10. Bukan Lagi Pemain

408 8 2
                                    

Sera membuka pintu mobil, hendak turun dari dalam mobilnya. Namun, Eca--sang Bunda malah menahan Sera.

"Kenapa, Bun?"

"Nggak apa-apa, Bunda hanya penasaran bagaimana sekolah kamu?"

"Ya, biasa aja. Kayak sekolah pada umumnya."

Eca mengangguk. Semenjak melepas sang putri untuk tinggal sendirian di Amerika, hubungan keduanya menjadi canggung.

Bahkan, Eca tidak menyangka anak kecil yang dulu sering rewel telah tumbuh menjadi remaja cantik yang mewarisi gen dan kharisma menarik sang suami.

"Melihat dari penampilan baru kamu yang tidak sebebas di sana. Bunda yakin, di sini pasti kamu lebih fokus belajar daripada bergaul. Keputusan yang baik, kamu pindah."

"Bunda baru sadar itu! Bukankah, sejak awal Sera sudah bilang mau sekolah di Indonesia saja."

"Iya ... Bund minta maaf, karena mementingkan ego Bunda. Tapi, semua demi kebaikan kamu--"

Sera menatap jam di tangannya.

"Aduh, Bun. Ini udah mau bel, nanti aja ya kita ngobrolnya di rumah."

Eca mengangguk paham. Ia ikut keluar dari mobil saat Sera turun lebih dulu. Eca menghampiri sang putri, mendekap erat anak semata wayangnya itu.

"Sera harus tahu, Bunda sayang banget sama kamu. Sera itu dunianya Bunda, hidup dan matinya Bunda."

"Bun, jangan lebay. Ini baru lagi loh, jangan terlalu melodrama."

"Tapi, kamu minum obat sama vitamin teratur, kan?"

"Iya Bun, aman. Udahlah, aku ke dalam dulu. Bye!"

***

Sera menghentikan langkahnya, saat seorang pria melebarkan tangan.

Pagi-pagi sudah membuat Sera dongkol saja. Yang lebih parah, ia bahkan tidak mengenal siapa pria bertudung kepala di hadapannya.

Sera hanya melihat siluet dan perawakan wajah pria itu. Namun, ia dapat dengan mudah menggambarkan wajah orang hanya dengan hal itu.

"Kamu kenapa menghalangi jalan aku?" tanya Sera berakting sebagai gadis lemah lembut.

Mendengar pertanyaan Sera, pria jankung berhoddie hitam itu menurunkan tudung kepalanya.

Wajah datar Sera harus ia paksa tersenyum kecil meskipun berat.

"Halo, apa kamu dengar aku?"

Tidak ada respon.

Sera memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya menuju kelas, melewati pria tidak jelas itu.

Anggap saja, pria itu salah tegur. Salah orang, salaj mengira Sera sebagai salah satu teman, kerabat atau keluarganya.

Sera tiba diambang pintu kelasnya, ia beruntung meskipun sudah bel, belum ada guru yang masuk.

Tubuh Sera tiba-tiba bergerak dengan sendirinya ke belakang, Sera bergerak menjauh dari kelasnya.

"Berani-beraninya! Siapa yang menarik tas gue, sih?!"

"Kamu lagi?" tanya Sera bingung, ketika pria itu membawanya menjauh dari ruang kelas sekitar lima meter.

Sera dan pria itu berdiri di lorong berduaan, tidak ada siapapun. Begitu sepi, karena pelajaran pertama sudah dimulai beberapa menit yang lalu.

"Gue nggak nyangka bisa ketemu lo di sini?"

Sera cukup terkejut mendengar hal itu. Ia tidak yakin mengenal pria di hadapannya ini. Tapi, apakah sebaliknya?

"Kamu kenal aku?" tanya Sera penasaran.

"Lo Sera, kan?"

"Kamu kenal aku?" tanya Sera lagi.

"Tentu aja gue kenal lo! Lo Sera anaknya Dokter Eca, kan?"

Pikiran Sera mendadak kosong.

Ia heran, dan bertanya-tanya siapakah pria di depannya ini?

Bagaimana bisa ada orang yang mengenali dirinya di sini, dah bahkan mengenal bundanya?

Apa penyamaran Sera tidak cukup baik dan sangat kurang?

"Iya, itu aku." akui Sera tidak bisa mengelak, toh itu faktanya. "Kamu siapa?" tanya Sera setelahnya.

"Ahh, lo pasti sudah lupa karena udah lama banget. Gue Farhan," kata pria bernama Farhan itu menyodorkan tangannya lebih dulu, mengajak Sera bersalaman.

Farhan?

Sera tidak kenal.

Tapi, apa boleh buat. Sera mau tidak mau harus mencoba bersikap ramah dan tenang.

Ia membalas uluran tangan Farhan.

"Aku Sera," kata Sera singkat.

Farhan menggaruk pelipisnya.

"Melihat reaksi lo, pasti lo udah lupa sama gue. Emang, sih? Gue pun sebenarnya, sudah lupa sama lo. Tapi, beruntungnya tadi gue lihat lo dan Dokter Eca di luar, kayaknya pas ngantar lo. Gue tanya, ngapain Dokter Eca di sini, dan dia jawab kalau dia ngantar anaknya."

"Ohhh, gitu."

"Gue Jovanka, Ser. Jovan ...."

Nama itu terdengar tidak asing.

"Lo seriusan Jovan?" tanya Sera masih shock. Ia bahkan tidak sadar telah memakai lo-gue kembali.

"Iya, ini gue Jovan. Tapi, di sini orang-orang manggil gue Farhan."

"Jovan... dari SD Cahaya Pelita?"

"Iya, Seraaaa ... itu gue."

Tanpa aba-aba, Farhan segera memeluk tubuh Sera. Melepas rindunya, pada sahabat masa kecilnya.

Queen Sera & Bad BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang