Rasya berdiri mematung, kakinya sama sekali tidak bisa digerakkan. Tubuhnya sama sekali tidak mau untuk digerakkan. Barang hanya menutup mata dan menulikan telinga agar ia tidak menyaksikan kejadian itu pun tidak bisa.
Matanya dipaksa terbuka untuk melihat bagaimana tubuh bayi itu perlahan mendekati bibir ranjang dan berakhir terjatuh dengan posisi tertelungkup.
Telinganya terpaksa mendengar jeritan pilu dari bayi tersebut sebelum akhirnya tangisan itu terus menggema dalam diri Rasya meski dirinya tak melihat bayi itu lagi.
Rasya terbangun dari tidurnya, tangannya bergetar hebat. Namun, ia lawan dengan mencengkram erat lengan seseorang yang berbaring di sampingnya.
Mimpi itu datang lagi. Mimpi yang sering datang setiap kali dirinya mengingat sesosok makhluk tanpa dosa yang biasa dipanggil bayi atau anak-anak.
Mengingat bahwa sepupunya akan mengadakan syukuran tujuh bulanan membuat mimpi buruk itu kembali terpanggil.
Davina yang merasa lengannya dicengkeram dengan kuat lantas terbangun dan mendapati suaminya sedang mengatur napasnya yang memburu.
"Datang lagi ya?" tanya Davina. Wanita itu bangkit dari ranjang. Menyalakan lampu kamar dan mendekati suaminya lagi dengan membawa selembar tisu dan botol berisi air minum.
Davina membukakan tutup botol itu dan mengulurkan ke Rasya. Sementara tisu yang ia bawa ia gunakan untuk mengelap peluh di kening suaminya.
"Vin, ambilin obat aku," pinta Rasya. Yang Rasya maksud di sini adalah obat penenang yang diresepkan oleh psikiater yang menangani Rasya.
Davina menggeleng tidak mau. Rasya sudah lama tidak menyentuh obat itu, ia tidak rela jika suaminya harus menyentuh obat penenang yang dulu menjadi candu bagi Rasya. Cukup sulit untuk memisahkan Rasya dari obat itu ketika awal mereka menikah.
"Enggak mau," tolak Davina.
Rasya yang masih berusaha menenangkan diri akhirnya mencoba turun dari ranjang dan berniat untuk mengambil obat itu sendiri. Namun, begitu ia berdiri tubuhnya sedikit kehilangan keseimbangan hingga harus di tangkap oleh Davina. Rupanya kedua kakinya melemas dan tak mampu menopang tubuhnya sendiri.
"Minggir, Vin. Aku mau ambil obat." Rasya menggenggam lengan istrinya, mencoba menggeser istrinya dengan lembut. Namun apa daya, selain karena Rasya yang sudah terlalu lelah, istrinya itu tetap saja berdiri menghadang Rasya untuk tidak mengambil obat.
"Enggak mau,"
"Please, Vin." pinta Rasya.
"Mas, kamu udah lama enggak nyentuh obat itu," rayu Davina.
"Makanya aku harus minum itu lagi."
Davina tetap menggeleng, ia mendudukkan Rasya di ranjang kembali dan memeluk leher suaminya itu dengan posisinya yang masih berdiri.
Tidak ada yang berbicara di antara keduanya mereka sama-sama memilih bungkam sampai pada akhirnya Rasya menghela napas panjang.
Tangan Rasya yang sudah tidak gemetaran itu akhirnya terangkat dan memeluk pinggang istrinya. Rasya menangis di perut istrinya.
Rasya menangis tanpa suara. Namun, dengan napas Rasya yang tidak beraturan serta kaos bagian perut yang mulai basah membuat Davina tahu bahwa suaminya menangis.
Davina mengulum bibirnya, mencoba untuk lebih tegar disaat suaminya sedang tidak baik-baik saja. Kata-kata yang sudah ia siapkan untuk menenangkan suaminya itu terhenti di tenggorokan.
Davina hanya bisa terus mengusap kepala serta punggung suaminya untuk memberi ketenangan meski hanya sedikit.
"Maaf. Maafin aku, Vin!" racau Rasya.
KAMU SEDANG MEMBACA
WANGSA [selesai | terbit]
Romance18+ [Wangsa (Sansekerta) : keturunan] Dua tahun pernikahan telah Rasya dan Davina jalani dengan rukun. Namun, hampir memasuki tahun yang ke tiga, mereka mulai goyah. Ini bukan perkara orang ke tiga, bukan masalah mertua ataupun orang tua. Ini masala...