"Permisi?"
Radya, yang sedang berkumpul di kantin dengan beberapa teman basketnya sembari menghabiskan stok es teh manis Bu Kantin, menoleh ke sumber suara. Ia membelalak. "Iya, Pak? Kenapa?"
Bagaimana Radya tidak kaget? Tukang sampah sore itu membawa-bawa sebuah tas lusuh yang kini tambah terlihat gembel. Ia tahu betul itu tas milik siapa.
"Ini, kayaknya ada tas anak sini yang ... uh ... terbuang? Di tempat sampah?"
Radya bangkit lebih dulu sebelum yang lain sempat bereaksi. Ia langsung menyambar tas itu. "Ini tas teman saya! Sebentar!" Ia mengambil ponsel dan langsung menghubungi sebuah nomor.
Nai-rella.
Getaran terasa dari dalam tas. Radya tambah pias. "Maaf, Nai," gumamnya pelan. Ia membuka tas itu dan mendapati ponsel Nai ada di sana, berikut notifikasi panggilan tak terjawab darinya.
"Eh ... ada di mana ini, Pak?" tanya Radya.
"Tempat sampah koperasi," jawab tukang sampah itu. "Punya temennya, ya? Ada di mana dia?"
"Saya enggak tahu ...."
Kantin yang sudah lengang itu tambah sepi. Beberapa anak yang mulanya masih mengobrol riang kini terdiam sepenuhnya.
"Radya?" panggil seorang perempuan berambut cepak. Gia. "Dipanggil temanku."
"Hah? Temanmu yang mana? Yang titip salam itu?" Radya menoleh cepat. Ia tak bisa menyembunyikan raut paniknya.
"Eh ... tumben panik." Gia buru-buru tutup mulut, menyadari situasi yang dihadapi Radya tampak penting. "Itu, Faya. Katanya, dia di ... belakang koperasi?"
"Faya?" Radya tidak kenal itu siapa, tetapi ia tak peduli. Sambil menenteng tas Nai, ia berjalan bersama Gia dan beberapa anak basket lain ke belakang koperasi ... dan melihat seorang anak perempuan, berjaket dongker dan berambut panjang digerai yang tampak ketakutan.
"Gia!" Anak itu tiba-tiba berlari dan memeluk Gia. "Tolong! Aku takut?"
"Eh? Kamu manggil Radya, 'kan?" Gia tampak kagok sambil melirik ke Radya.
"Radya ... oh, Radya!" Faya berpaling. "Iya, aku tahu kamu. Kamu enggak tahu aku?"
"A-apa sih?" Radya gelagapan. Ia tersentak karena saat itu, ponsel Nai kembali bergetar. "Sebentar. Ini Husna!"
Radya sampai gemetar, padahal jarang-jarang ia kalut. Ia mengangkat telepon itu setelah menyadari ada banyak panggilan tak terjawab, tidak hanya darinya barusan. "Hus–"
"Naaaiiii! Kamu di mana? Kenapa enggak bisa dihubungi?!"
"Husna! Ini bukan Nai!"
"Ini siapa?! Mana Nai?!"
"Ini Radya!"
Diam sejenak.
"Nai," gumam Faya tiba-tiba. "Gia, kamu tahu Nai yang mana? Nairella, maksudnya."
"Enggak," gumam Gia. "Apa yang terjadi?"
"Radya, Nai di mana?!"
"Enggak tahu!" sahut Radya. "Kamu lagi di mana?"
"Nai belum pulang!"
"Ya, itu aku—" ucapan Radya terhenti ketika tiba-tiba Faya berdiri di hadapannya dengan wajah semrawut.
"Radya. Nai ada di sana."
Radya ternganga.
"Cepat. Aku tahu itu dia. Aku pernah bertemu langsung dan ngobrol dengannya. Kamu temannya Nai, 'kan? Tolong. Tolong ... mereka keterlaluan!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Maaf ....
Spiritual[Sekuel Teman Sejati] [Serial Jati Diri #3] Ketika Nai merasa sudah bisa menata ulang kehidupan suramnya, ia malah dipertemukan dengan seseorang yang tidak ia sangka. Vera. Orang yang dulu merundungnya, yang menancapkan luka dan trauma mendalam. Sud...