19. Hurt

689 80 20
                                    

Brak!

Suara piring yang pecah terdengar dari arah dapur. Jeffrey yang baru saja tiba di rumah, langsung buru-buru pergi menghampiri apa yang terjadi disana.

Atmosfer saat itu terasa berbeda dari biasanya. Dimana ia mulai sedikit mencium bau alkohol dan menemukan beberapa puntung rokok di atas lantai.

Sudah jelas tidak mungkin Jovan atau bahkan Nathan sekalipun. Hanya satu sosok yang ada dibenaknya saat ini.

Ayahnya.

"Terus salah saya? Salah saya kalo saya gak bisa kasih kamu duit? Harusnya kamu yang nafkahin saya! Kenapa malah minta duit ke saya?!" suara teriakan dengan suara yang ia yakini suara Nathan, terdengar dari arah dapur.

Wajah lelaki itu memerah mendengar apa yang baru saja keluar dari mulut anak bungsunya. Kemarahan yang terlihat sama sekali tak terbendung disana.

"Jangan kurang ajar jadi anak, Nathan! Saya gak pernah didik kamu seperti ini!" tutur ayahnya dengan tangan yang mengepal kuat.

Sejak kematian bundanya, dan beberapa bulan setelahnya, ayahnya sudah jarang sekali bertemu dengannya. Nathan kecil harus menanggung waktu dimana ia tidak mendapat didikan dari orang tuanya sendiri.

Dulu, ayahnya hanya pulang untuk membawa uang dari kotak brankas miliknya di ruang kantornya, membawa beberapa pakaian, lalu setelahnya pergi entah kemana.

Terkadang, ia memergokinya baru keluar dari sebuah diskotik dengan keadaan mabuk dan penampilan yang kacau.

Terkadang pula, ia memergokinya baru keluar dari sebuah hotel dengan baju yang amat lusuh dan puntung rokok di tangannya.

Namun saat itu, Nathan hanya mengamati sosok ayahnya dari jauh. Nyalinya tak besar untuk sekedar mendekat kepada laki-laki itu. Ia takut. Ia takut jika ayahnya akan marah, ia takut jika ayahnya menyuruhnya pergi seperti seekor binatang.

Ia takut dengan ayahnya yang sama sekali tak mau memandang dirinya sebagai darah dagingnya seperti saat bunda masih ada.

Ia terlalu takut dengan tatapan menjijikkan dari ayahnya sata melihat dirinya.

Dunia miliknya yang awalnya baik-baik saja dan sangat menyenangkan, setelah kematian bunda menjadi rusak dan terlalu mengerikan untuk diingat kembali. Bahkan, panggilan antara dirinya dengan ayahnya seketika berbeda dan menjadi sangat formal.

Seolah ada dinding kebencian yang begitu besar yang menghalangi ikatan antara anak dan ayah. Dinding kebencian yang dibangun sendiri oleh ayahnya, namun bukan untuk anak-anaknya.

Melainkan untuk takdir dari semesta. Semesta terlalu kejam untuk mengambil bunda dari Nathan kecil yang jelas masih butuh seorang ibu, terlalu kejam juga untuk mengambil belahan jiwa laki-laki ini.

Semua orang rapuh, entah itu Nathan, ayahnya, apalagi Jeffrey yang mulai hidup dengan tatapan kebencian dan menjijikkan dari orang sekitarnya.

Tidak bisa lagi ia meminta seseorang untuk membelainya saat dirinya akan beranjak tidur, tidak bisa lagi ia meminta almarhum perempuan itu untuk membacakan dongeng dengan dirinya tiduran di pangkuan bersama Nathan kecilnya dulu.

"Cih, jangan bicara soal didikan di depan saya. Sama sekali enggak pantas. Kamu bahkan gak pernah ngedidik saya sekalipun."

Hening. Dengan Nathan yang dadanya turun naik karena amarah yang meluap, ayahnya yang masih tak terima dengan perkataan anak bungsunya, dan Jeffrey yang menyaksikan hal itu dalam diam.

Pikirannya tak mengerti, Nathan yang ia kenal sebagai anak baik, nyatanya bisa meluapkan perkataan seperti ini. Selama ini, Jeffrey masih kekeh berfikir, jika sikap Nathan pada dirinya hanya karena Nathan belum mengerti segalanya, hanya karena Nathan terlalu kekanak-kanakan, dan hanya karena Nathan yang terlalu merindukan sosok bunda.

Namun kini, ia memahami, Nathan sudah bukan anak kecil yang mudah marah dan ingin memberontak lagi. Adiknya itu memahami semuanya.

"Sejak bunda meninggal, kamu nelantarin saya sama abang. Kamu cuma pulang buat ambil uang, setelah itu apa? Kamu pergi gitu aja. Saya bahkan gak jarang liat kamu keluar dari club bahkan dari hotel. Tapi saya bisa apa waktu itu? Saya cuma seorang bocah sd waktu itu. Saya gak bisa apa apa. Karena kalau saya kekeh datang ke kamu, kamu bakalan nyuruh saya pergi sambil nendang saya, seolah saya bukan anak kamu."

Pikiran ayahnya makin kacau. Ia pikir, anak bungsunya sama sekali tidak tahu tentang hal yang ia lakukan selama ini. Bibirnya terkatup rapat.

Tak mampu mengelak atas ucapan yang dilontarkan Nathan. Hanya kepalan tangan yang semakin mengepal kuat kuat.

Pemuda itu berjalan pergi meninggalkan ayahnya yang masih terdiam di dapur dengan pecahan piring di lantai. Langkahnya berhenti sejenak saat mendapati abangnya yang sedari tadi memperhatikan perseteruan dirinya dengan ayahnya.

Sorot mata sayu milik abangnya itu, jelas Nathan tahu apa yang akan dilakukan Jeffrey sebentar lagi. Sudah pasti ayahnya akan meminta uang dan menyuruh Jeffrey untuk membersihkan pecahan piring di lantai sedangkan Jeffrey hanya akan menuruti ucapan ayahnya begitu saja.

Sontak jemarinya menggenggam kuat pergelangan tangan Jeffrey. Menariknya menjauh dari sana. Nathan mungkin masih tidak menyukai abangnya ini. Namun dirinya jauh lebih muak jika melihat ayahnya bersikap semena-mena pada abangnya. Ia membawa Jeffrey masuk ke dalam kamar milik abangnya itu.

"Enggak usah bantuin ayah ataupun ngasih ayah uang. Diem disini! Atau gue gak mau ngomong lagi sama lo!" titahnya lalu pergi sambil menutup pintu kamar Jeffrey.

Sementara pemuda di dalam kamar miliknya masih bingung harus berbuat apa. Di satu sisi, ia merasa kasihan jika ayahnya tidak memiliki uang. Ia tahu betul, ayahnya sudah tidak bekerja. Hutang di perusahaan juga masih belum lunas. Sedikit demi sedikit, Jeffrey sisihkan sebagian gajinya untuk melunaskan hutang ayahnya.

Belum lagi bayar sekolah Nathan. Namun syukurnya, beberapa keperluan rumah masih di bantu oleh keluarga adik almarhum bundanya. Keluarga Jovan. Katanya, hitung-hitung untuk keperluan Jovan disini. Padahal, orang tua Jovan tahu betul jika Jeffrey yang akan banting tulang menghidupi keluarganya.

Sejujurnya, menyuruh Jovan untuk tinggal bersama keluarganya sudah dipikirkan berpuluh-puluh kali. Namun jika Jovan tidak ikut tinggal bersama Jeffrey disini, adik dari almarhum bunda merasa sangat khawatir tentang apa yang akan dihadapi pemuda itu.

Kasih sayang dari ayahnya? Jelas tidak perlu diharapkan lagi karena terasa nihil untuk diharapkan seperti dulu. Nathan? Sikapnya saja sudah seolah menganggap sosok Jeffrey tidak ada.

Tok tok!

Suara ketukan pintu kamar membuyarkan lamunan Jeffrey. Benar saja, saat dirinya membuka pintu kamar, sosok ayahnya berdiri disana. Dengan tangan kanan yang dimasukkan ke dalam saku celananya, dan tangan kirinya menjulur meminta uang pada pemuda itu. Tanpa mengatakan sepatah katapun.

Jeffrey menggeleng. Dirinya ingat betul apa yang baru saja dikatakan Nathan padanya. Namun melawan perintah ayahnya, sama saja nekat masuk ke dalam neraka bagi dirinya. Dilema. Entah Jeffrey harus menuruti ucapan ayahnya, atau melihat Nathan yang semakin benci padanya.

Plak!

Sebuah tamparan dari kepalan tangan yang kuat mendarat di pipinya. Rasanya panas sekaligus sakit yang tak main main. Dapat ia rasakan pipi bagian dalamnya yang terasa mengeluarkan darah segar.

Bugh!

Ditambah tendangan kuat yang menghantam perutnya. Jeffrey tersungkur. Dirinya tak dapat melawan ayahnya.

Sontak ayahnya langsung menggeledah apa saja yang ada di saku celana jeansnya. Mengambil semua uang yang ada disana. Padahal, uang itu masih harus dibayarkan untuk biaya sekolah Nathan dan dirinya, serta keperluan tambahan lainnya. Belum lagi membayar cicilan hutang ayahnya.

"Gini doang masih minta saya turun tangan! Kalau langsung kamu kasih, gak akan sakit! Paham?"

Bugh!

Sekali lagi tendangan kuat yang menghantam perutnya. Laki-laki itu pergi meninggalkan Jeffrey yang meringkuk kesakitan di lantai. Membanting pintu dengan keras.

"Bunda...sakit."

















Halo! Maaf baru update setelah beberapa purnama wkwk. InsyaAllah updatenya kali ini bakalan sering.

Spam next disini yuk.

KepulanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang