotong ucapan Husna. Anak itu emosi mendadak.
"Oh, jadi kamu beneran menganggap Nai teman?" Husna mengubah fokus ke Radya.
"Aku yang lebih dulu mengakui Nai sebagai teman, tahu!" Radya menunjuk hidung Husna, lalu berbalik sambil mengomel panjang-pendek.
"Haha, dia jadi so sweet begitu," komentar Husna. Barulah ia menoleh ke Nai. "Dia temanmu yang kemarin, 'kan? Kayaknya memang teman. Sampai pagi-pagi nyamperin begini."
"Husna!" seru Nai. "Maaf kalau aku salah, tapi ... kamu enggak nyindir aku, 'kan?"
"Eh, kayaknya aku enggak sengaja menyindir." Husna menggaruk kepalanya. "Maaf."
"Duh, gimana sih, Ustazah!" celetuk Tantra.
"Diam kamu," sengit Husna.
Nai menghela napas. Ia senang melihat keributan kecil teman-temannya. Ya ... teman. Vera bukan temannya, dan anak itu sama sekali tak punya hak untuk ikut campur kehidupannya.
****
Apa takdir sedang mempermainkannya, Nai tak tahu. Yang jelas, ia jadi amat sangat sering berpapasan dengan Vera–setelah berbulan-bulan sebelumnya tak sadar sama sekali. Vera lebih sering mengabaikannya, meski sesekali melengos. Ada kekecewaan dari caranya memandang Nai. Ya, Nai tahu. Itu cara Radya menatapnya ketika dulu Nai lebih memilih Husna. Lucu sekali sebenarnya kalau dipikir-pikir.
"Nai, kayaknya tiap Jumat aku ada kegiatan rutin pulang sekolah." Husna tampak menyesal ketika mengatakannya. "Kamu pulang hati-hati, ya."
Nai mengangguk.
"Yah, aku juga ada." Tantra menimbrung tiba-tiba.
"Enggak ada hubungannya denganmu," sahut Husna. Kedengarannya jengkel.
"Kenapa? Aku tahu kamu cemasin Nai kalau dia sendirian, 'kan?" Tantra berlagak santai.
"Kenapa kalian cemas? Aku bisa sendirian, kok. Udah biasa banget malah," sahut Nai heran.
"Aku ikut-ikut dia." Tantra menunjuk Husna.
"Enggak tahu," malah itu jawaban Husna. "Waktu itu, pas aku merasa buruk, kamu benar-benar–"
"Setop!" seru Nai langsung. Wajahnya pias. "Jangan bahas lagi, oke? Aku sudah hidup tenang sekarang."
Husna menghela napas. "Oke, aku percaya. Semoga kejadian itu enggak terulang lagi."
Dari gelagatnya, Nai tahu Tantra ingin bertanya. Namun, ia pikir, sebaiknya laki-laki itu tak tahu.
****
Sebenarnya, kejadian lalu masih membekas trauma bagi Nai. Ia akan girang bukan kepalang jika Husna mengajaknya pulang bareng. Ia akan cukup bahagia jika ada teman menunggu angkutan bersama.
Jumat, ketika rata-rata sekolah negeri bubar pukul satu setelah jumatan, mereka tetap pulang sore. Karena itulah, jadwal ekskul juga terundur, kadang sampai magrib. Sebenarnya, karena kebijakan itulah, pengurus ekstrakurikuler bisa melakukan pembagian jadwal harian dengan lebih adil. Tiap hari ada giliran ekskul tertentu, rata-rata setiap ekskul memiliki jadwal dua hari sepekan, dari Senin sampai Jumat. Ekskul yang membutuhkan latihan lebih seperti paskibra menggunakan waktu tambahan pada hari Sabtu. Minggu, sekolah tutup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Maaf ....
Spiritual[Sekuel Teman Sejati] [Serial Jati Diri #3] Ketika Nai merasa sudah bisa menata ulang kehidupan suramnya, ia malah dipertemukan dengan seseorang yang tidak ia sangka. Vera. Orang yang dulu merundungnya, yang menancapkan luka dan trauma mendalam. Sud...