7. Undangan

7 2 0
                                    

Husna membuat jadwal. Katanya, selama tidak ada acara ekstrakurikuler sepulang sekolah, ia akan bertandang ke tempat Nai.

"Enggak buruk, 'kan?" tanya Husna. Maksudnya, apa yang Nai takutkan jika Husna ke panti tidak terjadi.

"Eh? Apaan buruk?" Nai malah gelagapan.

Husna menghela napas. "Aku ... aku enggak bikin keadaanmu, atau rumahmu, jadi buruk, 'kan?"

"Oh, enggak kok!" Wajah Nai berangsur ceria, menandakan ucapan itu sungguh-sungguh berasal dari hatinya, bukan karena ingin menjawab yang baik-baik saja.

Kemarin sore, Nai terlalu banyak menangis sampai lama sekali tidak keluar kamar mandi. Hingga akhirnya azan Magrib terdengar, Nai baru berusaha membasahi wajahnya sampai kuyup demi menyembunyikan jejak air matanya. Ia merasa bersalah, apalagi teringat Husna yang ia tinggal di teras belakang. Saat keluar kamar mandi, Husna sudah berada di dapur, membantu Nadia menyiapkan makan malam dan membawakan ke ruang makan. Husna melempar senyum pada Nai, seolah mengisyaratkan bahwa semuanya baik-baik saja, Nai tak perlu cemas. Husna pamit setelah salat Magrib berjamaah.

Kembali ke sekolah pagi ini.

"Husna, kamu enggak usah repot-repot, ya," ujar Nai. Meski agak aneh, karena ia tidak merasa segan. "Kalau kamu memang lagi enggak ada jadwal aja."

Husna hanya mengacungkan jempol.

Hari itu, Nai bisa cukup tenang menjalani kelasnya. Ia sampai sempat melupakan Vera, meski ... hanya sampai sore itu.

Hari Selasa adalah hari piket Nai, meski nyatanya ia hampir tiap hari merapikan kelas. Sebelumnya, beberapa bulan awal SMA, ia sendirian. Kali ini, kelas cukup meriah. Semua dimulai sejak insiden kelas seni rupa yang membuat kelas mereka nyaris kebakaran. Radya dan gengnya yang biasa nongkrong di belakang kantin lepas jam pelajaran berakhir, jadi lebih memilih di kelas, ikut merapikan meja meski sambil mengobrol ribut. Tantra, jika tidak ada kegiatan OSIS, akan bercokol di sudut kelas sambil main gitar—ia yang paling mengganggu, tetapi juga menghibur. Husna biasa bergerak merapikan apa pun tanpa banyak cincong, sementara Nai, ia senang sekali karena saat inilah ia bisa "menyuruh" orang dengan leluasa, alias tanpa perasaan bersalah.

"Tolong bantu hapusin, dong!" Nai menunjuk atas papan tulis yang tidak terjangkau tangannya.

Radya, yang hampir 15 senti lebih tinggi dari Nai, langsung bergerak. "Nai, coba kamu rajin minum susu sekarang. Mana tahu tulangmu mau melar lagi."

"Tulang melar apaan? Dikata karet?" Malah Key yang menyahut rusuh.

"Tulangnya punya sekrup," sahut Tantra tak acuh. Ia kini asyik memainkan kunci-kunci dasar yang sebenarnya tak jelas juga lagu apa itu.

Nai nyengir mendengar celetukan asal dari teman-temannya. Ia berjalan ke jendela yang mengarah ke balkon dan terkesiap melihat ada sekelebat di sana. Itu orang ... orang yang mengintip dan langsung pergi begitu ketahuan.

Haruskah aku kejar? Nai membatin, tetapi akhirnya memilih abai. Toh, ia juga tidak tahu orang tadi siapa dan mau apa. Bersama dengan orang asing masih membuatnya ketakutan, maka ia berbalik.

"Udah, udah. Nanti kita yang beresin sebelah sini." Anggi melambaikan tangan. "Pulang aja, Nai."

"Iya, aku tunggui mereka. Kalau ternyata enggak beresin, biar kutimpuk pake gitar." Tantra mengangkat gitar di tangannya. Ia langsung mendapat pelototan Anggi.

"Oke, makasih!" Nai meraih tasnya.

"Enggak usah makasih, Anggi jadwal piket hari ini juga," jawab Husna datar. Kali ini, ia yang dipelototi Anggi.

Kali ini, Nai merasa Husna tidak berjalan cepat-cepat seperti biasa. Nai jadi merasa agak lega. Tiap ia sendirian, rasanya ... Vera bisa muncul dari mana saja.

Maaf ....Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang