!!
Trigger warning: kata-kata menyudutkan, terutama ke anak yatim/panti asuhan****
Sekitar dua tahun lalu, Nai juga pernah diundang.
Sebelumnya, Vera sudah berjanji tidak akan mengusik hidup Nai jika mau menandatangani "kontrak" itu. Namun, apalah janji itu, jika satu orang yang merasa dirinya superior sudah menemukan "sasaran empuk," mana mau ia dengan mudah melepas mangsa itu?
Peristiwa kontrak itu terjadi di akhir kelas 7 semester 2. Berlaku selama tiga tahun. Sekarang, Nai kelas 10 semester satu ... apa ini berarti ia masih akan menjalani enam bulan ke depan dalam bayang-bayang masa lalu yang tidak menyenangkan?
Undangan dulu datang di akhir semester ketiga Nai SMP, alias kelas 8 semester 1 akhir. Ya, jadi dua tahun sudah berlalu. Ketika Nai merasa berbunga-bunga karena akhirnya mengira dirinya kembali diterima dalam lingkaran pertemanan. Nai tidak pernah membenci Vera, karena hatinya memang tidak "diajari" untuk dengki. Ia izin ke pimpinan panti untuk ke pesta ulang tahun ke-13 temannya itu. Meski rumah Vera yang tertera di alamat agak jauh, Nai tak gentar. Ia pun mendapatkan izin, karena pimpinan panti, Bu Meira terutama, menganggap hal itu sebagai ajang Nai untuk bersosialisasi lebih dengan teman sebayanya, termasuk mengikuti hal-hal lazim di antara mereka, seperti pesta ulang tahun. Maka, berangkatlah Nai dengan berganti rute angkutan umum beberapa kali ... hanya untuk dipermalukan.
Mengerikan. Bagaimana mungkin Nai bisa lupa kejadian buruk itu?
Vera, bisa dibilang, anak orang kaya. Rumahnya besar dan memiliki kolam renang. Ketika itu, satu angkatan diundang. Rumah semarak dengan kehadiran anak-anak dengan baju pesta mereka. Satu hal itu membuat Nai risi, karena ia hanya berpakaian seadanya—yang sebenarnya, ia sudah menganggap itu sebagai bajunya yang terbagus. Dan yang paling membuatnya ketakutan: para orang tua.
Mana Nai tahu kalau orang tua juga diundang?
Ia sudah hampir berbalik dan pulang dengan meninggalkan kado di depan pintu ketika suara melengking memanggilnya. Aduh, terlambat. Nai tidak bisa mengelak karena Vera, dalam balutan gaun kuning cerah dengan mahkota kecil tersemat di kepala, rambut yang tergelung indah bertabur hiasan berkilau, menariknya ... ke panggung.
Apa pun yang terjadi malam itu, yang jelas, Nai demam tinggi sampai sepekan. Ia meracau dan tidak mau membahas sekolah sama sekali. Ia tak mau bertemu Vera. Ia takut. Malam itu, pemicu utama traumanya terbentuk. Ketika Vera berseru lantang bahwa Nai adalah tamu kehormatan karena teman dekatnya ketika kelas 7 dulu.
Nai pikir, sudah cukup malam itu ia kehilangan muka, karena Vera terang-terangan berkomentar dengan nada menyindir, kenapa kamu pakai baju kayak gitu? Enggak hormat ke yang punya acara ya? Padahal, kamu tamu kehormatan. Enggak lihat undanganmu? Ah, kamu enggak ada yang belikan baju?
Nai pikir, penderitaannya usai ketika Vera mengangkat kado dari Nai dan, dengan nada melebih-lebihkan, berkata bahwa kado itu pasti spesial. Nai sudah menunduk dalam ketika Vera menjerit kecewa karena isinya hanya dua buku tulis murahan. Lagi-lagi, ia dicap tidak menghormati undangan.
"Ah, aku lupa, maaf. Nai 'kan enggak punya orang tua ...!"
Sungguh, demi apa pun, Nai tidak bermaksud begitu, tetapi tubuhnya bergerak sendiri. Air matanya sudah mengalir deras, ia mendorong Vera kuat-kuat sampai gadis itu jatuh terduduk di atas panggung ... dan menangis.
Semuanya terjadi cepat.
Kilasan akan pemandangan paling mengerikan yang pernah Nai lihat; ibunya yang meregang nyawa dalam posisi tidak semestinya. Ia juga ingat bagaimana sang ayah berbalik dan tidak pernah menatapnya lagi; hilang bagai ditelan bumi. Nai sendirian. Nai sebatang kara. Kali ini, Nai sudah cukup bersyukur karena hidup disokong panti asuhan yang masih dalam tahap pengembangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Maaf ....
Spiritual[Sekuel Teman Sejati] [Serial Jati Diri #3] Ketika Nai merasa sudah bisa menata ulang kehidupan suramnya, ia malah dipertemukan dengan seseorang yang tidak ia sangka. Vera. Orang yang dulu merundungnya, yang menancapkan luka dan trauma mendalam. Sud...