Semua Tak Sama : Animo ketika kenyataan tak selaras dengan harap.
*****
Direct-Love?
Bab 32
*****
Bingung, kacau, dan tidak tahu apa yang harus dia perbuat, itulah yang sedang Jati rasakan sekarang. Hari bahagia yang sudah dia persiapkan dalam tiga hari ini, mendadak terasa hambar begitu dia mendengar cerita yang dulu sangat ingin ia dengar dari Aruna. Untuk pertama kali, Jati tidak bisa mengendalikan situasi yang sedang dia alami. Ia hanya terdiam, lama, dengan pandangan kosong, tidak tahu bagaimana dia harus bersikap pada Aruna setelah ini.Aruna berani mengatakan kejujuran, sekalipun akan menyulitkannya.
Aruna menceritakan satu hal yang paling ia cari dan ia dengar.
Aruna cinta pertama sekaligus wanita yang selama ini dia inginkan.
Tetapi, kenapa hatinya masih saja terasa sakit? Ribuan tanya masih bersarang dalam benak Jati, tanpa dia bisa mengungkapkan dan menemukan jawabannya.
Apa yang akan dia lakukan setelah ini? Kenapa saat itu Aruna harus meminta Arjuna untuk menemuinya? Siapa yang Arjuna hubungi terakhir kali? Benarkah Aruna? Benarkah sahabatnya itu menjadi lalai karena gadis yang ada disampingnya sekarang? Apa yang sebenarnya Arjuna bicarakan dengan Toni Barata? Lantas kenapa jika Aruna menemui keluarga Arjuna, Jati harus ada bersamanya? Siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas kematian Arjuna?
Faktanya, Jati mendadak ingin membutuhkan waktu sendiri. Ia perlu mencerna setiap kata yang Aruna lontarkan tadi agar dia benar-benar bisa memahami. Ia perlu waktu untuk bisa menerima semuanya.
Kenapa harus secepat ini kebahagiaannya musnah? Apa memang sedari awal ia dan Aruna hanya bersinggungan tetapi tidak berada dalam garis yang sama?
"Mas Jati..."
Bahkan, jantung Jati masih saja berdesir ketika Aruna memanggilnya seperti ini. Menghela napas dalam-dalam, Jati menoleh pada Aruna yang sedang menatapnya penuh harap, seakan Jati adalah harapan terakhirnya.
"Ayo pulang."
Demi kewarasannya, dan kenyamanan Aruna karena dia terlalu bingung dengan keadaan yang menghantamnya sekarang, Jati memilih mengajak Aruna pulang. Melewatkan senja dan matahari terbenam meskipun Jati telah mempersiapkan berbagai hal untuk membuat Aruna terkesan.
Seharusnya, ketika sepasang tangan Aruna melingkar dan bertaut di sepanjang pinggangnya, hati Jati terasa hangat seperti sebelumnya. Namun, nyatanya Jati merasakan dadanya sesak. Seolah ada beban baru yang membuatnya bimbang, setelah ini... kemanakah perasaannya akan berputar? Atau akan tetap menetap?
Jika perjalanan pulang seharusnya terasa lebih cepat, tetapi yang Jati rasakan adalah sebaliknya. Solo-Tawangmangu bisa ditempuh satu jam menggunakan motor, satu jam terasa seperti lima jam bagi Jati sekarang. Dan ketika motor yang mereka tumpangi memasuki pekarangan rumah, Jati tak berkata banyak pada Aruna.
"Istirahatlah."
Hanya itu yang bisa Jati katakan. Lidahnya terlalu kelu untuk mengatakan banyak hal, sekalipun sebagian hatinya ingin. Sedangkan Aruna menatapnya kebingungan, sekalipun gadis itu akhirnya menurut, memasuki rumah lama Jati, tanpa membalas sepatah kata.
Berjalan gontai menuju rumah kakaknya, Jati merasakan hatinya berdenyut nyeri, membayangkan kebahagiaan yang berhasil dia susun dengan banyak perjuangan, runtuh sekejap karena kenyataan.
"Kusut banget sih, wajah adiknya Mbak Nana? Katanya mau lamar cewek, ditolak memang?"
Jati merebahkan diri di sofa tamu saat Nana sedang membereskan mainan Kezia. Kakaknya itu masih mengenakan seragam dinasnya, sepertinya baru saja pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Direct-Love?
Literatura KobiecaSejak orang-orang terkasihnya pergi meninggalkannya, Aruna merasa hatinya tak lagi ada. Ketika Ayahnya berubah dan harus bertanggung jawab atas seluruh perbuatannya, Aruna merasa tak ada artinya lagi jika hidup di dunia. Belum lagi, pemberitaan tent...