<<<--->>>
Manusia memang cepat menyimpulkan apa yang semesta hadirkan. Padahal, mereka belum tahu apa yang semesta rencanakan.
<<<--->>>Beberapa perawat laki-laki dan suster berlari di sepanjang koridor rumah sakit sambil mendorong ranjang dengan Jeffrey yang masih di sana. Disusul Azura serta Winar dan Juan di belakangnya. Hingga langkah ketiganya berhenti saat ranjang itu masuk ruangan.
Degup jantung gadis itu tak beraturan. Ia menekuk kedua lututnya, lalu menenggelamkan kepalanya di sana. Banyak pikiran-pikiran menakutkan yang muncul. Bagaimana jika Jeffrey tidak sadarkan diri dalam waktu yang lama? Karena melihat Alex yang membabi buta menghajar Jeffrey, masih membuatnya bergidik sampai sekarang.
"Ra, are you okay?" suara itu, suara milik Juan. Yang entah bagaimana, laki-laki itu kini duduk di sampingnya. Menepuk pelan pundaknya.
Azura mengangguk pelan.
"Kalian ada yang punya nomor salah satu keluarganya gak? Seenggaknya kita harus hubungi mereka." Winar benar, keluarga Jeffrey harus tahu tentang hal ini.
"Gue gak punya, Win."
"Gue juga." Tambah Azura.
"Gue juga gak punya, tapi gue tau rumahnya. Apa mau di samperin aja ke sana?" tanya Winar kembali.
Winar dan Jeffrey memang mengenal satu sama lain. Namun tidak seakrab teman yang satu dengan yang lain. Apalagi kelas mereka berbeda. Winar hanya bertemu Jeffrey sekali dua kali. Biasanya saat keduanya kebetulan naik bus yang sama.
Winar itu baik. Dia tidak masalah dengan siapa dia berteman selama orang itu tidak toxic menurutnya. Dia juga pintar dalam segi akademik. Makanya ia tahu rumah Jeffrey, karena dulu ia pernah menjadi guru les di sana.
"Ya udah, ayo ke sana. Juan, lo di sini ya?" tanya Azura cepat yang langsung di balas anggukan mantap oleh Juan.
"Gue cari taxi dulu ya, Ra."
<<<--->>>
Beberapa puluh menit setelahnya, taxi berhenti tepat di depan rumah bercat putih. Dengan gerbang warna hitam di depannya. Sebuah papan kecil tergantung di dekat kotak pos. Papan bertuliskan, "awas, yang punya kucing galak!"
Lucu. Azura bisa tahu betul, tulisan tangan itu di tulis langsung oleh Jeffrey. Ia sangat mengenal tulisan latin milik pemuda itu. Matanya membaca tulisan itu berkali kali, sambil bibirnya tersenyum indah. Ia membayangkan, bagaimana ekspresi wajah Jeffrey yang serius saat menulis. Apalagi pasti saat menulis ini, ia sangat berhati-hati. Bibirnya mungkin mengerucut, alisnya mungkin turun menanjak, dan pandangannya mungkin tak lepas dari papan ini.
"Kenapa senyam senyum dah lo?" Winar yang sejak tadi memperhatikan gerak-gerik aneh gadis itu, akhirnya membuka suara. Namun Azura hanya tersenyum kecil sambil menggeleng pelan padanya.
"Tebak, ini tulisan siapa?"
Winar lantas memerhatikan dengan lekat, tulisan yang terukir di papan kayu itu. Detik setelahnya, bahunya terangkat sambil menunjukkan ekspresi wajahnya yang menyerah dengan tebakan Azura.
"Jeffrey." Lagi-lagi gadis itu tersenyum cerah.
"Tau dari mana coba?"
"Maaf, siapa ya?" belum sempat Azura menjawab pertanyaan Winar, dua orang pemuda menghampiri keduanya.
Ya, mungkin memang terlihat sedikit aneh. Dengan dua orang siswa yang berdiri di depan rumah orang lain, namun tak melakukan apa apa. Jadi, jangan heran jika kini kedua laki-laki yang baru saja keluar dari dalam rumah itu menatap Azura dan Winar dengan tatapan aneh.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kepulangan
Fiksi RemajaLaki-laki bisu yang seringkali menjadi lampiasan semesta atas semua ketidakadilan. Satu satunya kebahagiaan yang ia miliki adalah memori bersama ibunya. Kasih sayang dari ayahnya bahkan terbatas hanya sampai ibunya tiada. Dinding kebencian dari adik...