Tanpa Syarat : Kesungguhan dalam bentuk cinta, tentang pengorbanan yang nyata.
*****
Direct-Love?
Bab 40
*****Setiap orang pernah merasakan yang namanya dikecewakan, disakiti, seolah dunia tak sekalipun berpihak padanya. Orang bilang, wujud rasa itu dinamakan dengan luka hati. Luka berkaitan dengan yang terlihat dan berbekas. Namun, pada dasarnya, hati memiliki ruang untuk mengakar. Kecewa adalah pupuk dari bentuk kepahitan, sedangkan mengampuni seolah menjadi hama karena begitu sulit untuk dilakukan.
Setidaknya, begitulah yang Aruna rasakan ketika berulang kali dikecewakan. Seolah kehilangan harapan, Aruna juga kehilangan kepercayaan. Aruna pikir, segalanya akan menjadi lebih mudah ketika dia pergi untuk menenangkan diri, membuka lembar baru, seolah yang terjadi sebelumnya hanyalah mimpi buruk.
Lalu, kemunculan Jati kembali menampar telak Aruna, sejauh apapun berlari sumber lukanya akan selalu mengikuti. Mengasingkan diri dengan mencoba menerima keadaan yang telah terjadi, nyatanya tak cukup untuk memangkas pahit hatinya yang telanjur mengakar. Melihat Jati hanya akan membuatnya menjadi manusia paling tersakiti di dunia.
Jati adalah definisi manusia bebal. Pria itu dengan tidak tahu malu, selalu muncul di hadapan Aruna, meminta waktunya untuk menjelaskan, dan berulang kali mengucap maaf. Namun, bagi Aruna sekarang, hal itu seolah hanya omong kosong karena Aruna terlalu sulit untuk bisa percaya lagi.
Perasaannya pada laki-laki itu mungkin tidak bisa berubah dalam sekejap, namun rasa tersakiti dan logika yang selalu bercekokol diotaknya membuatnya merasakan cinta dan benci dalam waktu yang sama. Dia tak bisa melupakan Jati, sekalipun. Meski melakukan banyak cara supaya kenangan bersama pria itu terlupakan.
Sampai, Aruna lupa jika perkataan adalah doa. Rasa bencinya akan memuncak ketika melihat Jati di depan matanya. Kegigihan pria itu membuat Aruna muak. Seolah apa yang dilakukannya untuk melupakan Jati adalah sebuah hal yang sia-sia. Seperti dejavu, untuk kesekian kali, Aruna harus menyaksikan kejadian mengerikan tepat di depan matanya. Semua berjalan begitu cepat, perdebatannya dengan Jati, meninggalkan laki-laki itu, berlari tak tentu arah, hingga dia merasakan seseorang mendorong punggungnya keras, hingga dia terjatuh di tepi jalan. Ketika berbalik arah, yang Aruna dapatkan adalah penyesalan. Jati telah berbaring mengenaskan dengan darah disekujur tubuhnya.
Kenapa?
Kenapa laki-laki itu menyelamatkannya?
Kenapa Jati mau merelakan nyawanya secara cuma-cuma untuknya?
Berseru panik, bersamaan dengan tangis Aruna yang pecah, Jati masih menyempatkan diri untuk berusaha berbicara padanya. Pria itu seolah tidak peduli dengan kondisinya sendiri. Dan setiap kalimat yang keluar dari mulut Jati, membuat Aruna tidak bisa berpikir. Segalanya masih terlalu sulit untuk Aruna percayai. Lebih dari pada itu, hati Aruna terasa sangat sakit ketika melihat Jati sekarat. Merasa sebenci apapun sebelumnya, Aruna tidak ingin Jati menutup matanya dan menyerah pada semesta.
Jati tak sadarkan diri begitu mengucapkan tiga kata ajaib yang dulu sangat Aruna nantikan. Aruna tahu, ini bukan saat yang tepat untuk mempertanyakan segalanya, karena kondisi Jati jauh lebih penting dari apapun, dan sejujurnya, Aruna benci mengakui ini; ia tidak benar-benar ingin Jati menghilang dari hidupnya.
Berada di daerah pelosok yang bahkan merupakan wilayah pegunungan, membuat Jati kesulitan menerima perawatan medis terbaik. Masih dalam keadaan kritis dan tidak sadarkan diri, terhitung sudah dua kali Jati mendapat rujukan karena fasilitas kesehatan yang tidak memadai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Direct-Love?
Genç Kız EdebiyatıSejak orang-orang terkasihnya pergi meninggalkannya, Aruna merasa hatinya tak lagi ada. Ketika Ayahnya berubah dan harus bertanggung jawab atas seluruh perbuatannya, Aruna merasa tak ada artinya lagi jika hidup di dunia. Belum lagi, pemberitaan tent...