3. Kilas dan Kontrak

17 2 0
                                    

Tiga tahun sebelumnya

Tidak ada yang bisa menggambarkan bagaimana gugupnya Nai saat baru masuk SMP. Ia tak ingin sekolah, ingin tinggal dan membantu urusan panti saja, tetapi pimpinan panti, Bu Meira, memohon padanya. Pendidikan wajib katanya. Apalagi mereka tinggal di kota besar dalam keadaan mampu—meski sekolah swasta, ada beasiswa, tidak dipungut biaya. Maka, dengan ogah-ogahan, Nai masuk juga.

Nai masih 12 tahun saat itu. Baru lulus SD setelah penuh perjuangan, darah, dan air mata—bisa kiasan atau literal. Nai dirundung. Tidak punya orang tua, berpenampilan selalu lusuh, penakut, semua hal yang membuat orang memandang rendah padanya. Nai seolah tidak punya harga diri. Dengan ketakutan yang nyata, ia menolak kembali bersekolah, bahkan meski sekolahnya berbeda.

Awal SMP, Nai datang paling awal, mengambil bangku yang semoga dibenci semua orang—paling depan, dekat guru, dan tepekur di sana. Belum apa-apa, ia sudah mau menangis. Ia tak tahu harus pada siapa meluapkannya. Ia tak punya kawan, bahkan anak-anak seusianya di panti seperti mengucilkannya. Bu Meira sibuk, para pembantu tak bisa diharapkan.

Nai ingin tempat mencurahkan isi hatinya, tetapi ia sangat takut berteman.

Pada siapa ia bicara?

Pada pensil kayu dan penghapus. Pada kucing-kucing jalanan.

Siapa yang nyaman dalam kondisi seperti itu? Sedangkan, di sekelilingnya, anak-anak lain bicara riuh rendah.

Baru sekitar akhir semester 1, Nai cukup dekat dengan beberapa orang, meski sebenarnya tidak bisa dikatakan dekat juga. Saat itulah Nai berani menyapa orang lebih dahulu. Vera dan dua temannya yang mengikut saja. Lebih tepatnya, itu karena mereka yang sebelumnya bicara dengan Nai.

"Halo, Anak Pendiam. Kita sekelompok, nih."

Memang pembagian kelompok acak itu membuat Nai terpaksa membaur. Bukan hanya itu, ini juga pertama kalinya ada tugas kelompok, di luar ospek yang membuat Nai ingin tutup muka jika mendengarnya. Nai mengangkat wajah ketika Vera bicara padanya.

"Uh ... nanti aku yang bagi tugas. Kamu kerjain bagian kamu aja." Vera mengernyit. Ekspresinya ... kasihan.

"Baiklah," jawab Nai dengan lirih.

Satu percakapan itu membuka gerbang percakapan lainnya. Vera rupanya cukup ambisius, ia rajin memonitor anggota kelompoknya, tak terkecuali Nai.

Nai itu anak yang rajin. Meski harus kerja keras dengan kondisi perangkat komputer yang ada di panti, atau lebih sering ia melipir ke warnet, semua tugasnya bisa ia kerjakan dengan baik dan tepat waktu. Tentu saja Vera si anak ambis senang.

"Kamu kenapa lusuh dan pendiam begitu? Padahal kamu rajin."

Nai agak kaget mendengar pertanyaan itu. Lusuh dan pendiam. Belum apa-apa, Nai sudah gemetar. "Aku ...." Hanya itu yang bisa Nai ucapkan.

Ada ekspresi prihatin dari wajah Vera. "Kamu pendiam, jadi kekurangan teman, ya? Kamu mau jalan-jalan akhir pekan nanti?"

"Jalan-jalan?" Nai memekik. Kata mewah macam apa lagi itu?

Vera kini terlihat kikuk. "Uh ... nanti aku minta tolong tugas lagi, kamu enggak keberatan, 'kan?"

Nai paham gelagat itu. Lupakan kata jalan-jalan barusan. "Iya."

Vera berbalik setelah itu. Ia merasa salah bicara, seperti bicara pada hewan yang tinggal di dalam liangnya bertahun-tahun. Tidak paham dunia luar dan gagap menghadapinya, padahal Nai sangat tanggap dan rajin. Sayang sekali kalau ia tak bisa berteman dengan Nai. Jiwa ambisiusnya bergolak.

Vera bertekad akan menjadikan Nai sebagai teman.

****

Sebagai seorang anak yang biasa dikucilkan, Nai sangat menyadari perbedaan gelagat Vera. Anak itu mau dekat dengannya. Pikiran buruk Nai langsung ke mana-mana. Dia mau menggunakan aku untuk apa? Apa dia akan membenciku? Dia cuma mau mencari kekuranganku?

Maaf ....Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang