20. Alex

1K 86 21
                                    

"Percuma gue hidup di keluarga kaya, tapi asal usul gue masih abu-abu."

-Kepulangan







Alex Anggara.

Alex, begitu orang-orang menyebutnya. Terlahir dari keluarga serba berkecukupan, namun sangat minim keharmonisan. Sejak kecil, pemuda ini belum pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Baik dari ibu kandungnya, maupun dari wanita yang sempat akan menjadi ibu sambungnya.

Didikan keras dari ayahnya, tak melulu perihal nilai sekolah, melainkan dengan siapa saja ia bergaul. Selama ini, prinsip yang ditumbuhkan oleh ayahnya sendiri adalah "jangan bergaul dengan orang miskin."

Kalimat yang mungkin mengubah caranya memandang sekitar.

Mungkin akan sedikit panjang dan sedikit menyakitkan jika menceritakan tentang lika-liku kehidupan yang dialami laki-laki ini. Semesta tampaknya tak bisa menunjukkan secercah kebahagiaan.

Tidak ada.

Kata orang, hal buruk yang pernah dilakukan orang tuanya dulu, akan menjadi karma untuk anaknya kelak. Mungkin karena itu, kisah pertemanannya, bahkan kisah asmaranya, selalu berujung gagal di orang yang sama.

Sosok teman yang pertama kali Alex kenal adalah Azura. Saat itu keduanya masih duduk di bangku kelas satu sekolah dasar. Gadis cantik dengan rambut yang dikuncir dua dan pita merah muda yang mengikatnya, untuk pertama kalinya menghampiri laki-laki yang tengah duduk sendirian di pojok kelas.

Bermain dengan gadgetnya. Umumnya, anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar, sama sekali tidak diperbolehkan untuk membawa ponsel ke sekolah. Namun hal itu kntras terjadi pada Alex. Popularitas ayahnya yang tak main-main, membuatnya bisa melakukan apa saja yang ia mau.

Lantas gadis kecil itu duduk begitu saja di sebelahnya. Hingga perhatiannya teralihkan pada gadis mungil disampingnya. "Kamu enggak main? Kata ibu gulu, kalau main handphone terus enggak baik. Nanti enggak punya waktu buat tau dunia sepelti apa," begitu tuturnya.

"Enggak punya temen." Tukasnya cepat dengan gelengan kepala dan tundukan sendu.

"Aku."

Azura menepuk dadanya pelan. Seolah ingin memberitahu anak laki-laki ini, kalau dirinya ingin berteman dengannya. Ingin memberitahu juga, kalaupun tidak ada siapapun yang ingin menjadi temannya, maka Azura mau. Ia mau menjadi temannya.

Entahlah, sejak kecil Azura selalu diajarkan untuk menjalin pertemanan dengan siapapun tak peduli bibit bobot mereka. Ibunya selalu bilang, "nanti kalau di sekolah, Jua harus mau temenan sama siapapun. Enggak boleh milih milih temen. Apalagi kalau nanti Jua ketemu sama anak yang enggak punya temen sama sekali, di deketin ya sayang. Biar dia enggak ngerasa sendirian."

"Kenapa, ma?" tanya gadis mungil itu.

"Karena sepi itu hal yang paling enggak nyaman. Jua juga enggak mau kan kalau misalnya Jua ada di posisi kaya gitu?"

Azura kecil mengangguk, menuruti ucapan ibunya.

"Mau temenan sama aku?" tangan mungil milik gadis itu menjulur ramah kepada anak laki-laki yang masih tertegun karena baru pertama kali ini dirinya menemukan orang yang mau menjadi temannya.

Bibir gadis kecil itu lantas mengulas senyum saat anak laki-laki itu membalas juluran tangannya. Menyalaminya. Sampai pada akhirnya, kata yang menjadi awal dari semuanya terucap dari bibir anak laki-laki itu, "mau."

Bukan sekali dua kali, Alex selalu bermain dengan Azura. Nyaris setiap waktu yang ia miliki, rasanya hanya ingin dirinya habiskan bersama gadis itu. Bahkan tiap jam istirahat, Alex tidak pernah absen untuk mengajak Azura ke kantin bersama. Selalu menggenggam pergelangan tangan mungil milik gadis itu.

Dug!

Azura terjatuh dengan lutut yang beberapa detik setelahnya mengeluarkan darah segar. Alex yang saat itu bergegas langsung menuju Azura untuk secepatnya menolong gadis itu. Air mata yang perlahan membasahi pipi gadis kecil itu, diusapnya lembut. "Jangan nangis, Ale obatin ya..." ucap Alex menenangkan.

Anak laki-laki itu menatap lekat netra milik gadis di hadapannya. Sorot mata yang begitu sayu karena masih merasakan perih dari luka pada lututnya. "Jua, katanya mau jadi Cinderella?"

Perhatian Azura teralihkan. Lantas perlahan sorot matanya sedikit berbinar. Ia mengangguk pelan. Sejak kecil, cita-citanya ingin menjadi sosok tokoh Cinderella. Karena terlalu seringnya dirinya diceritakan dongen oleh ibunya, rasa fantasi itu sampai ingin digapainya.

"Mau cerita enggak sama Ale, Cinderella itu kaya gimana? Tapi sambil Ale obatin ya lukanya Jua biar cepet sembuh."

Anggukan kecil denga senyuman ceria kembali hadir di wajah gadis kecil itu. Sorot matanya berbinar. Pikirannya mulai berkelana dengan dunia fantasi miliknya. "Cinderella itu orangnya baik banget. Kalau dia dijahatin, dia enggak dendam. Makanya pangeran ganteng suka sama dia. Karena dia baik. Jua pengen deh, ketemu sama pangeran Jua sendiri kalo udah gede. Pangeran dengan kuda putih."

"Nanti Ale jadi pangeran buat Jua, mau?" selepas luka dilutut gadis itu tertutup dengan plester, Alex menatap lekat netra gadis dihadapannya.

"Emang bisa?" Azura bertanya balik.

"Bisa, kalau dibolehin sama Jua."

"Janji?" gadis kecil itu menjulurkan jari kelingking kecilnya.

"Janji."

---00---

Sebuah figura dengan foto seorang wanita bersama ayahnya saat masih muda, selalu ia gantung dengan rapih di atas meja belajarnya.

Perempuan cantik dengan senyum yang indah, serta mata yang tampak familiar baginya saat ia melihatnya. Sama seperti mata milik Jeffrey.

Legam, hitam, dan teduh.

---00---

Tok tok tok!

Pemuda dengan sebutan Alex itu mengetuk pintu ruang kerja milik ayahnya. Dengan sosok ayahnya yang tengah menyelesaikan beberapa dokumen disana. Perhatian lelaki paruh baya itu teralihkan, "masuk," begitu tuturnya mempersilahkan sosok di balik pintu untuk menunjukkan raganya.

"Ayah manggil Alex?" tanyanya langsung.

Sejujurnya, dirinya juga tak ingin berlama-lama disini. Ia mungkin akan lebih memilih tak berbicara dengan ayahnya selama sebulan penuh, daripada harus mengobrol seharian bersama ayahnya.

Hal yang mungkin akan ayahnya bahas, tak akan jauh berbeda dari segi citra ayahnya dengan popularitas yang tak main-main, nilai sekolahnya yang harus selalu bagus, atau mungkin pergaulan dirinya di luar sana.

"Kepala sekolah kamu telfon ayah. Katanya kamu habis berantem? Benar?" tanya lelaki itu dengan nada suara yang dingin.

Pikiran Alex langsung tertuju pada keonaran yang baru dibuatnya baru-baru ini. Permasalahan dirinya dengan Jeffrey. Atau mungkin 'si bisu', begitu ia menyebutnya.

Tangannya mengepal kuat. Nafasnya mendengus berat.

"Setelah lama saya diam saja, nyatanya kamu lupa dengan rasanya ya. Kalau begitu, saya tunggu di gudang belakang."

"Yah-"

"Alex, kamu tau sendiri, saya tidak suka bantahan."

Perlahan ia memejamkan matanya sebentar, membayangkan apa yang akan ia hadapi sebentar lagi. Entah rasa sakitnya masih sama seperti dulu, atau mungkin akan bertambah.

Plak! Plak! Plak!

Suara cambukan yang datang dari tangan ayahnya sendiri, seolah hanya suara itu yang ada di ruangan besar itu saat ini. Mulutnya tetap membisu meski rasa sakit di punggungnya pedih tak tertahan.

"Sudah saya bilang, saya lebih memilih kehilangan kamu daripada kehancuran karir saya."

"KENAPA?! KENAPA HARUS DILAMPIASKAN SAMA ALEX? GARA-GARA PEREMPUAN YANG GAGAL JADI ISTRI PAPA???"

.
.
.
.
.

Jangan lupa untuk pembaca lama untuk tidak spoiler, untuk pembaca baru jangan lupa follow akun ini untuk notif update selanjutnya.

Terima kasih.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 21, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KepulanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang