Tidak ada yang kritis.
Kecelakaan tunggal itu terjadi ketika mobil hendak menyalip, tetapi entah bagaimana sang sopir salah mengarahkan mobil sampai menabrak tiang listrik. Vera syok sampai pingsan. Sang sopir? Pura-pura.
Memang semuanya problematik.
Vera tak berani menatap ketika Nai membesuknya di ruang rawat. Nai sendiri tidak tahu merasa apa. Tidak ada simpati ataupun rasa kasihan. Itulah yang membuatnya merasa sesak dan terimpit tadi. Perkataan Husna ada benarnya.
Nai merasa lega, juga bersyukur. Kalau perasaannya keluar dalam bentuk kata, sudah pasti ia akan berujar, mampus lu!
Namun, tidak. Nai tidak mengatakannya. Ia hanya menatap Vera dingin. Yang ditatap berusaha menatap ke arah lain.
"Gimana rasanya?"
Vera tersentak dengan ucapan pertama Nai.
"Gimana rasanya kamu ditolong dan diobati dengan anak-anak panti asuhan yang kamu benci?"
Tak ada reaksi. Namun, Nai tahu, bahu Vera gemetar.
"Ini salahmu sendiri, Vera. Jangan bawa-bawa kami. Kami enggak bersalah. Kami membantumu. Kalau ada masalah ... ya, itu salah kamu." Nai mencerocos seperti bukan dirinya. "Kalau kamu masih benci padaku, silakan. Tapi, jangan kekanak-kanakan begitu."
"Hentikan ...," gumam Vera.
"Kamu orang bodoh, ya. Dari dulu bilang benci aku cuma gara-gara aku enggak dididik langsung sama ortu. Apa aku memilih menjalani hidup kayak gini? Enggak. Bukan aku yang mau. Kamu benci takdirku, Vera. Kamu membenci sesuatu yang enggak bisa aku ubah!" Nai mencengkeram pinggiran ranjang. "Itu pas SMP. Sekarang? Kamu ... kamu bilang aku enggak setara. Enggak berhak sekolah di sekolah negeri unggulan. Dari mana? Kamu ngomong seolah-olah aku enggak berhak punya teman. Kenapa?"
"Setop ...." Vera makin lunglai.
"Bilang padaku, Vera!" Nai makin keras mencengkeram. "Bilang, apa alasan sebenarnya kamu benci aku?!"
Vera terdiam. Wajahnya tampak muram.
Nai merasa makin sesak. Ia sudah ingin menyemburkan kata-kata, tetapi Husna dengan cepat memegang bahunya.
"Jangan marah-marah di sini. Ini bukan kamar VIP, ada banyak pasien lain."
Nai menatap Husna sejenak, lalu menunduk. Ia pun ikut Husna keluar kamar rawat, bertemu Radya, Faya, dan Gia yang sedang duduk di ruang tunggu.
"Apa kamu hajar dia?" tanya Radya langsung.
Nai melirik Husna. Teman di sampingnya itu tampak berusaha menahan diri agar tidak menjitak Radya.
"Dia bisu," sahut Nai.
"Apa?!" Gia dan Faya melonjak.
"Dia enggak balas ucapanku." Nai menunduk. "Dia cuma bilang setop, berhenti ... padahal bukan itu yang mau aku dengar." Ia kembali mengangkat wajahnya. "Di mana Yona dan Jeki?"
"Mereka udah pulang," sahut Faya. "Ckckck, kasihan Vera. Dia enggak pulang-pulang karena enggak ada yang bisa jemput. Ortunya sibuk, sopirnya tadi disidang dan dipecat."
"Ortunya sibuk?" tanya Nai.
"Ortunya sibuk?" Radya membeo. "Maksudnya, dia kurang kasih sayang orang tua?"
"Bisa dibilang gitu, sih." Faya mengangkat bahu. "Aku baru kenal dia beberapa bulan. Jangan anggap aku tahu seluk-beluk tentangnya!"
"Aku kenal Vera sejak SMP, tapi ... dia enggak kelihatan begitu?" gumam Nai. "Dia malah bilang padaku, kalau orang tuanya melarang dia buat main sama ... sama anak yatim piatu ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Maaf ....
Spiritual[Sekuel Teman Sejati] [Serial Jati Diri #3] Ketika Nai merasa sudah bisa menata ulang kehidupan suramnya, ia malah dipertemukan dengan seseorang yang tidak ia sangka. Vera. Orang yang dulu merundungnya, yang menancapkan luka dan trauma mendalam. Sud...