9. Curhat

9 1 0
                                    

"Kamu yang namanya Nairella?"

Hanya dari satu kalimat itu saja, Nai sudah tahu kalau ia berada dalam ancaman. Ia mereguk ludah, hatinya mulai kebat-kebit.

Lah, mampuslah aku. Ini pasti ulah Vera.

Namun, Nai tidak mau menunduk. Ia sudah pendek, cukup menatap lurus saja biasanya juga tidak sampai mata lawan bicaranya. Ia juga malas mendongak, jadi ia menatap kerah dua orang di hadapannya. "Nairella? Iya, itu aku."

Mau bagaimanapun Nai sudah belajar percaya diri dengan berguru ke Tantra, ia masih gemetar jika harus berhadapan langsung begini.

Terdengar suara dengusan, disambung tawa terkikik. Nai jadi keki, meski rasa takut masih menyelimutinya. "Kenapa? Ada urusan apa? Butuh sesuatu?"

"Ah, enggak." Salah satunya menjawab sambil melambaikan tangan. "Sayang banget. Padahal kamu sudah ditunggu, tapi enggak dateng."

"Apaan?" Nai refleks menengadah, menatap lawan bicaranya. "Tunggu, kalian siapa?"

"Kami? Oh ... cuma tamu undangan terpilih. You get it? Sekarang, permisi—"

"Kalian siapa?"

Nai, juga dua orang tadi, melonjak. Sesosok perempuan muncul di samping Nai dan memegang bahunya. Nai kenal gaya itu. Radya.

"Kamu yang siapa?" Salah satu anak tadi memicing.

"Oh, aku kenal kalian." Radya mengangkat bahu. "Gia, anak basket, kadang cerita tentang beberapa anak sok centil di kelasnya. Yona dan Jeki, ya?"

Dua anak perempuan tadi, Yona yang berambut panjang lurus digerai, dan Jacqueline—biasa dipanggil Jeki—yang berambut ikal, langsung mendelik, sementara Radya hanya membuang napas dan tersenyum miring. "Sok iye bat lu berdua."

"Apa maksudmu?" Suara Jeki mulai meninggi. "Kamu enggak usah sok begitu!"

"Nai, mereka siapa, sih?" Radya melirik Nai.

Nai mengangkat bahu. "Aku mau balik ke kelas." Ia mengambil satu langkah ke samping dan hendak berjalan keluar kantin, tetapi Yona mengadang. Tangan gadis itu mengacung.

"Kamu akan tahu akibatnya, Nairella. Tamu undangan enggak tahu diri." Setelahnya, Yona langsung menggaet lengan Jeki dan berlalu.

Nai mematung. Vera ini ... benar-benar. Undangan siapa lagi kalau bukan Vera? Nai menggeleng. Ia tentu tidak mau datang meski diundang. Tidak peduli kalau menghadiri undangan merupakan kewajiban muslim atas muslim lainnya. Nai tidak menganggap Vera adalah orang yang pantas untuk itu!

Nai buru-buru pergi dari kantin, ke arah kelas.

"Nai."

Nai melonjak karena tiba-tiba Radya sudah muncul di sisinya sambil berjalan santai, padahal Nai sudah berlari. "Ya?"

"Kamu abis ngapain?"

Nai ternganga.

Radya berdeham. "Maksudnya, kamu kok bisa terlibat sama makhluk sok iye itu? Yang kutau, mereka cewek kegatelan, alias ... rempongnya kalau ada yang deket-deket cowok incaran mereka! Kamu emang dekat sama cowok, Nai?"

"Hah? Mana ada?" Nai sampai berjingkat. "Kamu kok ngomongnya ragu gitu, Rad?"

"Soalnya, cowok incaran mereka tuh anak basket!" Radya tiba-tiba meradang. "Sebel banget. Masa ya aku cuma ngomong ke kapten tim laki, besoknya dikirimin salam lewat Gia!"

Nai ingin menahan tawa. Radya memang meledak-ledak, tetapi mana pernah Nai melihat Radya emosi karena urusan begini.

"Tapi kocak juga, sih. Itu berarti mereka enggak melihat mukaku, atau enggak kenal siapa aku. Lha tadi nanya, kamu yang siapa?" Radya mulai santai. Ia melipat tangannya. "Mereka ngapainin kamu?"

Maaf ....Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang