11

504 36 18
                                    

Marsha dan Shinta sedang berjalan-jalan di area pantai Ancol. Sore ini, suasana sangat mendukung untuk berjalan di sekitaran pantai. Memandangi laut lepas, memandangi kota buatan. Sesekali mengobrol, namun karena gugup Shinta tak bisa banyak berkata.

"Kita makan yuk." Ajak Shinta.

Mereka pun menuju jet ski cafe,

Mereka pun menuju jet ski cafe,

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Pemandangannya bagus." Marsha tersenyum menikmati sunset. Menikmati lembayung senja.

"Marsha." Panggil Shinta. "Lihat lah ada surat botol." Shinta menunjuk botol yang tergantung di dekat dermaga yang terikat pada tali sekitar penahan dermaga.

"Bisakah kamu mengambilnya?" Pinta  Shinta.

Marsha pun sedikit berjongkok untuk mengambil botol tersebut. Terlihat kertas didalamnya.

 Terlihat kertas didalamnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

To: Marsha Lenathea

"Untuk aku?" Marsha mengerutkan kening.

Shinta tersenyum, "coba kamu buka Sha."

Marsha pun membuka tutup botolnya. Mengambil kertas yang ada di dalamnya.

Bahagia itu, bila Kamu dan aku telah menjadi kita
Menjadi teman memang menyenangkan,
Namun lebih mengesankan menjadi teman hati.
Tak ada keraguan, untuk ungkapkan cinta,
pada seseorang di hati.
Iya. Kamu. Marsha lenathea.

Marsha menatap bingung pada Shinta, seolah tak mengerti, padahal dia sangat mengerti. Shinta tersenyum.

Shinta menggenggam kedua jemari Marsha, menatapnya lekat. Panorama senja menemani mereka,
"Marsha, ku beranikan diri mengungkapkan resah yang kurasa. Resah yang selama ini ku pendam. Resah yang semakin lama semakin menggebu, meminta di keluarkan. Resah yang  hanya bisa disimpan hati. Resah akan cinta yang yang tak mampu tertuang. Resah karena takut kehilanag, jika aku tak mampu menerima kenyataan. Resah karena cinta. Cinta karena kamu."

"Marsha aku mencintaimu." Ucap Shinta tanpa ragu.

Mata Marsha berkaca, tak pernah ia sangka bahwa seseorang yang disukainya sedari dulu ternyata memiliki perasaan yang sama. Tak pernah dia sangka, bahkan Shinta si panik ini mampu lebih dulu mengungkapnya. Dengan berani dan romantis mengungkapkan cinta.

Marsha tersenyum, "aku, juga merasakan yang sama. Aku cinta sama kamu Shinta." Jawab Marsha sembari memeluk Shinta.

"Berarti hari ini kita resmi kan?" Shinta bertanya meyakinkan. "Kita resmi pacaran kan."

"Yaa, sekarang aku dan kamu jadi satu. Shinta dan Marsha." Tembal Marsha.

"Hah." Tubuh Shinta melemas. Duduk di bawah tentunya membuat Marsha panik.

"Kamu gak apa-apa?" Marsha memandangi Shinta dengan penuh kekhawatiran.

"Aku gak apa-apa." Shinta tersenyum.

"Yakin?"

Shinta mengangguk. "aku terlalu tegang saat mengatakannya padamu, dan rasanya lega saat kamu memiliki perasaan yang sama." Shinta memegangi tangan Marsha. "Terimakasih."

Seseorang berpakaian hitam, kupluk Hoodie nya suskses menyembunyikan  wajahnya. Mematikan panggilan telponnya.

Naomi POV

Sakit.
Itulah yang kini kurasakan. Bahkan kini aku tak mampu mengangkat wajahku, air mata tentunya mengalir dari celah mataku.

"Ka Naomi." Seruan itu membuatku buru-buru menghapus air mataku. Aku tersenyum melihatnya.

"Aku benar-benar berterima kasih sama kakak telah membantuku, bahkan telah memberikan ide yang romantis." Ucapnya.

Aku hanya tersenyum. Bahagia? Tidak. Hanya untuk menutupi lukaku.

"Terimakasih telah membantuku. Kalau bukan karena kakak aku sudah panik dan tidak akan lancar berkata di depan Marsha." Ucapnya  seraya melepas wireless earphonenya.

"Aku juga berterima kasih sekali kakak meyakinkanku akan semuanya, apalagi tentang perasaan Marsha."

Bodoh. Bagaimana aku bisa membantu sainganku?

Ya Minggu lalu saat kita bertemu di Theater. Shinta meminta bantuan ku untuk acara katakan cinta ini. Bukan menolak, bodohnya aku, justru menerima permintaannya.

Kata-kata yang harusnya dengan percaya diri ku ucapkan justru orang lain mewakilinya. Momen romantis yang pernah aku khayalkan, ternyata aku hanya membuat skenario untuk orang lain.

Kalau saja itu aku. Aku akan percaya diri berkata cinta. Sayang dihatimu bukan aku.

Aku berdiri dari duduk. "Selamat ya, aku senang kalau kalian senang. Sekarang kamu tinggal jaga segala hal tentang Marsha, terutama perasaannya."

Yaa, jika kamu menyakiti perasaan Marsha. Aku takkan tinggal diam. Bahkan dengan lancang aku akan merebutnya darimu.

"Aku pergi dulu. Biar kalian ga merasa terganggu." Aku hendak pergi. "Jangan kasih tau Marsha tentang semua ini, biar ini menjadi rahasia kita." Shinta mengangguk mengerti.

"Sekali lagi terimakasih Ka"

Aku pun pergi. Apa aku benar benar harus pergi dari kehidupan Marsha??

Helaan nafas kasarku menemani setiap langkahku.

Sesak. Aku tak tau ini akan semenyakitkan dan ini.

Aku harus menerima kenyataan ini. Pada dasarnya, diungkapkan dengan cara apapun Marsha akan tetap menerima Shinta. Bahakan itu hanya tinggal waktu, karena mungkin Marsha yang akan lebih dulu berkata cinta.

Aku jadi ingat betapa lantangnya dia jika membicarakan cinta.  Apapun hasilnya, aku hanya akan pecundang.

Tapi setidaknya dengan ini, aku bisa mengungkapkan cara aku mencintaimu walaupun di wakili oleh orang lain. Walaupun bukan berasal dari bibirku. Tapi kata- kata gombal itu tulus dari hatiku.

Mungkin hanya suara burung yang kau dengar, walaupun burung itu tak pernah terlihat. Hanya desir angin yang kau rasakan, tanpa pernah melihat wujud angin. Hanya doa yang mampu ku getarkan, Walaupun ku tak pernah melihatku. Mungkin aku akan mencintaimu dengan cara seperti itu. Mencintaimu dalam diam. Mencintaimu berwujud doa. Harapan kebahagiaanmu.









End?
Tbc?

Salah Sasaran (?)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang