03. Nikah Atau Kawin?

99 28 4
                                    

Happy reading!❤️

***

Jam tujuh malam Cara baru selesai mengejar targetnya. Setelah duduk di depan komputer kini Cara rebahan memainkan ponsel. Tak heran jika minusnya semakin bertambah.

Tok! Tok! Tok!

"Cara, bukain pintu! Ayahnya lagi salat!" teriak Venna dari kamar sebelah.

"Iya, Bun." Cara beranjak dari kasur dan membuka pintu rumah.

Matanya berbinar-binar melihat kedatangan Gala. Dia datang memakai baju santai. Cara merindukan penampilan Gala yang seperti ini. Pakaian yang selalu Gala gunakan ketika di kantor membuat mata Cara sendiri bosan melihatnya.

Gala terlihat seperti orang benar jika memakai jas, padahal Gala adalah sosok yang tengil ketika SMA.

"Ma–masuk, Gal."

"Ah, iya." Gala melepas sandalnya dan masuk ke dalam rumah.

Dengan hormat ia mengetuk pintu kamar Venna yang terbuka. Venna melirik ke arah Gala sembari tersenyum lebar. Sepertinya memang dia orang yang paling bahagia jika kedatangan Gala.

"Eh, masuk, Gal. Maaf agak berantakan," ujar Venna tak enak.

Gala melangkah masuk, tentunya diikuti oleh Cara. Gala mencium punggung tangan Venna. "Gapapa kok, Tan."

"Ini, dari mamah, Tan. Katanya maaf gak bisa jenguk langsung." Gala meletakkan sebuah paper bag berisi baju-baju bayi dan beberapa peralatan mandi.

"Ya ampun, padahal gak usah repot-repot. Jadi enak." Venna tertawa kecil.

Sejak tadi Gala terus curi-curi pandang ke wajah bayi yang sedang berbaring dengan anteng. Matanya terbuka lebar. Wajah bayi itu sedikit mirip dengan Cara. Gala membayangkan apakah seperti itu gambaran anaknya jika menikah dengan Cara?

"Tan, boleh gendong gak?" tanya Gala setelah ia mempertimbangkan sekian lamanya untuk mengajukan pertanyaan seperti ini.

"Boleh. Boleh bangett."

Cara melongo. Memangnya Gala bisa menggendong bayi merah yang tulang lehernya belum kuat?

Venna mengais Vava. Lalu, Gala mendekat dan Venna menyerahkan Vava ke tangan Gala dengan sangat hati-hati. Cara menatap tak berkedip. Entah mengapa ketika Gala menggendong bayi seolah mengeluarkan kesan tersendiri. Gala kelihatan ... cocok.

"Widih, udah cocok punya anak. Ayo kawin! Kawin!" sorak Momo. Baru datang sudah membuat heboh. Dasar mantan tuyul!

Venna menatap nyalang anak keduanya. "Nikah dulu yang bener!"

"Kawin dulu, dong. Ya, kan, Bro?" tanya Momo sembari merangkul bahu Gala.

Gala menatap wajah Cara dan Venna silih berganti. Keduanya memasang ekspresi yang sama seolah-olah meminta untuk menyalahkan jawaban Momo.

Kelihatannya, Momo tahu jika jawabannya adalah nikah terlebih dahulu. Namun, berhubung hobinya memang mencari masalah, jadi ia memilih untuk menjawab dengan salah dan mengotot bahwa jawabannya benar.

Gala tersenyum kikuk dan menggelengkan kepalanya. "Gak tau. Gala gak ikutan."

"Ayo! Mending jangan di sini." Cara mendorong pelan punggung Gala ke ruang TV.

"Heh kenapa dibawa? Orang lagi ngobrol!" protes Venna.

Momo berjalan-jalan di depan Venna dengan tengilnya. "Ehem! Ehem!"

"Kenapa lagi ni anak satu?" Venna menatap heran.

"Momo mau pamer kalau Momo bisa jalan."

Hawa-hawa di sini langsung berbeda. Momo berlari. Venna ingin berteriak. Namun, kehadiran Gala menjadi penghalang. Ia takut jika calon menantunya akan ilfeel.

"Mirip kamu, Mel."

Cara berlagak sombong. "Enggak, ah. Masih cantikan aku."

"Yeuu." Gala tertawa geli sembari mencubit hidung Cara.

Melihat pemandangan menjijikkan itu membuat Momo berlari dan duduk di tengah-tengah Cara dan Gala. "Gak boleh berdua-duaan, nanti yang ketiganya setan."

Cara memutar bola matanya malas. Bocah SMP itu selalu berhasil membuatnya badmood. Di saat Cara ingin marah-marah, justru Gala sedang memasang wajah kikuknya.

"Mo, ambilin minum, dong! Haus!" perintah Venna.

"Iya, Bun." Momo berjalan lesu. Padahal baru saja ia duduk.

Di saat-saat seperti ini Cara dan Momo dilarang menjawab ketus setiap kali Venna memerintah. Lagi pula yang meminta adik adalah Cara dan Momo juga.

Gala menoel pelan pipi gembul milik Vava. Gala menggigit bibir bawahnya. "Aish, gemes banget, Mel."

"Sama aku lebih imut mana, Gal?" tanya Cara.

Pertanyaan ini jika dijawab jujur pasti menimbulkan pertengkaran. Gala berpikir panjang untuk menjawabnya.

"Jelas Vava, dong."

Cara berdecak sebal dan mengalihkan pandangannya ke tempat lain.

Gala tertawa kecil dan mengelus pucuk kepala Cara. "Kalau kamu udah dewasa, Mel. Jadi kata yang tepat bukan imut, tapi cantik."

"Uhuk! Uhuk!"

Gala menarik tangannya secepat kilat melihat keberadaan Adam. Canggung jika sudah seperti ini. Gala membuat jarak di antara dirinya dan Cara. Tidak enak jika dilihat oleh ayah Cara.

Adam ikut bergabung dengan Cara dan Gala. "Setau ayah, temen SMA kalian udah banyak yang nikah, ya?"

Cara membelakkan matanya. Wanita itu memelototi sang ayah sebagai kode agar tak membicarakan topik pembicaraan yang seperti ini.

"Iya, Om," sahut Gala.

"Nah, kalian kapan, nih?"

Cara berdecak sebal. "Mulai ...."

Gala melirik ke wajah Cara. "Gala, sih, gimana Amel, Om."

"Kamu, kan, cowok. Jangan ngegantungin pilihan kamu sama cewek."

Gala mengangguk paham. "Ohh, gitu, ya?"

"Mel, mau nikah sama aku gak?" tanya Gala secara tiba-tiba.

Cara melotot. Melirik ke wajah Gala dan Adam silih berganti. Pertanyaan seperti itu memang Cara nanti-nantikan. Namun, jika secara tiba-tiba seperti ini Cara juga akan syok!

'Ayah harap kamu ikut ke agamanya Gala, Nak,' batin Adam.

"Kawin ...!" Momo meniupkan terompetnya.

Oeekkk ...!

"Botol susu, Mo! Botol susu!"

"Momo jangan ngerusuh terus, dong!" teriak Venna di dalam kamar. Inilah salah satu yang membuat Venna cepat haus. Dia sering berteriak-teriak.

Gala mengayunkan Vava di pangkuannya. Namun, tangisnya tak kunjung mereda. Adam yang baru saja mengambil botol susu di kamar langsung berlari menghampiri Gala dan mengambil Vava yang masih menangis di gendongan Gala.

Adam menepuk pelan bokongnya berkali-kali. "Cup cup cup, Sayang ...."

"Mel, mau gak?" Gala menagih jawaban Amel.

To be continued

1×0=0 (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang