Aku akan mengajarimu biar jadi tahu diri, Nairella.
"Dengan cara apa?" Nai masih mencoba menantang. "Aku kurang tahu diri gimana lagi, Vera?"
"Kamu enggak datang ke undanganku, lo?" Vera mengernyit. "Dan kamu masih menganggap itu sopan?"
Nai mengerjap beberapa kali. Ingatan buruk kembali berseliweran. Nai menggeleng. Tidak! Kali ini, ia tidak akan kalah. "Dulu, kamu memperlakukanku dengan enggak sopan. Apa yang menjamin kamu enggak bakal kayak begitu lagi?"
"Oh? Enggak ada, sih." Vera bersedekap. "Tapi, meski kamu harusnya datang ke undanganku ... kamu enggak seharusnya ada di sini!"
Mata Nai juling menatap ujung jari Vera yang menunjuknya. "Ke-kenapa?"
"Aku enggak mau melihatmu lagi, Nai! Kenapa kamu ada di sekolah ini? Padahal, ini jauh dari SMP ...."
"SMP jauh dari rumahku, dan sekolah ini dekat. Kalau kamu enggak tahu, biar kukasih tahu: ada yang namanya zonasi." Nai mengernyit. Ia mulai gentar.
"Oh, rumahmu itu?" Vera menurunkan tangannya. "Aku sudah punya alamatnya. Mungkin, kamu bakal menemukan kejutan di sana, suatu hari nanti ...."
"Kamu mau ngapain?!" Nai bersiaga.
"Lo, bukannya kamu ngasih undangan? Ya, aku bakal datang, dong. Enggak kayak kamu yang enggak tahu diri." Vera melambai. Tatapannya sinis.
Undangan? Mana ada aku kasih undangan?!
"Ah, ngomong-ngomong kontrak, aku sebenarnya enggak mau menganggapmu sebagai pelayan lagi. Jadi, lupakan saja ... kecuali, kalau aku minta tolong padamu." Vera kembali menatap Nai dingin. "Sekarang, tolong ... menurut saja dan jangan banyak lagak!"
Nai terkesiap. Yona dan Jeki tiba-tiba maju. Tasnya ... tasnya diambil! Tentu saja ia langsung melawan.
"Hei, kan aku sudah bilang, menurut saja." Vera menerima tas Nai dari Jeki.
"Kamu bilang, hidupku bakal tenang kalau aku tanda tangan, dulu!" Nai berkelit, tetapi dua anak yang lebih tinggi darinya sudah menahan lengan kanan-kirinya. "Kalau memang sungguhan bakal tenang, aku enggak bakal ribut. Tapi, kamu ... emang sengaja bikin ulah, ya?!"
"Nai, sejak kapan kamu jadi berani?" Vera mengangkat dagunya. "Karena punya teman, kamu jadi besar kepala? Karena punya pelindung? Karena ada yang menganggapmu setara?"
"Karena aku enggak bakal pernah jadi lebih rendah dari kalian," gumam Nai. Ia memang agak takut, tetapi masa bodohlah. "Orang yang menjilat ludah sendiri—ukh!"
Nai terkesiap. Ia ... kena tampar. Setelah bertahun-tahun ia selalu dirundung, tidak pernah ada yang sungguhan main fisik. Ini adalah pertama kalinya, dan Nai mendadak diliputi ketakutan luar biasa.
Aku lemah. Padahal teman-temanku kuat. Kenapa aku lemah? Kenapa ... aku harus bergantung ke mereka?
Ucapan Vera kemudian membuat Nai makin terperangah.
"Pegang kuncinya, Jek? Ayo kita buat dia tahu diri. Habis ini, aku akan ke pantinya."
"Kalian bawa aku ke mana?!" Nai berontak ketika Yona dan Jeki menyeretnya menjauh. Matanya tambah panas melihat Vera melemparkan tas Nai ke tempat sampah begitu saja—tempat sampah tertutup yang tiap sore akan dibuang ke penampungan! "Hei, lepas!"
Dua orang itu tak banyak bicara, sampai mereka mendorong Nai ke sebuah ruangan di belakang koperasi yang sudah tutup. Nai berkelit, tetapi kalah tenaga. Tiba-tiba saja pintu di belakangnya tertutup, berikut suara kunci berputar. Pandangan Nai buram. Ia hanya bisa melihat tumpukan kardus, rak-rak besi dan kayu, juga sawang di sudut ruangan gelap. Ia meraba saku, ah, ponselnya ada di tas.
Nai terkurung.
Padahal, Nai sudah merasa jauh lebih baik. Padahal, Nai yakin kehidupannya sudah berubah. Padahal ... Nai punya teman, tetapi mengapa ia merasa begitu sendirian?
Apa yang akan dilakukan Vera? Apa dia beneran ke tempatku? Buat apa? Nadia ... gimana? Dia sudah pulang hari ini, 'kan? Apa dia akan baik-baik saja?
Barulah Nai merasa begitu lemas. Bisa dibilang, ia baru sembuh demam kemarin, dan kini suhu tubuhnya naik lagi. Matanya terasa panas, entah karena meriang atau air mata yang sudah mengumpul sejak tadi. Ia menggelosor pelan, jatuh terduduk, lalu meringkuk di depan pintu.
Aku ... gagal ....
****
Vera dan dua pengikutnya berpapasan dengan Faya ketika keluar dari lingkungan kantin.
"Kok aku ditinggal?" Faya manyun. "Tadi ngajak ketemuan di belakang, tapi aku udah bilang, aku ada ekskur!"
"Makanya, jadi orang gabut," sahut Jeki, disambut cekikik Yona.
"Lagian, ngapain sih di belakang? Sus amat." Faya geleng-geleng kepala. "Belum lagi kalau ngajak Bang Macho di sana—"
"Fay!" Jeki dan Yona kompak berseru keki.
Vera melengos dan menatap ke arah lapangan, tempat anak-anak ekstrakurikuler basket berada. Sekarang sudah pukul lima, sebentar lagi semuanya akan diharuskan pulang. Biasanya, ada ekstrakurikuler sampai malam, bahka menginap. Namun, karena minggu depan ujian, jam kegiatan dibatasi dengan lebih galak.
Mata Vera menyipit. Ia melihat seseorang, yang ia ketahui adalah "teman" Nai. Tampak santai dan sedang mengobrol dengan kakak kelas laki-laki di sana. Sebenarnya, mereka tidak hanya berdua, alias sedang beramai-ramai. Namun, Vera teringat cerita Yona dan Jeki, juga Gia yang menyampaikan sambil terkikik.
"Kemarin kalian menyampaikan salam ke cewek yang ngobrol sama Bang Macho? Katanya, salam balik, dan maju kalau berani. Jangan lewat aku."
Cewek itu, temannya Nai. Vera tak tahu siapa namanya. Ia menyenggol Faya. "Fay, kamu tahu siapa cewek yang kelas sepuluh itu?" Ia terang-terangan menunjuk ke lapangan.
"Oh, kapten tim basket yang cewek?"
"Kapten?" Vera mengernyit. "Kelas sepuluh?"
"Ya, awal tahun nanti ada kompetisi, dan dia paling menonjol dari semuanya. Eiii, aku tahu dari Gia lo ya. Namanya Radya."
Radya. Vera membatin.
"Vera, kamu jadi pergi?" tanya Jeki. "Kita semua ikut?"
"Ikut, tapi kalian di mobil aja. Aku yang turun." Vera tersenyum miring. "Karena, cuma aku yang OSIS di sini." Ia kembali melangkah.
"Hei, mau ke mana?" Faya buru-buru mengadang. "Iya, aku emang sok sibuk, tapi kok demen banget ninggalin, sih?"
"Ya karena kamu sibuk!" Vera menunjuk Faya. "Kamu juga enggak bisa diajak kerja sama!"
"Apa sih, masih ngambek?" Faya membalas ketus. "Wes aku kirimin paket request-mu itu!"
Vera mendecih. "Ya, ya, aku maafin. Udah, sana kamu sok sibuk lagi. Aku ada urusan."
"Vera ngambek karena kamu enggak bantuin dateng buat bikin pertunjukan, terus tambah sebel lagi gara-gara lakon utamanya enggak dateng—eh!" Jeki langsung bungkam karena Vera memelototinya.
"Oh, pantesan dia minta kado mahal-mahal ke aku. Taunya emang mau aku datang, ya." Faya mengangguk, seolah memahami sesuatu. "Ya sudahlah, sana, urus urusan kalian. Aku mau jadi anak rajin saja."
Vera mendecak. Ingin rasanya ia hampiri Radya di lapangan, tetapi anak-anak basket terlalu ramai. Bukan hanya Vera, Yona dan Jeki juga memandangi lapangan.
"Yuk." Vera melangkah cepat ke arah gerbang, tempat mobilnya sudah menunggu. Jeki dan Yona buru-buru menyusul. Vera segera memasang tujuan pada aplikasi maps dan meminta sang sopir segera ke sana.
"Rencanamu apa, Ver?" tanya Yona.
"Pokoknya ada." Vera menepuk tasnya. "Semua sudah kusiapkan, tinggal gimana persuasinya nanti. Pokoknya, biar Nai tahu akibat dari meremehkanku."
(Bersambung)
****
Tahukah kalian, aku buntu ide
Jkt, 18/4/24
zzztare
KAMU SEDANG MEMBACA
Maaf ....
Spiritual[Sekuel Teman Sejati] [Serial Jati Diri #3] Ketika Nai merasa sudah bisa menata ulang kehidupan suramnya, ia malah dipertemukan dengan seseorang yang tidak ia sangka. Vera. Orang yang dulu merundungnya, yang menancapkan luka dan trauma mendalam. Sud...