11. Guncangan

3 1 0
                                    

Sebenarnya, hari itu, Husna ada agenda rapat sore hari. Namun, demi mendengar permintaan Nai tadi, ia pun memilih untuk izin terlambat, tanpa memberikan alasan jelas. Husna ingin mengantar Nai, paling tidak, sampai rumahnya. Ia merasa ... buruk. Sopirnya tidak akan keberatan mengantarnya kembali ke sekolah, bukan?

"Maaf," gumam Nai berkali-kali. "Aku enggak bisa nolak perhatianmu. Kalau kamu memaksa, aku menurut. Udah pernah kejadian hal buruk pas kamu—"

"Nai, cukup!" Husna sampai menghardik tanpa sadar. "Kamu enggak stabil akhir-akhir ini. Aku takut beneran, tahu?"

Nai tak menjawab lagi. Ia sempat melirik satu arah, Husna mengikutinya.

Begitu rupanya, pikir Husna. Vera selalu menunggui jam Nai pulang. Kalau begitu, aku juga.

Sepanjang jalan pun Nai diam, hanya merenung, menatap kosong jendela mobil. Husna tak ingin mengganggunya. Hanya ada deru mobil dan AC yang mengisi suasana.

"Non?"

Nai tersentak. Pak Aan, sopirnya Husna, tiba-tiba mengajaknya bicara. "Y-ya, Pak?"

"Kenapa tempat Non ramai?"

Barulah Nai menyadari mobil yang masih berhenti di depan gerbang, tetapi keadaan di halaman paving block tampak kacau. Sesuatu di sana membuat jantung Nai berdentam begitu keras. Dingin menjalar ke ujung-ujung jemarinya.

Ambulans.

Nai sudah hampir membuka pintu dan meloncat turun kalau saja Husna tidak menahan, karena Pak Aan sudah kembali melajukan mobil ke dalam halaman. Setelah mobil benar-benar terparkir, barulah Nai turun dan dengan cepat menuju bangunan di sana. "Assalamualaikum, Mbak Ulya! Mbak Rianti! Bu Meira!"

"Nai!" Beberapa orang yang ada di ruang tamu menoleh cepat.

"Maaf, kami harus pergi cepat." Bu Meira yang berperawakan tegas dengan kerudung hijau panjangnya tampak panik. "Nai, kamu yang paling dekat dengan Nadia, 'kan?"

"A-apa? Kenapa?" Nai gelagapan.

"Ikut. Kami menunggumu dan sudah hampir pergi tanpamu."

"Ke mana ...?"

Bu Meira menatap Nai. Tatapannya kini sendu.

"Nadia hampir mati."

****

Nai sudah meminta Husna untuk kembali ke sekolah saja. Ia hanya berkata bahwa ada situasi darurat dan itu di luar kuasa Husna.

Semuanya masih gelap bagi Nai. Ia ikut terombang-ambing di dalam ambulans, bersama Bu Meira. Ia melihat Nadia. Namun, Nai tidak tahu apa-apa. Yang ia ketahui hanya Nadia sedang tak sadarkan diri. Begitu tiba di rumah sakit, Nadia langsung dilarikan ke IGD. Nai hanya terbengong-bengong ketika tiba-tiba berkas menumpuk di tangannya dan ia tidak paham apa-apa. Nai tidak paham rumah sakit. Nai menghindari rumah sakit, meski sebenarnya ia juga tidak pernah berurusan langsung.

Entahlah. Perasaan Nai amat kacau. Firasatnya buruk.

Ketika akhirnya Bu Meira muncul dan duduk di sebelah Nai, barulah Nai berani bicara. "Bu, apa yang terjadi sebenarnya ...?"

"Nadia ...." Suara Bu Meira gemetar. "Nai. Apa Ibu sebenarnya gagal ...?"

"Eh?" Nai sungguh tidak bisa menampung curhatan orang lain sekarang. Ia sendiri jenuh. Penuh. Namun, apa ia bisa melarang?

"Ibu mungkin kurang memperhatikan kalian semua, ya ...." Bu Meira menutupi wajah. "Kamu ... kamu tampak bahagia sekali mengurus adik-adikmu. Ibu sangat bersyukur punya kamu, dan melihatmu seperti itu ... setelah kepergian suami Ibu ...."

Maaf ....Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang