10. Terekspos

3 1 0
                                    

Sekolah pagi itu lengang.

Husna belum datang. Hanya ada Tantra di salah satu sudut, sedang mengobrol dengan Reza sang ketua kelas. Mereka yang sama-sama mendaftar OSIS mengaku janjian dengan kakak kelas pagi itu.

"Proyek buat yang bakal dilantik OSIS," Tantra menjelaskan ketika Nai bertanya. "Ini proyek perdana angkatan baru, buat semuanya yang bakal dilantik, kelas 10-11. Enggak masuk proker MPK-OSIS sekarang."

"Proyek apa?" tanya Nai.

"Belum tahu. Makanya kami mau janjian sama kakel yang masuk di angkatan sekarang," sahut Reza. "Betewe, Nai, kamu selalu datang sepagi ini? Biasanya kamu bandar jawaban tugas lo, ngerjain di rumah semua?"

Nai cengengesan. Tak lama, Husna datang. Nai pun kembali ke bangkunya. Namun, heran, ia mendadak kagok untuk memulai percakapan. Padahal, ia ingin menanyakan sesuatu. Soal Nadia, dan apa yang mungkin bisa Nai lakukan. Ia tahu, hanya Husna yang bisa ia percayai untuk mencari solusi. Masalahnya, keadaan mereka tidak sama. Husna mana pernah mengalami kesulitan akibat tidak bisa membayar?

Ah, Nai, kamu mikir apa?

"Nanti pulang aku ke rumahmu?"

Ucapan Husna mengagetkan Nai. "Y-ya? Oh, ya, boleh. PR cuma ada hari ini, ya? Besok-besok enggak ada?"

Husna menghela napas sambil bertopang dagu. "PR enggak ada, tapi tugas buat pemantapan materi sih banyak."

Mereka kemudian mengeluarkan buku catatan dan saling membandingkan isi. Tantra bergabung kemudian, meski tampaknya hanya ingin meramaikan. Lelaki itu lebih sering menatap ponsel, tampak sok sibuk sekali. Ia hanya sempat berkata bahwa jam janjian dengan kakak kelas diundur ke siang nanti. Nai sudah hendak membuka mulut untuk meledek ketika Tantra tiba-tiba berucap pelan.

"Nai? Nanti istirahat boleh bicara?"

Nai dan Husna langsung bertatapan.

"Sama dia?" Nai menunjuk Husna.

"Ya, bebas. Cuma nanya sesuatu doang kok." Meski begitu, tatapan Tantra agak aneh. Seperti bukan ia yang biasa, yang matanya hampir selalu berbinar iseng.

Bel berbunyi, kegiatan mereka pun terhenti. Tantra kembali ke bangkunya, sementara Nai dan Husna mengeluarkan buku pelajaran pertama mereka hari itu.

****

"Sori."

Kata pertama dari Tantra membuat Husna dan Nai sama-sama mengernyit heran. Lagi, keduanya bertatapan. Mereka kini berada di depan kelas, di balkon yang agak sepi karena bukan jalur lalu-lalang siswa menuju kantin.

"Husna." Tantra menatap Husna lurus. Agak jarang ada yang seberani itu, orang lain biasanya keder dan langsung menunduk atau memalingkan muka jika melihat Husna. "Kamu ingat yang pernah kubilang waktu itu?"

"Waktu itu kapan?" Wajar saja Husna bingung. Tantra sering menceletuk di antara Nai, Husna, dan Radya. Paling sering di antara para anak lelaki lain yang memilih tidak dekat-dekat Husna. Memang Tantra itu unik.

"Waktu kita di sini. Papasan, enggak sengaja, dan ... sori, Nai. Aku ngomongin kamu."

"Hah?" Giliran Nai yang heran, tetapi Husna langsung terperangah.

"Itu udah ... sekitar sebulan yang lalu, 'kan?" Tantra berbalik dan bertumpu ke pagar balkon. "Ya, sori, karena ngomongin kamu. Tapi, aku merasa, kamu nyembunyiin sesuatu. Jangan salah sangka. Aku enggak mengorek info apa pun dari Husna. Ya, 'kan?"

Husna mengangguk saja saat dituding Tantra.

"Aku cuma bilang, kalau tahu rahasianya, tolong jaga. Karena itu berarti, kamu dipercaya. Aku cuma mau jadi teman yang enggak perlu tahu latar belakang seseorang. Paham maksudku?"

Maaf ....Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang