"Kalau ada yang harus pergi, biar saya dulu, Azura. Kamu jangan."
Azura merebahkan tubuhnya di atas kasur. Entah lah, ia ragu dengan apa yang samar samar didengarnya tadi saat di sekolah. Saat Alex membicarakan tentang bundanya sembari menyebut nama Jeffrey. Sejenak ia berpikir, apakah keduanya saudara kandung? Ibu yang sama namun ayah yang berbeda? Tapi tidak mungkin. Bagaimana bisa bunda Alex yang di maksud melahirkan dua anak sekaligus namun dengan ayah yang berbeda? Terlebih, tahun kelahiran Alex dan Jeffrey sama.
Namun, setelah dipikirkannya dan dicermati lagi perihal perkataan Alex tadi siang, jelas jelas Azura mendengar Alex menyebut nama Jeffrey. Di satu sisi, jika memang benar keduanya memiliki ikatan saudara, bisa jadi ini merupakan jawaban atas pertanyaannya mengapa Alex begitu sangat tidak menyukai laki-laki itu. Alex mungkin merasa malu dengan kenyataan bahwa saudaranya memiliki kecacatan.
[Azura]
Jeffrey?[Jeffrey]
Iya? Kenapa, Ra?[Azura]
Masih di tempat kerja?
Atau udah pulang?[Jeffrey]
Masih. Kenapa memang?
Mau ngomong hal penting?
Apa perlu saya ke rumah kamu?
Azura?
Masih di sana kan?
Enggak papa kan?
Azura[Azura]
Astaga, gue barusan ke toilet.
Gue gak papa.
Kenapa nyepam sih?[Jeffrey]
Maaf, saya pikir kamu kenapa napa.
Habisnya balesnya lama.
Saya cuma takut kamu kenapa napa.[Azura]
Gue enggak papa, Jeff.
Sorry juga udah bikin lo panik.[Jeffrey]
Enggak papa, saya suka.
Saya suka khawatirin kamu.[Azura]
Hm? Kenapa?[Jeffrey]
Biar saya ada alasan buat mikirin kamu.Dengan cepat, Azura menutup ponselnya. Entah kenapa rasanya ingin sekali berteriak. Ia menutup mulutnya, mencoba untuk memendam rasa senangnya agar tak menciptakan kekacauan di rumahnya malam malam begini. "Kenapa harus malem malem sih, Jeff? Bisa bisanya lo bikin anak orang mau teriak malem malem gini!"
Sudah dalam dugaan, baru saja ia tinggalkan pesa dari Jeffrey beberapa menit, kini laki laki itu sudah mengiriminya banyak pesan singkat. Ponselnya sejak tadi tak berhenti bergetar. Ah, laki laki ini. Jeffrey terlalu unik untuk diabaikan dunia.
[Azura]
Bisa ketemu?[Jeffrey]
Bisa.
Saya ke rumah kamu ya.[Azura]
Gak usah.
Gue yang ke tempat kerja lo.
Tunggu di sana.
Gak ada penolakan.[Jeffrey]
Iya.
Jangan galak galak, Ra.***
Azura duduk di bangku jalanan. Memperhatikan punggung laki laki yang tengah membersihkan meja pelanggan di sebuah warung makan. Sebelumnya ia berniat membantu agar Jeffrey bisa cepat menyelesaikan pekerjaannya. Namun seperti yang ia duga, laki laki itu malah menolaknya. Ia bahkan menulis di sebuah kertas emmonya, "perempuan cantik kaya kamu gak pantes bantuin saya kerja kaya gini."
Lantas Azura bertanya, memangnya kenapa kalau dirinya hanya membantu membersihkan meja pelanggan. Lagi pula selama pekerjaan yang dilakukan halal, tidak ada masalah dengan hal itu. Namun Jeffrey malah memberi jawaban dengan, "Azura, kamu dari keluarga baik baik dan berada. Beda sama saya. Lagian kalo kamu bantuin saya, kamu nanti capek. Udah, duduk aja disana ya. Sebentar lagi saya ke kamu."
Azura menurut. Gadis itu duduk sambil memperhatikan kendaraan yang berlalu lalang di depannya. Membiarkan angin malam mengibas rambutnya pelan. Saat netranya melihat ke langit, ia tersadar. Kapan terakhir kali ia melihat bintang di kota ini. Taburan bintang di angkasa yang seindah ini, mungkin sudah lama ia tak melihatnya. Bukannya di Jakarta tidak ada, hanya saja mungkin Azura terlalu sibuk dengan dunia dan kehidupannya sampai tak sempat hanya untuk menatap langit dan pernak perniknya.
Puk puk.
Seseorang menepuk bahunya. Jeffrey. Laki laki itu kini duduk di sebelahnya. Lesung pipi yang selalu muncul saat laki laki itu tersenyum, mata yang hampir menyerupai bulan sabit, dan pipi yang terlihat begitu lembut meski ada sedikit luka di sana. Dia Jeffrey. Laki laki yang tanpa sengaja Azura kenal dengan sebuah buku biologi. Dengan pertemuan tak sengaja di depan toko yang tengah membagikan brosur diskonan. Juga jatuhnya gantungan kunci buah persik di gramedia.
"Langitntya cantik ya?" Jeffrey menulis di buku memo yang sering dibawanya.
"Pake bahasa isyarat aja. Gue udah ngerti kok." Azura memang sebelumnya belajar bahasa isyarat dari buku yang dibelinya di gramedia bulan lalu. Belum pernah di pakainya karena buku itu sempat terselip di tumpukan buku sekolahnya. Namun baru baru ini, ia mencarinya sampai ketemu dan mempelajarinya hanya agar Jeffrey tak perlu menulis di buku memo lagi. Agar keduanya bisa berkomunikasi dengan sedikit lebih mudah.
"Langitnya cantik?" Jeffrey menggerakkan jemarinya. Menanyakan hal yang sama persis seperti sebelumnya yang belum dijawab oleh Azura. Anggukan dari gadis itu menjadi jawaban atas pertanyaannya.
"Kamu."
Azura mengerutkan kening. Takut ia salah mengartikan isyarat dari Jeffrey. Namun laki laki itu kembali melakukan gerakan jemari tangan yang sama. "Kamu."
"Gue? Kok gue? Gue kenapa?" tanya Azura yang masih bingung sekaligus penasaran dengan maksud laki laki itu.
"Langitnya kaya kamu. Cantik. Kamu cantik, Azura."
Demi apapun Azura ingin menyembunyikan wajahnya saat ini juga. Senyuman yang terukir di bibirnya bahkan tak mampu ia tahan. Entahlah, saat membaca isyarat yang digerakkan oleh jemari Jeffrey, rasanya begitu membuatnya senang bukan main. Entah sudah berapa kali laki laki ini memuji kecantikan parasnya. Jika laki laki lain yang memujinya begini, ia mungkin akan bersikap biasa saja. Acuh tak acuh. Namun entah mengapa tidak dengan laki laki ini.
"Jadi, gue cewek keberapa nih yang udah lo gombalin kaya gini?" pertanyaan yang mungkin tak seharusnya ditanyakan Azura. Karena mau bagaimana ada jawabannya, jika perempuan pertama yang mau menjadi temannya saja hanya Azura yang pertama kali. Belum pernah ada yang lain.
"Kenapa tanya yang keberapa? Kamu yang pertama Azura. Yang pertama mau kenal sama saya. Yang pertama gak malu untuk duduk di sini sama saya. Yang pertama mau jadi temen saya. Kamu yang pertama di hidup saya. Sebelumnya enggak ada, Azura."
Kalau saja ucapan terima kasih itu berbunga, Jeffrey mungkin akan memberikan seikat bunga setiap harinya pada Azura. Mungkin ia juga akan membuat rumah Azura penuh dengan bunga yang dibawanya. Karena baginya, sekedar mengucap terima kasih sekali, dua kali, bahkan seratus kali mungkin tidak akan cukup.
Azura terlalu banyak berperan dalam dunianya selama sebulan terakhir. Perempuan yang entah bagaimana bisa hadir di hidupnya, menjadi alasan barunya untuk bertahan di dunianya yang kejam, sekaligus menjadi hal yang ingin ia pastikan keberadaannya masih di bumi.
Jeffrey pernah menulis di buku memonya, "Tuhan, kalau kematian memang sudah ditakdirkan, biar aku dulu yang pergi. Jangan Azura. Karena mungkin, Azura masih bisa melanjutkan hidupnya seperti biasa, meski aku tak ada di sana. Namun rasanya mustahil bagiku, jika Azura tak disini bersamaku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kepulangan
Roman pour AdolescentsLaki-laki bisu yang seringkali menjadi lampiasan semesta atas semua ketidakadilan. Satu satunya kebahagiaan yang ia miliki adalah memori bersama ibunya. Kasih sayang dari ayahnya bahkan terbatas hanya sampai ibunya tiada. Dinding kebencian dari adik...