4. Topi

8 2 0
                                    

"... Kontrak?"

Pada mulanya, Nai hanya melongo seperti orang bodoh. Hingga kemudian, ia memelotot. Mulutnya kelu seketika. Ingatan buruk berseliweran, ia kaku di tempat.

Pelayan.

Tunggu, tunggu! Tak bisakah aku ... menolaknya dengan tegas?

Tidak semudah itu. Ingatan traumatis membuat otak Nai seolah kehilangan fungsi.

"Kamu masih tinggal di panti asuhan, Nai? Atau ... sudah punya keluarga?" Mata Vera menyipit. "Kalau teman, enggak usah bilang. Aku tahu."

"A-aku ... masih ...."

"Sebenarnya, benda ini kekanak-kanakan sekali." Vera mengamati kertas lusuh itu dengan pandangan merendahkan. "Aku ingin melupakannya, tapi ...."

"Lupakan saja," bisik Nai. "Enggak ada untungnya buat siapa pun."

"Apa kamu bilang?"

Nai tersentak. Ia membelalak. Satu kalimat tanya bernada tajam itu berhasil menaklukkannya.

"Ya, aku memang mau melupakannya ... dan enggak peduli soal ini, tahu!" Vera mengentakkan kaki. "Sampai aku melihatmu lagi ... dan aku ingat semuanya!"

"Terus, kenapa kalau kamu ingat?" Nai masih mencoba menantang.

"Aku muak denganmu!" Vera mencengkeram kertas lusuh di tangannya sampai lecek, meski kembali ia rapikan. "Atas dasar apa kamu berhak hidup normal? Masuk sekolah negeri unggulan pula!"

"Atas dasar apa juga aku enggak boleh?" Nai dilema. Ia antara marah, kesal, juga takut luar biasa. "Aku toh enggak ganggu hidupmu!"

"Kamu ... berani, ya, sekarang." Vera menatap Nai dingin. "Mentang-mentang punya teman? Huh, teman atau teman? Kamu masih sendirian, Nai. Enggak ada yang mau membelamu!"

"Ada!"

"Mana?" Vera mengangkat dagunya angkuh.

"Kamu sendiri? Kamu sendirian, enggak usah belagu!"

"Ah ... ya. Sudah kuduga, kalau aku hanya muncul sendiri, kamu akan berlagak begitu." Pandangan Vera berubah sayu. "Haruskah kupanggil teman-temanku? Oh, Faya ... ke sini, dong."

Nai tersentak ketika seorang perempuan berjaket dan berambut panjang muncul. Lagaknya tak peduli. Ia mengamati Nai dari ujung kepala sampai ujung kaki. Keruan saja Nai mengkeret.

"Kamu manggil aku cuma buat menghadapi anak ini?" tanya sosok yang dipanggil Faya itu. "Kamu sepayah itu, kah?"

Nai ingin tertawa melihat ekspresi Vera yang tampak syok dengan ucapan Faya, tetapi ia tahan. Entah apa yang akan terjadi jika ia sampai kelepasan.

"Ya, aku payah, karena dia sok jago bawa-bawa teman," ucap Vera akhirnya. "Oh, ya, lupa ngenalin. Dia yang ke kelas kita kemarin, Fay."

"Ugh ... Vera? Kamu kenapa?" Faya malah menatap Vera heran, lalu ganti melihat Nai. Tangannya terulur. "Hai, kemarin aku lihat kamu kok, cuma belum kenalan bener aja. Aku Faya. Kamu siapa?"

Nai membalas uluran tangan Faya. "Nairella, Nai." Bisa ia rasakan tatapan murka Vera dari sampingnya.

"Fay! Siapa yang suruh kamu kenalan?!"

"Ya, suka-suka aku dong?" balas Faya langsung. "Kamu siapa, merasa berhak ngatur aku?"

Vera tiba-tiba menggebrak meja. Nai sampai melonjak.

"Bodo amat. Aku pulang." Vera langsung mencangklong tasnya dan berlalu, masih meremas kertas lusuh tadi.

Tinggallah dua orang di sana.

Maaf ....Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang