Perbedaan pandangan bukanlah merupakan hal yang baru dalam lapangan ilmu lebih-lebih dalam lapangan ilmu sosial. Masing-masing ahli mempunyai sudut pandangan sendiri-sendiri mana yang dianggap penting, sehingga akan berbeda
dalam meletakkan titik beratnya. Perbedaan pandangan ini mungkin karena perbedaan bidang studi ataupun metode yang digunakan dalam pendekatan masalah. Ini akan jelas apabila dilihat tentang batasan apakah yang dimaksud dengan psikologi itu. Seperti dikemukakan oleh Drever:
“Psychology: as a branch of science, psychology has been defined in
various way, according to the particular method of approach adopted or field
of study proposed by the individual psychologist” (Drever, 1960:227).
Karena psikologi itu merupakan ilmu mengenai jiwa, maka persoalan yang pertama-tama timbul ialah apakah yang dimaksud dengan jiwa itu. Untuk memberikan jawaban atas pertanyaan ini bukanlah merupakan hal yang mudah seperti diperkirakan orang banyak. Ini telah pula dikemukakan oleh Ki Hadjar
Dewantara sebagai berikut:
“Apakah yang dimaksud dengan ‘jiwa’ itu menurut pengajaran pengetahuan yang positif?" Pertanyaan itu tidak mudah dijawab dan ini terbukti dari
adanya macam-macam jawaban. Menurut riwayatnya ilmu psikologi, maka sudah mulai zaman purba orang memperbincangkan soal ini, soal yang tertua di dalam peradaban manusia. Barangkali pembaca sudah pernah mendengar perkataan- perkataan yang sebenarnya semuanya berarti ‘jiwa’, tetapi satu-satunya masih mengandung arti khusus, misalnya: nyawa, jiwa, sukma, atma, budi dan lain-lain, atau:
rohani, roh-robbani, roh-tamyis, roh-hayati dan lain-lain (atau: geest, ziel, bewustzijn, intuitie dan sebagainya).
Hal ini membuktikan bahwa di dalam perkataan ‘jiwa’ itu terkandunglah beberapa sifat-sifat dari kebatinan
manusia. Kalau kita hendak mencari artinya yang pokok atau yang umum
maka bolehlah perkataan jiwa itu diartikan kekuatan yang menjadi
penggerak manusia. Jadi kalau jiwa itu tidak ada tentulah manusia tidak
hidup, yaitu tubuh badannya itu adalah mayat belaka. Di sini samalah artinya perkataan Jawa ‘nyawa’ dan perkataan Arab ‘roch- chajat’ yang
kedua-duanya berarti sebabnya hidup. Lain daripada arti itu perkataan ‘jiwa’ atau ‘roh’ itu terpakai juga dengan arti ‘semangat’ atau ‘jiwa perasaan’, misalnya: ‘berjiwa lemah’ atau ‘berjiwa keras’, jiwanya perhimpunan, jiwanya seorang anak budak dan sebagainya.perlu kita ketahui, yaitu yang
termasuk dalam ilmu pengetahuan yang dinamakan ‘psikologi positif’.
Yaitu perkataan jiwa diartikan sebagai:
a. Kekuatan yang menyebabkan hidupnya manusia
b. Serta menyebabkan manusia dapat berpikir, berperasaan dan
berkehendak (budi).
c. Lagi pula menyebabkan orang mengerti atau insyaf akan segala gerak jiwanya.” (Ki Hadjar Dewantara, 1962:425).
Dengan kutipan dari Ki Hadjar Dewantara ini memberikan sekedar
gambaran betapa sulitnya untuk memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut di atas. Jiwa sebagai kekuatan hidup (levens beginsel) atau sebabnya hidup telah
pula dikemukakan oleh Aristoteles, yang memandang ilmu jiwa sebagai ilmu yang mempelajari gejala-gejala kehidupan. Jiwa adalah merupakan unsur kehidupan, karena itu tiap-tiap makhluk hidup mempunyai jiwa. Jadi baik manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan menurut pendapat Aristoteles adalah berjiwa atau beranima. Karena itu maka terdapatlah 3 macam anima yaitu:1) Anima vegetativa, yaitu anima atau jiwa yang terdapat pada tumbuh-
tumbuhan, yang mempunyai kemampuan untuk makan-minum dan berkembang biak.
2) Anima sensitiva, yaitu anima atau jiwa yang terdapat pada kalangan
hewan yang di samping mempunyai kemampuan- kemampuan seperti
pada anima vegetativa juga mempunyai kemampuan-kemampuan untuk berpindah tempat, mempunyai nafsu, dapat mengamati, dapat
menyimpan pengalaman- pengalamannya.
3) Anima intelektiva, yaitu yang terdapat pada manusia, selain mempunyai kemampuan-kemampuan seperti yang terdapat pada lapangan hewan masih mempunyai kemampuan lain yaitu berpikir dan berkemauan (Bigot, dkk., 1950).
Menurut pandangan Aristoteles anima yang lebih tinggi mencakup sifat-sifat atau kemampuan- kemampuan yang dimiliki oleh anima yang lebih rendah. Anima intelektiva merupakan tingkatan anima yang paling tinggi, sedangkan anima
vegetativa merupakan tingkatan anima yang terendah. Pengertian jiwa atau psyche sebagai unsur kehidupan (the principle of life) juga dikemukakan oleh Drever
(1960).
KAMU SEDANG MEMBACA
Belajar Psychology ✔
Non-FictionHallo! Sudah sejauh manakah teman-teman belajar tentang Psychology? Teman-teman tau gak, kenapa kita perlu belajar Psychology? Jawabannya karna Psikology membantu kalian mengetahui sikap manusia sebagai upaya menyesuaikan diri serta berhubungan den...