>>>×<<<
Hidup hanya sebatas bernafas. Tidak ada lagi harapan. Tidak ada lagi angan-angan. Tidak ada lagi tujuan. Seakan semuanya tertinggal dalam kenangan.
>>>×<<<
Dua tahun kemudian....
Naira jauh lebih baik daripada hari-hari kala itu. ia sudah mampu berinteraksi dengan orang lain. Ia juga mulai tersenyum bahkan tertawa seperti sedia kala. Sifat-sifat aslinya juga mulai kembali seiring berjalannya waktu. Hanya ada satu hal yang berbeda, kini Naira begitu benci apapun yang berbau keramaian dan juga suara tepuk tangan. Sepertinya luka Naira sudah bener-benar sembuh, namun entahlah jika sebenarnya ada yang ia sembunyikan dari senyumnya selama ini.
Suatu malam dimana hujan tak lagi turun dengan intensitas seperti biasanya. Alih-alih turun dengan deras diiringi kilat dan suara petir yang menggelar hingga mampu mengubah kekonsistenan detak jantung manusia, namun kali ini hujan justru turun dengan sangat tenang seolah mendukung ketenangan malam Naira.
Perempuan itu sebenarnya sangat benci hujan. Tapi karena kali ini hujan terasa sangat tanang, ia memutuskan untuk duduk di depan piano milinya dan ditemani beberapa lembar kertas sekaligus pena diatasnya. Naira sengaja memanfaatkan situasi setenang ini dengan menjelajahi imajinasinya sendiri yang rencananya akan ia susun menjadi sebuah harmonisasi yang layak didengar. Namun ternyata ketenangan malam itu tak sanggup membuat Naira menyelesaikan keinginannya. Alih-alih selesai, satu bait lirik dengan harmonisasi yang pas saja tidak berhasil Ia ciptakan. Pikirannya malah berkelana tanpa arah dan tujuan. Naira pun melamun.
Beberapa saat dirinya melamun, tiba-tiba ia sadar jika ternyata ada setetes air di pipinya. Sambil mengusap beberapa tetes air mata yang tersisa di wajahnya, Naira beranjak dari kursi pianonya. Dengan langkah gontai tak berdaya. Naira menuju meja belajarnya yang kebetulan terletak di samping jendela kamarnya. Di bukanya gorden jendela itu, dan benar di luar hanya ada kegelapan, namun secercah cahaya masih terlihat di beberapa titik.
"Gelap ya? Tapi masih ada cahaya, walau hanya sedikit," Naira bergumam lirih.
"Sedangkan hidupku? gelap. Benar-benar gelap tanpa cahaya sedikit pun." Ia menunduk dengan senyum miris mentertawakan diri sendiri.
Naira duduk di depan meja belajarnya. Tak ada satu pun buku yang ia buka. Laptopnya juga tidak ia nyalakan. Bahkan ponselnya hanya tergeletak dihadapannya tanpa ia sentuh sedikit pun. Lagi-lagi ia hanya duduk termenung dengan posisi songgo uwang mengahap kearah jendela menelusuri kegelapan di luar sana.
Semenit.
Dua menit.
Tiga menit.
Lima menit.
Sepuluh menit.
Lima belas menit.
Naira hilang kesadaran.
***
Ia terbangun dari keketidurannya. Menguap sambil mengucek-ngucek kelopak matanya dengan khidmat dan menghapus sisa air mata dipelupuk mata. Namun beberapa detik setelah itu, ia menoleh kebelakang. Ia terkejut hingga nyaris lupa bagaimana caranya mengedipkan mata. Matanya terbelalak mendapati sosok laki-laki yang sedang duduk tenang di depan piano miliknya. Laki-laki itu tampak menunduk seperti sedang menulis sesuatu di salah satu kertas Naira yang sengaja belum ia rapikan.
"Hei!!!" bentak Naira pada sosok itu.
"Siapa kau?!!" lanjutnya dengan suara sedikit bergetar.
Hanya selang tiga detik sosok itu menolehkan wajahnya mengarah ke Naira diikuti dengan senyuman. Naira merasa terpaku melihat wajah dan senyum sosok laki-laki itu. Namun setelah itu ia sadar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sementara - Berhenti di Titik Pilu [Selesai]
Roman pour Adolescents| Melintasi Lorong Waktu Yang Membawaku Berhenti Sejenak di Titik Pilu | "Tidak bisakah kau tinggal denganku sedikit lebih lama? Tidak bisakah kau kembali hidup bersamaku lagi di sini?" Aku sempat merasa hilang arah. Aku tidak tau harus menyalahkan...