>>>×<<<
Pada dasarnya waktu tetaplah waktu.
Terus berputar kekanan,
tanpa pernah sekalipun berputar kekiri.>>>×<<<
Tiba saatnya hari minggu. Hari dimana biasanya ada sesorang yang mengirim pesan padanya. Pesan singkat yang hanya bersikan “nggak ingin kemana gitu? Mumpung minggu” atau bahkan “hari ini free kan? Jalan yuk”. Namun sayangnya pesan semacam itu sudah sangat jarang ia temui di ponselnya. Bahkan satu bulan terakhir ini, ia tidak pernah menemuinya lagi.
Untuk mengisi hari minggunya yang hampa ini, Nao berinisiatif untuk pergi mengunjungi suatu tempat. Siapa tau dengan begini suasana hatinya jauh lebih baik dari sebelumnya. Ia ingin mengajak kedua bocah itu yang rupanya masih stay berada di dalam kamar masing-masing.
“Aku ameh dolan. Enek seng gelem melu gak ki?” teriak Nao dari bawah. Namun pertanyaannya tidak mendapat jawaban dari kedua bocah itu. padahal jelas-jelas mereka sudah pada bangun, tapi kenapa tidak ada yang meresponnya?
“Nai! Lo mau ikut nggak?” tanya Nao langsung to the point dengan memanggil nama.
“Kaga ah, males. Minggu tuh enaknya tidur,” jawab Naira dari dalam kamarnya.
“Dasar kebo!”
“Biarin,” jawab Naira tidak peduli.“Ya Nea! Mau ikut mas nggak?” tanya Nao beralih ke bocah satunya.
“Nggak, Mas,” jawab Nea.
“Kenapa?”
“Ada yang harus diselesaiin sekarang.”
“Owh.”
“Yowes to, aku dolan dewe. Bay,” guman lirih.
Nao keluar dari pekarangan rumah bersama dengan motornya. Kasihan banget, minggu-minggu dolan dewean. ketok kyok jomblo. Tapi bukannya dia masih berstatus sebagai pacarnya Laras? Emang iya, tapi pacar tak dianggap.
Nao menyusuri jalan raya diiringi dengan deru mesin kendaraan yang terdengar sangat bising. Situasi jalan raya kali ini cukup ramai, namun pergerakan kendaraan masih dibilang lumayan lancar—setidaknya nggak mancet. Laki-laki itu memandang kesegala penjuru arah. Menurut hasil pandangannya, sebagian besar dari mereka memiliki pasangan—dalam arti semotor berdua. Entah bergender sama maupun berbeda. Namun hampir mayoritas berbeda—semotor cowok-cewek maksudnya.
Seperjalanannya, Nao memasangkan earphone pada telinga kirinya dan memutarkannya dengan sebuah lagu. Ini bukanlah kebiasaan yang baik, namun laki-laki itu selalu saja melakukannya, katanya sih untuk mengurangi suara bising kendaraan. Sementara itu, bibirnya berkomat-kamit mengikuti lirik lagu yang sedang ia dengarkan.
“Aku tau ini semua tak adil
Aku tau ini sudah terjadi
Mau bilang apa akupun tak sanggup
Air mata pun tak lagi mau menetes”Lirik awal dari lagu yang dirinya putarkan telah mengisyaratkan bagaimana kondisinya saat ini. Tidak merasakan adanya keadilan dalam hubungannya. Ini adalah hal terpahit yaang pernah ia alami selama dirinya mengenal dunia percintaan. Sedangkan semua ini sudah terjadi, namun tindakan apa yang bisa dia lakukan untuk keluar dari belenggu nestapa ini?
“Alasannya sering kali ku dengar
Alasannya sering kali kau ucap
Kau dengannya seakan ku tak sanggup
Sandiwara apa yang t’lah kau lakukan kepadaku”Sejauh ini Nao lah yang selalu mengalah. Dia hanya mengiyakan apapun yang dijadikan alasan oleh perempuan itu. bahkaan alasan-alasan itu sering terulang, lagi dan lagi. Dan bodohya Nao yang selalu saja percaya dengan alasan-alasan itu—meski terkadang logikanya menolak mentah-mentah semua pernyataan itu. meski begitu, pada akhirnya ia tetap saja tidak sanggup menyanggah pernyataan perempuan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sementara - Berhenti di Titik Pilu [Selesai]
Teen Fiction| Melintasi Lorong Waktu Yang Membawaku Berhenti Sejenak di Titik Pilu | "Tidak bisakah kau tinggal denganku sedikit lebih lama? Tidak bisakah kau kembali hidup bersamaku lagi di sini?" Aku sempat merasa hilang arah. Aku tidak tau harus menyalahkan...